Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lim Wen Sim Ubah Mitos Burung Hantu dari Pembawa Maut Jadi Penyelamat Warga

Kompas.com - 25/05/2017, 08:00 WIB
Wijaya Kusuma

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - "Burung hantu bukan lagi mitos pembawa maut. Burung hantu membantu petani, tetapi petani pun harus membantu mereka".

Kata-kata ini dilontarkan Lim Wen Sim (39) sembari duduk santai di bawah pohon beringin, dekat area persawahan Dusun Cancangan, Wukirsari, Cangkringan, Sleman, Senin (22/5/2017).

Pernyataan pria yang kerap disapa Lim ini bukan tanpa bukti. Tikus yang selama ini menjadi momok bagi petani di Dusun Cancangan, Wukirsari, Cangkringan, Sleman, berhasil dikendalikan populasinya.

Caranya bukan dengan menggunakan obat kimia, namun dengan metode alami, yakni memanfaatkan burung hantu sebagai pemangsa tikus.

Keberhasilan mengendalikan populasi tikus ini tidak lepas dari peran Lim Wen Sim dan Raptor Club Indonesia (RCI).

Bahkan seiring berjalannya waktu, semua elemen di Dusun Cancangan, Wukirsari, Cangkringan, Sleman, berkomitmen melindungi burung hantu. Mereka menetapkan dusunnya sebagai "Kawasan Studi dan Konservasi Burung Hantu Serawak Jawa (Tyto Alba Javanica)" dan melarang segala perburuan.

(Baca juga: Mengontrol Tikus dengan Burung Hantu Ala Petani Dusun Cancangan)

Mencapai hasil itu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Lim harus memboyong istri dan anaknya tinggal di Dusun Cancangan.

"Kalau kita datang seminggu sekali, dua Minggu sekali tidak efektif, harus fokus, bermalam di sini tahu yang dilakukan petani, pola pikir warga, aktivitasnya seperti apa dan respons warga," ucap Lim.

Dia lantas meminta izin kepada warga dan perangkat dusun. Akhirnya, warga mengizinkan dan meminjami rumah kosong untuk ditinggali Lim dan keluarganya.

"Kegiatan kami swadaya tidak mengambil untung dari kegiatan ini, ya ada warga yang peduli dan meminjami rumah kosong. Itulah di desa itu kebersamaannya masih sangat luar biasa," ucapnya.

Mitos burung hantu mendatangkan maut yang dahulu ada di masyarakat menjadi benteng penghadang ketika Lim memberikan edukasi tentang asas manfaat burung hantu.

Pria lulusan Biologi Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini perlu pendekatan ekstra untuk memberikan pemahaman kepada para petani dan masyarakat bahwa tikus tidak mungkin bisa dibasmi karena membasmi tikus itu menyalahi hukum alam. Namun, populasi tikus bisa dikontrol dengan cara alami yakni memanfaatkan burung hantu.

"Beratnya di sisi edukasi dan menjadi tantangan, burung hantu bukan mitos membawa maut bagi manusia, tetapi maut untuk tikus. Petani juga harus membantu mereka (burung hantu). Jangan ada perburuan, keberadaannya harus dilindungi, butuh waktu untuk memberikan pemahaman itu," ungkapnya.

KOMPAS.com / Wijaya Kusuma Lim Wen Sim saat menceritakan awal mula melakukan pengamatan burung

Setiap hari, Lim menghabiskan waktu bergelut dengan burung hantu, mulai dari memberi makan yang sedang dalam perawatan, melakukan pengamatan malam hari sampai dengan mengurusi tikus putih yang menjadi makanan serta membuat gupon tambahan untuk dipasang di sawah.

Hingga dia mengatakan bahwa pekerjaannya di bengkel yang selama ini menjadi penghidupan keluarganya sering kali harus ditinggalkan.

Meski demikian, Lim percaya, ketika tulus melakukan kebaikan bagi orang lain, Yang Maha Kuasa akan memberikan jalan.

"Memang ya pasang surut, saya minta pengertian kepada istri dan anak kondisinya seperti ini dan percaya rejeki ada yang mengatur. Selama ini kami masih pas, berlebih tidak, masih bisa beli susu buat anak, masih bisa makan," ungkapnya.

Menurut Lim, pada awalnya, sang istri sempat komplain karena Lim jarang berada di rumah. Pria kelahiran Yogyakarta 18 Maret 1977 ini setiap hari fokus melakukan pengamatan burung hantu, bahkan saat pada malam hari.

Tak hanya itu, demi melihat perkembangan burung hantu yang dikembangbiakkan secara alami, Lim rela tidur larut malam.

