Pada 2015, peringkat Yogyakarta sebagai kota paling intoleran bergeser menjadi nomor empat. Dari 190 pelanggaran kebebasan beragama dan intoleransi pada tahun itu, 10 di antaranya terjadi di Yogyakarta.
(Baca juga: Survei Wahid Foundation: Kelompok Radikal di Indonesia Didominasi Pemuda)
Menurut analisis riset Wahid Foundation, di Yogyakarta terdapat pergulatan politik yang dibungkus agama. Ada pihak-pihak yang diduga menggunakan simbol agama dan beraliansi dengan jaringan kelompok garis keras di sini.
Dari narasi besar ini, perlu ada tindakan untuk memutus mata rantai kekerasan. Terlebih lagi, 2018 dan 2019 merupakan tahun politik dengan adanya pilkada serentak dan pemilu presiden.
Indeks kekerasan dan intoleran dapat menjadi pintu masuk untuk melakukan tindakan pencegahan, yakni dengan kesadaran betapa kekerasan mudah meletup dan menciptakan kepanikan di ruang publik.
Teror, kekerasan, atau penyerangan, sejatinya merupakan pesan untuk mengubah pola permainan atau konstelasi politik.
Melakukan kekerasan atas nama agama menggunakan—atau terhadap—simbol keagamaan merupakan kejahatan yang mengguncang kemanusiaan kita. Tindakan yang diperlukan untuk itu tidak sekadar menangkap pelaku, tetapi—sekali lagi—harus pula dengan memutus mata rantai jaringannya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.