Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kena Penyakit Langka Anemia Aplastik, Ghairan Butuh Donor Darah O Plus

Kompas.com - 23/05/2018, 17:07 WIB
Dendi Ramdhani,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.com - "Serang, serang, serang," pekik Ghairan yang sibuk bermain game android bersama temannya. Semburat keceriaan tersirat jelas terlihat di wajah bocah berusia 12 tahun saat duduk di sofa putih di sebuah rumah singgah pasien di Jalan Tawekal, Bandung, Rabu (23/5/2018) siang.

Potret kegembiraan itu terselip ditengah perjuangannya melawan penyakit langka. Ghairan divonis dokter mengidap penyakit anemia aplastik.

Secara singkat, anemia aplastik adalah kelainan darah yang terjadi ketika sumsum tulang belakang berhenti memproduksi sel darah baru, baik sel darah merah, darah putih, maupun trombosit.

Ghairan merupakan anak kedua dari tiga bersaudara milik pasangan Yuni Rahmawati dan Wisnu Ragasaputra. Mereka berdomisili di Sukabumi. Ketiganya datang ke Bandung untuk berobat di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS).

Yuni mengatakan, Ghairan merupakan anak yang aktif dan cerdas. Di SD Pamoyanan Sukabumi, tempat Ghairan bersekolah ia kerap mendapat ranking kelas.

Pada November 2017 lalu, Yuni berkisah, Ghairan terlihat lemas sepulang sekolah. Tanpa curiga, Yuni menyuruhnya makan dan beristirahat. Itu lah gejala awal penyakit tersebut hinggap di tubih Ghairan.

"Gejalanya muncul pas dia pulang sekolah. Mau jalan lemes, mau ngaji lemes," ucap Yuni saat berbincang dengan Kompas.com, Rabu siang.

Baca juga: Kena Penyakit Langka, Tulang-tulang Perempuan Ini Lenyap

Yuni terkejut ketika esok harinya melihat bagian pipi Ghairan membiru seperti terkena pukulan. Ia pun panik saat melihat wajahnya seketika pucat pasi dengan telapak tangan memutih.

"Besoknya biru-biru seperti ditonjok-tonjok di bagian pipi. Kemudian mimisan, gusi berdarah," ujar ibu berkacamata itu.

Yuni lantas mencari gejala itu lewat internet. Di saat bersamaan, ia pun memboyong Ghairan ke dokter di RS Samsudin, Sukabumi. Selama di rumah sakit Ghairan melakukan transfusi darah. Keadaanya berangsur membaik.

"Kata dokter kelainan darah," ucap Yuni.

Namun, sepulang dari rumah sakit. Ghairan mendadak kejang dan sesak saat tengah bermain bersama adiknya. Ia pun kembali mendapat perawatan di RS Samsudin. Namun, kali ini dokter menyarankan agar Ghairan segera dibawa ke RSHS Bandung.

"Setelah seminggu di paviliun. Dokter langsung melakukan biopsi sumsum tulang belakang. Akhirnya dokter menyatakan Ghairan positif anemia aplastik," kata Yuni.

Yuni pun kaget dengan vonis dokter. Apalagi tak ada riwayat medis dari keluarganya yang pernah mengalami penyakit itu.

Hati Yuni pun kian kalut setelah dokter menyebut sampai saat ini belum ada obat untuk mengobati penyakit tersebut.

Adapun operasi cangkok sumsum tulang belakang bisa dilakukan, namun jelas perlu biaya besar. Selain itu, persentase keberhasilannya pun fifty-fifty.

"Solusinya, bertahan dengan transfusi trombosit saja," kata Yuni.

Berburu darah O+

Sejak saat itu, kehidupan Yuni berubah. Seluruh perhatiannya difokuskan untuk Ghairan. Sementara suaminya, Wisnu terpaksa keluar dari pekerjaannya. Sebab, menangani pasien Anemia Aplastik butuh tenaga dan perhatian khusus.

Yuni dan Wisnu saling berbagi peran khususnya mencari darah golongan O+ bagi Ghairan. Awalnya ia meminta kepada kerabat dan tetangga agar bersedia mendonorkan darah.

Namun, kebutuhan darah Ghairan yang banyak membuat Yuni dan Wisnu mulai kewalahan. Apalagi, ketersediaan darah di rumah sakit bergantung pada stok di PMI.

Baca juga: Rayyanza, Bayi 8 Bulan di Surabaya Idap Penyakit Langka Kawasaki

"Per hari, Ghairan minimal butuh 8 labu trombosit dan 2 labu sel darah merah. Karena kalau manusia normal, trombositnya idealnya 150.000 ke atas, Ghairan ini bisa anjlok 20.000 trombositnya kalau lagi anjlok," kata Wisnu.

"Untuk cari dari kita ngumpulin tetangga, ternyata gak semua bisa juga. Banyak tetangga yang kecewa gak bisa bantu," timpal Yuni.

Selagi Yuni mencari donor darah dari kerabat dan PMI. Wisnu sibuk mendatangi berbagai komunitas yang bersedia mendonorkan darah bagi Ghairan.

"Komunitas saya datangin, sampai komunitas go-jek saya tarikin, masih tetap kurang. Di kampung saya udah abis tuh orang, kalau mau donor harus nunggu lagi dua bulan," tutur Wisnu.

Wisnu mengatakan, dengan kondisi Ghairan saat ini proses transfusi menjadi satu-satunya cara memperpanjang harapan hidup Ghairan.

"Kalau sedang ngedrop atau telat transfusi, Ghairan mengalami pendarahan. Di dalam bibir bagian bawah keluar gelembung berisi darah segar. Gelembung itu akan kempes jika transfusi dara sudah dilakukan," tuturnya.

Baca juga: Derita Penyakit Langka, Bayi Davino Butuh Cangkok Hati Rp 1,3 Miliar

Selama mendapat perawatan di RSHS, Yuni menyibukkan diri dengan membaca Al-Quran atau mendengar ceramah lewat radio. Ia berupaya tegar menghadapi getir cobaan hidup yang ia alami.

Yuni pun sadar, jika orang tua harus menjadi cermin bagi Ghairan yang membutuhkan energi positif untuk menjaga semangatnya.

"Ghairan itu gak boleh stress. Makanya saya dengerin ngaji. Eh ternyata dia sudah hafal empat juz dari dengerin di handphone. Dia juga sering main mobile legend biar gak jenuh," katanya.

Yuni menuturkan, ada sejumlah anak yang mengalami nasib seperti Ghairan di RSHS. Beberapa pasien, bahkan telah berpulang.

"Selama di RSHS ada empat sampai lima orang yang meninggal. Biasanya harapan hidupnya 5 bulan, paling lama dua tahun. Kalau obrolan di ruangan (rumah sakit) orang tua pasien bilang ini tinggal nunggu kocokan arisan nyawa. Kita hanya bisa saling menguatkan," kata Yuni tegar.

Kompas TV Simak dialognya dalam Sapa Indonesia akhir pekan berikut ini!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com