(Baca juga: Konservasi Burung Hantu di Yogyakarta Dilirik Peneliti Thailand hingga Spanyol)

Lim juga harus melakukan pengamatan aktivitas tikus di area persawahan. Hal ini perlu dilakukan untuk melihat pola serangan dan luasan wilayahnya.

"Awal-awal iya komplain, karena mengamati burung hantu, tetapi saya tetap selalu menyempatkan bermain dengan anak dan bertemu istri. Kalau anak dan istri malam sudah tidur, saya tinggal ke sawah mengamati burung hantu," tuturnya.

Lim menegaskan bahwa dirinya tetap akan fokus pada burung hantu, namun lebih luas lagi ke depan dia akan mengajak petani mengelola pertanian mereka dengan lebih sehat dan mandiri.

"Ke depannya, capaiannya itu petani bisa mengelola pertanian lebih sehat, mengurangi pupuk kimia dan mandiri. Kalau petani bisa mengurangi pupuk kimia, belum organik itu terlalu muluk, sehat saja dulu, itu sudah luar biasa," ujarnya.

Memulai

Selama ini, lanjutnya, ada pemahaman bahwa bertani sehat itu mahal, padahal tidak. Menurut Lim, bertani sehat itu murah. Hanya memang seperti orang melangkah, memulainya yang berat.

"Misalnya kalau ada yang memiliki sapi atau kelinci, urinenya bisa disemprotkan ke pematang. Selain buat pupuk, tikus tidak suka dengan aroma itu," tuturnya.

Lim mulai fokus ke burung hantu sejak 2009. Dia mulai melakukan pengamatan burung sejak tahun 2000. Saat itu, di Fakultas Biologi Atma Jaya sedang aktif melakukan pengamatan burung.

"Gara-gara di kampus lagi hobi mengamati burung, saya ikut. Awalnya itu mengamati burung di Kebun Binatang Gembira Loka," ujarnya.

Berawal dari situlah, pada tahun 2002 Lim mulai fokus melakukan pengamatan burung dan masuk ke Yayasan Kutilang. Namun karena harus mengurusi bengkel, 2009 Lim memutuskan keluar.

"Lalu saya mikir siang di bengkel, yang bisa untuk kegiatan malam apa, plus yang ada asas manfaatnya bagi orang lain. Dicari-cari oh ternyata ada, burung hantu," ucapnya.

KOMPAS.com/Wijaya Kusuma Dua burung hantu jenis Serawak Jawa (Tyto Alba Javanica) pemberian warga saat berada di kandang perawatan

Pada tahun 2009 itulah, Lim lalu turut mendirikan Raptor Club Indonesia (RCI). Tetapi karena belum mengetahui banyak tentang burung hantu, Lim bersama beberapa teman dari RCI melakukan pengamatan terlebih dahulu.

Ia melakukan pengamatan di Kota Yogyakarta, sampai dengan melihat kegiatan pemanfaatan burung hantu oleh petani di Mojokerto dan Trowulan.

"Butuh waktu tiga tahun melakukan pengamatan burung hantu," tegasnya.

Bapak satu anak ini, pernah mengamati burung hantu dari mulai bertelur hingga menetas. Berapa kali dalam sehari induknya kembali membawa tikus untuk memberi makan anak-anaknya. Bahkan, Lim menghitung jumlah tikus yang dimakan induk dan anak burung hantu selama 2,5 bulan.

"Kami pernah mengamati dan menghitung yang dimakan jantan berapa betina berapa, lalu menyuapi 2 anaknya. Jumlahnya dalam 2,5 bulan itu memakan, 1.080 ekor tikus," bebernya.

Disampaikanya pengamatan burung hantu itu sangat penting untuk memahami segala satunya, seperti daya jelajah, daya membunuh tikus dan reproduksinya.

Selain itu, seperti halnya manusia, setiap burung hantu memiliki perilaku yang berbeda-beda. Lim menyampaikan, karena terlalu menikmati proses pengamatan burung, ia baru lulus dari sarjana S1 pada tahun 2002.

"Masuk tahun 1995 dan lulus 2002, lama saya tinggal ngeluyur kemana-mana, karena tidak cukup kalau hanya di kampus saja. Meski pun salah, harusnya lulus dulu baru ngeluyur," kata Lim sambil tersenyum.

Setelah selesai melakukan pengamatan, dirinya bersama RCI mulai menerapkan pemanfaatan burung hantu untuk mengatur populasi tikus di wilayah Sleman Barat. Setelah itu, pada tahun 2013 hingga saat ini di Dusun Cancangan, Wukirsari, Cangkringan, Sleman.

 

 

 

Kompas TV Hilangkan Mitos Seram Burung Hanti
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com