Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Munawir Aziz
Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom, Penulis Sejumlah Buku

Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom, menulis buku Bapak Tionghoa Nusantara: Gus Dur, Politik Minoritas dan Strategi Kebudayaan (Kompas, 2020) dan Melawan Antisemitisme (forthcoming, 2020).

Memutus Mata Rantai Kekerasan

Kompas.com - 13/02/2018, 20:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dari catatan Setara, indeks lansiran 2017 tersebut tidak ada perubahan signifikan pada pada kelompok kota dengan skor tertinggi dibandingkan dengan data Indeks Kota Toleran 2015. Kota-kota peringkat tertinggi pada 2017 adalah kota-kota yang sama yang sebelumnya ada di posisi itu juga.

Namun, perubahan signifikan terjadi pada kota-kota atau wilayah yang masuk peringkat indeks rendah, terutama DKI Jakarta dan Bekasi. Peringkat DKI Jakarta, misalnya, turun dari 65 pada 2015 menjadi peringkat 94—sekaligus terendah—pada 2017.

Lalu, Setara juga menempatkan Yogyakarta pada peringkat ke-6 terendah indeks tersebut pada 2017, berdasarkan risetnya. Artinya, Yogyakarta yang selama ini dikenal dengan jargon "City of Tolerance" sesungguhnya tidak menampilkan toleransi dalam tindakan dan keseharian.

Pernyataan yang sama diungkap pada laporan riset Wahid Foundation. Pada 2014, Wahid Foundation menobatkan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai kota—atau wilayah—paling tidak toleran nomor dua se-Indonesia.

Dari 154 kasus intoleransi serta pelanggaran kebebasan beragama yang terjadi di Indonesia sepanjang 2014—dalam catatan Wahid Foundation—, 21 peristiwa di antaranya terjadi di Yogyakarta.

Pada 2015, peringkat Yogyakarta sebagai kota paling intoleran bergeser menjadi nomor empat. Dari 190 pelanggaran kebebasan beragama dan intoleransi pada tahun itu, 10 di antaranya terjadi di Yogyakarta.

(Baca juga: Survei Wahid Foundation: Kelompok Radikal di Indonesia Didominasi Pemuda)

Menurut analisis riset Wahid Foundation, di Yogyakarta terdapat pergulatan politik yang dibungkus agama. Ada pihak-pihak yang diduga menggunakan simbol agama dan beraliansi dengan jaringan kelompok garis keras di sini.

Dari narasi besar ini, perlu ada tindakan untuk memutus mata rantai kekerasan. Terlebih lagi, 2018 dan 2019 merupakan tahun politik dengan adanya pilkada serentak dan pemilu presiden.

Indeks kekerasan dan intoleran dapat menjadi pintu masuk untuk melakukan tindakan pencegahan, yakni dengan kesadaran betapa kekerasan mudah meletup dan menciptakan kepanikan di ruang publik.

Teror, kekerasan, atau penyerangan, sejatinya merupakan pesan untuk mengubah pola permainan atau konstelasi politik.

Melakukan kekerasan atas nama agama menggunakan—atau terhadap—simbol keagamaan merupakan kejahatan yang mengguncang kemanusiaan kita. Tindakan yang diperlukan untuk itu tidak sekadar menangkap pelaku, tetapi—sekali lagi—harus pula dengan memutus mata rantai jaringannya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com