Salin Artikel

Menengok Persiapan Nyepi di Kampung Toleransi

Mahendra Eka (19) salah satu pembuat Ogoh-ogoh itu masih memperbaiki pewarnaan di bagian perut dan pinggang, di depan rumahnya, Kampung Karang Tengah, Desa Glanggang, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang.

Ogoh-ogoh itu terbuat dari bambu dengan dilapisi kertas. Warnanya kuning tua. Meski tanpa kepala, bentuk ogoh-ogoh itu sudah mencerminkan makhluk yang menakutkan.

"Kepalanya belum ada. Hanya tinggal kepalanya yang belum," katanya.

Berjarak sekitar 50 meter, ogoh-ogoh yang sudah sempurna berdiri tegak di pingggir jalan. Warnanya hijau. Seorang perempuan terlihat menghiasi ogoh-ogoh itu dengan memberinya kain di pinggangnya.

Tidak jauh setelahnya, ogoh-ogoh berbentuk naga juga sudah berdiri sempurna. Hanya saja, pembuat ogoh-ogoh itu masih terlihat memperbaiki letak hiasan di bagian dada ogoh-ogoh.

Karang Tengah merupakan kampung di Desa Glanggang yang memiliki penduduk beragam. Selain penduduk beragama Islam, kampung itu juga memiliki penduduk beragama Hindu.

Jumlahnya tidak sedikit, sekitar 150-an kepala keluarga (KK). Selain itu, juga ada penduduk beragama Kristen dan Katolik.

Namun, hampir tidak ada konflik agama di kampung tersebut. Para penduduk tetap berbaur, tanpa mempersoalkan agama masing-masing.

"Tidak tahu awal mulanya. Dari dulu memang sudah begitu. Saling menghormati. Berjalan dengan sendirinya. Dari diri masing-masing sadar akan keberagaman beragama," tutur salah satu tokoh Agama Hindu di Kampung Karang Tengah, Agus Hariono (65).

Meski demikian, sekitar tahun 1980-an, sempat terjadi perselisihan antar pemeluk agama. Pemicunya adalah warga pendatang yang melakukan provokasi. Beruntung, sebelum konflik naik ke permukaan, perselisihan itu berhasil diredam dengan damai.

Hidup berdampingan antar umat beragama di Kampung Karang Tengah tidak tercipta begitu saja. Sayan, kenduri, dan jiwa saling menghargai mengiringi perjalanan kerukunan antar umat beragama tersebut.

Sayan merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan aktivitas gotong royong dan saling menolong. Sedangkan kenduri atau selametan adalah perjamuan makanan untuk memperingati hal-hal tertentu atau untuk meminta berkah.

Dalam aktivitas tolong menolong, penduduk di Kampung Karang Tengah tidak pernah memandang agama. Semua bersatu untuk saling menolong satu sama lain.

Begitu juga dengan kenduri. Jika yang mengadakannya adalah penduduk beragama Islam, penduduk yang beragama lain juga diundang. Begitu juga sebaliknya.

"Tidak lihat agamanya. Kita sama-sama menolong. Kenduri itu pun terjadi tidak tebang pilih. Jadi kalau umat Islam mengadakan seperti itu,uUmat Hindu datang," jelas Agus.

Keharmonisan antar pemeluk agama juga terlihat pada hari raya keagamaan. Seperti saat Hari Raya Nyepi yang sebentar lagi tiba. Umat non Hindu akan turut mematikan lampu dan ikut berada dalam kesunyian.

Tidak sekedar itu, setiap menjelang hari raya keagamaan selalu diadakan gugur gunung. Yakni kerja bakti membersihkan lingkungan dan pemakaman oleh seluruh penduduk kampung.

"Gugur gunung, kerja bakti ke makam. Kemudian kampungnya masing-masing," ungkapnya.

https://regional.kompas.com/read/2018/03/15/20005921/menengok-persiapan-nyepi-di-kampung-toleransi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke