Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menengok Persiapan Nyepi di Kampung Toleransi

Kompas.com - 15/03/2018, 20:00 WIB
Andi Hartik,
Reni Susanti

Tim Redaksi

MALANG, KOMPAS.com - Ogoh-ogoh itu belum sempurna, Kamis (15/3/2018). Kepala lambang keangkaramurkaan bagi Umat Hindu itu belum terbentuk.

Mahendra Eka (19) salah satu pembuat Ogoh-ogoh itu masih memperbaiki pewarnaan di bagian perut dan pinggang, di depan rumahnya, Kampung Karang Tengah, Desa Glanggang, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang.

Ogoh-ogoh itu terbuat dari bambu dengan dilapisi kertas. Warnanya kuning tua. Meski tanpa kepala, bentuk ogoh-ogoh itu sudah mencerminkan makhluk yang menakutkan.

"Kepalanya belum ada. Hanya tinggal kepalanya yang belum," katanya.

Berjarak sekitar 50 meter, ogoh-ogoh yang sudah sempurna berdiri tegak di pingggir jalan. Warnanya hijau. Seorang perempuan terlihat menghiasi ogoh-ogoh itu dengan memberinya kain di pinggangnya.

(Baca juga : Pawai Ogoh-ogoh Sambut Nyepi Jadi Wahana Wisata Unik di Mamuju Tengah )

Tidak jauh setelahnya, ogoh-ogoh berbentuk naga juga sudah berdiri sempurna. Hanya saja, pembuat ogoh-ogoh itu masih terlihat memperbaiki letak hiasan di bagian dada ogoh-ogoh.

Menjelang Hari Raya Nyepi 1940 Saka yang jatuh pada Sabtu (17/3/2018), akan ada sekitar 40 ogoh-ogoh di perkampungan itu. Ogoh-ogoh tersebut akan diarak berkekeliling kampung dan akan dibakar di lapangan, sesaat sebelum Catur Barata Penyepian dimulai.

Seorang warga di Kampung Karang Tengah, Desa Glanggang, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang saat membuat ogoh-ogoh untuk menyambut Hari Raya Nyepi 1940 Saka yang jatuh pada Sabtu (17/3/2018).KOMPAS.com/Andi Hartik Seorang warga di Kampung Karang Tengah, Desa Glanggang, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang saat membuat ogoh-ogoh untuk menyambut Hari Raya Nyepi 1940 Saka yang jatuh pada Sabtu (17/3/2018).

Kampung Toleransi

Karang Tengah merupakan kampung di Desa Glanggang yang memiliki penduduk beragam. Selain penduduk beragama Islam, kampung itu juga memiliki penduduk beragama Hindu.

Jumlahnya tidak sedikit, sekitar 150-an kepala keluarga (KK). Selain itu, juga ada penduduk beragama Kristen dan Katolik.

Namun, hampir tidak ada konflik agama di kampung tersebut. Para penduduk tetap berbaur, tanpa mempersoalkan agama masing-masing.

"Tidak tahu awal mulanya. Dari dulu memang sudah begitu. Saling menghormati. Berjalan dengan sendirinya. Dari diri masing-masing sadar akan keberagaman beragama," tutur salah satu tokoh Agama Hindu di Kampung Karang Tengah, Agus Hariono (65).

(Baca juga : Hiasi Festival Cap Go Meh di Bogor, Pawai Ogoh-ogoh Disambut Antusias )

Meski demikian, sekitar tahun 1980-an, sempat terjadi perselisihan antar pemeluk agama. Pemicunya adalah warga pendatang yang melakukan provokasi. Beruntung, sebelum konflik naik ke permukaan, perselisihan itu berhasil diredam dengan damai.

"Pernah ada sekali orang masuk kesini memperngaruhi. Lalu tokoh-tokoh mengadakan rundingan bersama. Jadi kita tidak ingin ada perpecahan antar umat," katanya.

Seorang warga di Kampung Karang Tengah, Desa Glanggang, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang saat membuat Ogoh - ogoh untuk menyambut Hari Raya Nyepi 1940 Saka yang jatuh pada Sabtu (17/3/2018).KOMPAS.com/Andi Hartik Seorang warga di Kampung Karang Tengah, Desa Glanggang, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang saat membuat Ogoh - ogoh untuk menyambut Hari Raya Nyepi 1940 Saka yang jatuh pada Sabtu (17/3/2018).

Sayan, Kenduri, dan Saling Menghargai

Hidup berdampingan antar umat beragama di Kampung Karang Tengah tidak tercipta begitu saja. Sayan, kenduri, dan jiwa saling menghargai mengiringi perjalanan kerukunan antar umat beragama tersebut.

Sayan merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan aktivitas gotong royong dan saling menolong. Sedangkan kenduri atau selametan adalah perjamuan makanan untuk memperingati hal-hal tertentu atau untuk meminta berkah.

Dalam aktivitas tolong menolong, penduduk di Kampung Karang Tengah tidak pernah memandang agama. Semua bersatu untuk saling menolong satu sama lain.

Begitu juga dengan kenduri. Jika yang mengadakannya adalah penduduk beragama Islam, penduduk yang beragama lain juga diundang. Begitu juga sebaliknya.

"Tidak lihat agamanya. Kita sama-sama menolong. Kenduri itu pun terjadi tidak tebang pilih. Jadi kalau umat Islam mengadakan seperti itu,uUmat Hindu datang," jelas Agus.

Keharmonisan antar pemeluk agama juga terlihat pada hari raya keagamaan. Seperti saat Hari Raya Nyepi yang sebentar lagi tiba. Umat non Hindu akan turut mematikan lampu dan ikut berada dalam kesunyian.

Tidak sekedar itu, setiap menjelang hari raya keagamaan selalu diadakan gugur gunung. Yakni kerja bakti membersihkan lingkungan dan pemakaman oleh seluruh penduduk kampung.

"Gugur gunung, kerja bakti ke makam. Kemudian kampungnya masing-masing," ungkapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com