Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dibenahi, Objek Wisata Religi Gunung Kemukus yang Dikotori Ritual Seks

Kompas.com - 09/06/2017, 13:04 WIB
Kontributor Semarang, Nazar Nurdin

Penulis

 

Sesampainya di pusara Makam Pangeran Samudra, pria 48 tahun itu berziarah dan membaca doa tahlil dipandu juru kunci makam.

Cerita seks di Kemukus

Namun cerita soal praktik seks terselubung di wisata religi mengusik telinganya. Pasalnya, di sekitar area makam sudah berdiri sejumlah rumah yang digunakan untuk karaoke, serta untuk keperluan lain.

Rumah-rumah yang digunakan untuk karaoke beriringan dengan rumah warga sekitar. Di gang pegunungan tak lebih dari tiga meter itu, rumah-rumah warga berdiri.

Cerita soal kawasan Gunung Kemukus seolah menjadi tempat prostitusi terselubung itu muncul dua tahun lalu ketika media Australia, SBS, gencar memberitakan praktik-praktik seks bebas di gunung itu pada 2014 lalu.

Baca juga: Jurnalis Asing Ungkap Ritual Seks di Gunung Kemukus

Pemda Sragen, termasuk Ganjar berusaha menghentikan praktik itu. Namun, seiring waktu berjalan, praktik itu kembali muncul, bahkan disertai dengan fasilitas lainnya.

"Jadi setelah dulu ramai kan, saya minta, saya telepon sama Bupati Sragen terus coba dikomunikasikan. Sekarang mbalik lagi. Maka, ini tidak mungkin pakai cara hanya sekadar melarang. Maka harus lebih sistematis," kata mantan anggota DPR RI ini.

Praktik seks terselubung sekilas tak tampak. Para peziarah yang datang melapor dan membayar retribusi masuk Rp 5.000. Peziarah lalu naik tangga ke pusara Pangeran Samudera. Peziarah juga dipandu untuk melakukan mandi di Sendang Ontrowulan.

Media Australia, SBS, menyebut bahwa peziarah harus menjalani ritual, yaitu berhubungan intim dengan yang bukan pasangannya agar mendapatkan berkah dari Pangeran Samudra yang dimakamkan di bukit Kemukus.

Mendengar cerita langsung dari masyarakat, Ganjar bereaksi agar Pemkab Sragen lebih serius menghilangkan praktik seks terselubung. Ia ingin agar Gunung Kemukus hanya diperuntukkan untuk wisata religi saja.

Warga setempat yang berjualan juga diajak untuk tidak memberi informasi bias kepada para pengunjung. Warga bisa diberi keterampilan berjualan oleh-oleh wisata religi, seperti sarung, kopiah, tasbih, dan sejenisnya.

"Mereka yang ada di sini mendukung wisata religius, tidak boleh (dukung) yang lain. Kalau ke sini ya ziarah. Jualan bisa. Kayak wisata religi di Kalinyamatan (Jepara), ketika peziarah pulang lalu beli sarung, kalau bisa diarahkan ke sana, bukan malah disalahgunakan yang lain," kata dia.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com