Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Menyayangi dan Menyayangkan Desa

Kompas.com - 04/01/2018, 23:52 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorAmir Sodikin

Dari 74.000 desa di seluruh Indonesia, rerata mendapat gelontoran dana minimal Rp 750 juta. Namun data secara makro justru berkata lain. Liat saja data BPS 2016 di mana angka kemiskinan di desa meningkat 11,6 persen.

Celakanya, ternyata lebih dari 20 juta penduduk miskin 70 persen-nya tinggal di perdesaan yang kemudian bisa dengan sederhana kita anggap sebagai gambaran Indonesia secara makro.

Data indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan perdesaan di atas terkonfirmasi oleh data ekonomi petani, mengingat pertanian dan petani mayoritas berada di daerah perdesaan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, Nilai Tukar Petani (NTP) nasional pada Maret 2017 sebesar 99,95 atau turun 0,38 persen dibandingkan Februari 2017 yang sebesar 100,33.

Penurunan NTP tersebut mengonfirmasi semakin rendahnya kemampuan atau daya beli petani sejak awal tahun ini. Pada Januari 2017, nilai tukar petani masih mencapai 100,91.

Menurut BPS, penurunan NTP nasional dipengaruhi sejumlah NTP di sejumlah subsektor, mulai dari tanaman pangan, hortikultura, tanaman perkebunan rakyat, peternakan, hingga perikanan.

Sialnya lagi, dari data yang dikeluarkan BPS juga terpantau bahwa indeks harga yang diterima petani juga turun 0,39 persen. Sementara indeks harga yang harus dibayar petani hanya turun tipis 0,01 persen.

Data tersebut mengafirmasi data lainya, yakni data harga gabah kering panen di tingkat petani yang juga melandai, dari sebesar Rp 4.373 per kg, turun 5,74 persen dibandingkan Februari 2017. Sementara gabah di tingkat penggilingan Rp 4.460 per kg, turun 5,71 persen.

Sementara itu, rata-rata harga beras premium di penggilingan tercatat sebesar Rp 9.389 per kg alias turun sebesar 0,21 persen dibandingkan Februari 2017.

Tak hanya itu, harga beras medium di penggilingan juga tercatat hanya Rp 8.705 per kg, atau turun 3,78 persen dibandingkan Februari 2017. Sedangkan rata-rata harga beras kualitas rendah di penggilingan tercatat sebesar Rp 8.339 per kg.

Angka tersebut juga terpantau turun 2,85 persen dibandingkan Februari 2017. Sementara berbagai data ekonomi pertanian yang kurang mengembirakan terus menhantui, gini ratio pun bergerak positif, tapi tidak terlalu memuaskan.

Perkembangan gini ratio bergerak standar alias tingkat ketimpangan bergerak membaik tapi kurang bersinergi dengan data ekonomi perdesaan yang memburuk.

Badan Pusat Statistik (BPS) memang menemukan fakta terjadinya ketimpangan pengeluaran atau gini ratio penduduk di Indonesia sebesar 0,394 poin per akhir September 2016. Angka tersebut terbilang turun tipis 0,003 poin dari gini ratio pada Maret 2016 yang berada di poin 0,397.

Menurut BPS, penurunan tipis jumlah gini ratio karena adanya perbaikan dalam pengeluaran di berbagai daerah, yang kemudian diaku sebagai bagian dari perbaikan pada pemerataan pembangunan.

Rinciannya, gini ratio perkotaan, September 2016 tercatat 0,409, turun dibanding gini ratio Maret 2016 sebesar 0,410. Sedangkan di daerah perdesaan terpantau turun dari 0, 327 pada Maret 2016, menjadu 0,316 pada September 2016, yang menurut BPS pemerataan di desa lebih baik dibandingkan kota.

Pernyataan yang demikian harus dimaknai dalam kacamata singular gini ratio, karena akan berbanding terbalik maknanya jika kita hadapkan dengan pergerakan data ekonomi pertanian dan perdesaan di atas.

Jadi saya kira, jika kita resapi perkembangan dan dinamika data di atas, jelas terlihat bahwa berbagai kampanye dan moto-moto politik yang ingin memajukan perdesaan, baru berupa cerita surga saja.

Nyatanya pemerintah nyaris kehabisan waktu untuk memikirkan urusan politik dan pemasukan negara yang terus di bawah bayang-bayang shortfall. Di sisi lain, jalan pintas dengan menggelontorkan dana khusus untuk desa masih belum dirasakan manfaatnya oleh masyarakat desa secara keseluruhan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com