Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita "Akhir Zaman" bagi Penjual Mainan Tradisional

Kompas.com - 16/05/2017, 13:29 WIB
Kontributor Yogyakarta, Teuku Muhammad Guci Syaifudin

Penulis

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - "Otok, otok, otok," begitu bunyi mainan tradisional bernama otok-otok. Slamet (50) memainkannya di Jalan Malioboro, Kota Yogyakarta, Selasa (16/5/2017).

Warga Dusun Kajar, Kelurahan Karangtengah, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul ini mencoba menarik perhatian pengunjung Jalan Malioboro dengan memainkan otok-otok.

Otok-otok merupakan mainan tradisional berbahan bambu yang mengeluarkan bunyi khas jika diputar. Slamet memainkan otok-otok di kiosnya selama dua jam, namun tak satu pun pejalan kaki mengunjungi lapaknya.

Tak menyerah, Slamet memainkan tolilot, mainan tradisional lain yang dijualnya. Tolilot merupakan mainan berbahan bambu menyerupai seruling itu bisa mengeluarkan bunyi khas jika ditiup.

Slamet tak hanya menjual tolilot dan otok-otok. Ia juga menjual gasing bambu. Semua mainan tradisional itu dijualnya dengan harga Rp 10.000 sampai Rp 15.000.

"Semua bisa ditawar asal cocok harganya," ujar Slamet.

Slamet menceritakan, mainan tradisional yang dijualnya itu merupakan khas Yogyakarta. Mainan itu buatan tangan masyarakat di daerah Semin, Kabupaten Gunung Kidul. Ia sengaja berjualan di Jalan Malioboro lantaran peminatnya cukup banyak.

"Kalau akhir pekan, lumayan penjualanya," ujar Slamet.

Menurut dia, banyak wisatawan luar kota yang tertarik membeli mainan tradisional itu. Kebanyakan wisatawan membeli mainan tradisional untuk menjadi oleh-oleh khas dari Yogyakarta.

"Uniknya, yang beli justru orang dewasa. Anak-anak jarang. Tapi itu juga buat untuk dimainkan, tapi sekedar buat senang-senang," kata dia.

(Baca juga: Kisah Mbah Boni Buat Mainan dari Tanah Liat sejak Zaman Jepang)

Slamet menilai, minat anak-anak untuk memainkan mainan tradisional seperti otok-otok, gasing, dan tolilot saat ini memang sangat rendah. Menurutnya, anak zaman sekarang lebih memilih bermain Android ketimbang memainkan otok-otok dan mainan tradisional lainnya.

"Anak zaman sekarang kalau main seperti dibilang ketinggalan zaman. Makanya sukanya yang modern biar dibilang gaul," kata Slamet.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com