Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Sungkowo, Perajin Keris Generasi ke-17 Empu Kerajaan Majapahit

Kompas.com - 19/10/2017, 06:45 WIB
Kontributor Yogyakarta, Teuku Muhammad Guci Syaifudin

Penulis

Sejauh ini, kata Sungkowo mengatakan, dirinya memang merupakan keturunan terakhir Empu Tumenggung Supadriyo yang masih menjadi empu. Ia mengaku belum ada keturunan Empu Tumenggung Supadriyo lain yang menjadi empu sepertinya.
 
“Dulu pernah ada tapi barusan saja meninggal. Dan sekarang tidak ada yang melanjutkan lagi,” tutur Sungkowo.
 
Belum adanya regenerasi itu, kata dia, disebabkan perubahan dan perkembangan zaman. Sebab, kata dia, pekerjaan sebagai empu itu sangat berat lantaran membutuhkan kesabaran. Selain itu, menjadi empu itu juga harus akrab dan dekat dengan api.
 
“Jangan keluarga kami, di Yogyakarta saja tidak ada empu lainnya. Kalaupun ada perajin, cuman bisa merubah bentuk. Bukan membuat dari awal,” kata Sungkowo.
 
Sebagai satu-satunya empu di Yogyakarta, Sungkowo berharap ada generasi muda di DIY yang bisa menjadi empu keris. Karena keris, kata dia, merupakan budaya Jawa yang harus dilestarikan keberadaannya. Ia memastikan keris itu tak melulu berkaitan dengan hal yang berbau gaib atau yang dilarang agama.
 
“Saya meneruskan profesi menjadi empu ini karena ingin keris yang merupakan budaya adiluhung ini tetap lestari,” kata Sungkowo.
 
Keris untuk bisnis
 
Meski keberadaan perajin keris di DI Yogyakarta tak begitu banyak, Sungkowo mengatakan, senjata tradisional suku Jawa ini justru mulai banyak diminati anak muda. Bukan untuk dimiliki, kata dia, melainkan banyak anak muda memperjualbelikan keris yang disebutnya sebagai bakul (pedagang).
 
“Keris itu dulu memang senjata tusuk untuk perang. Seiring perkembangan zaman, keris menjadi lambang kewibawaan dan termasuk ageman (pegangan). Sekarang sudah mulai untuk bisnis,” kata Sungkowo.
 
Sungkowo mengatakan, banyak generasi muda menjadi pedagang keris lantaran penghasilannya yang besar. Sasaran generasi muda ini seperti kolektor atau peminat keris yang berani membayar harga tinggi. Menurutnya, para bakul-bakul muda itu bermodalkan ponsel untuk memperjualbelikan keris.
 
“Hal itu (banyak bakul) seiring dengan banyaknya komunitas-komunitas pencinta keris lahir. Jadi memang peminat keris itu tidak turun, tapi terus ada,” kata Sungkowo menggambarkan kondisi peminat keris saat ini.
 
Meski begitu, Sungkowo mengaku prihatin dengan hal tersebut. Sebab, kata dia, banyak bakul atau pembeli yang tak memahami makna yang ada di setiap keris. Ia pun menyebut ada bakul yang menjual keris tidak sesuai pamornya.
 
“Demi harga tinggi, para bakul yang tidak paham ini menyebut pamor keris itu sesuai dengan karakter calon pembelinya,” ujar Sungkowo. Ia pun berharap, setiap peminat keris bisa memahami makna yang terkadung di dalam keris. “Setiap keris itu memiliki nilai filosofi yang berbeda-beda,” kata dia.

Baca juga: Rencong, dari Simbol Kewibawaan Menjadi Cendera Mata

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com