Pada tahun 2009 itulah, Lim lalu turut mendirikan Raptor Club Indonesia (RCI). Tetapi karena belum mengetahui banyak tentang burung hantu, Lim bersama beberapa teman dari RCI melakukan pengamatan terlebih dahulu.
Ia melakukan pengamatan di Kota Yogyakarta, sampai dengan melihat kegiatan pemanfaatan burung hantu oleh petani di Mojokerto dan Trowulan.
"Butuh waktu tiga tahun melakukan pengamatan burung hantu," tegasnya.
Bapak satu anak ini, pernah mengamati burung hantu dari mulai bertelur hingga menetas. Berapa kali dalam sehari induknya kembali membawa tikus untuk memberi makan anak-anaknya. Bahkan, Lim menghitung jumlah tikus yang dimakan induk dan anak burung hantu selama 2,5 bulan.
"Kami pernah mengamati dan menghitung yang dimakan jantan berapa betina berapa, lalu menyuapi 2 anaknya. Jumlahnya dalam 2,5 bulan itu memakan, 1.080 ekor tikus," bebernya.
Disampaikanya pengamatan burung hantu itu sangat penting untuk memahami segala satunya, seperti daya jelajah, daya membunuh tikus dan reproduksinya.
Selain itu, seperti halnya manusia, setiap burung hantu memiliki perilaku yang berbeda-beda. Lim menyampaikan, karena terlalu menikmati proses pengamatan burung, ia baru lulus dari sarjana S1 pada tahun 2002.
"Masuk tahun 1995 dan lulus 2002, lama saya tinggal ngeluyur kemana-mana, karena tidak cukup kalau hanya di kampus saja. Meski pun salah, harusnya lulus dulu baru ngeluyur," kata Lim sambil tersenyum.
Setelah selesai melakukan pengamatan, dirinya bersama RCI mulai menerapkan pemanfaatan burung hantu untuk mengatur populasi tikus di wilayah Sleman Barat. Setelah itu, pada tahun 2013 hingga saat ini di Dusun Cancangan, Wukirsari, Cangkringan, Sleman.