Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita "Akhir Zaman" bagi Penjual Mainan Tradisional

Kompas.com - 16/05/2017, 13:29 WIB
Kontributor Yogyakarta, Teuku Muhammad Guci Syaifudin

Penulis

Kompas TV Physital jadi kata yang mendefiniskan inovasi mainan yang disuguhkan di pameran mainan di Kota New York, Amerika Serikat. Physital merupakan mainan dengan kombinasi fisik dan digital. Salah satunya adalah mainan lilin dari play doh. Produk mainan lilin dari hashro ini memungkinkan pengguna memainkan lilin yang sudah mereka bentuk dalam versi digital dan bisa dimainkan di tablet atau ponsel pintar. Bahkan bisa juga dimainkan menggunakan virtual reality. Boneka super cantik Barbie juga dipadu dengan kecanggihan teknologi. Si cantik ini mampu melakukan perintah dari pemiliknya. Yang juga jadi tren adalah mainan yang terinspirasi dari film. Seperti miniatur beauty and the beast juga para tokoh super hero. Mainan hingga kini masih jadi salah satu industri dengan pendapatan terbesar di dunia, mencapai 26 miliar Dollar Amerika Serikat atau sekitar Rp 346 triliun rupiah. Tak heran, perusahaan mainan berlomba memunculkan inovasi untuk menggaet pembeli.

Dia mengatakan, penjual mainan tradisional memang tak banyak ditemui di Yogyakarta. Menurutnya, penjual mainan tradisional ini muncul pada hari tertentu.

"Kalau yang tetap itu biasanya di Pasar Beringharjo. Tapi juga tidak banyak," kata Slamet.

Dari menjual mainan tradisional, Slamet tak banyak mengantongi keuntungan. Namun bukan keuntungan yang dicarinya, ia mencoba melestarikan mainan tradisional melalui usahanya. Dia menyebutkan, nasib mainan tradisional saat ini sudah seperti di akhir zaman.

"Saya niati jualan ini untuk mengenalkan dan mengingatkan mainan tradisional jangan sampai punah dan dilupakan. Apalagi mainan ini sudah diminati orang luar Indonesia. Mainan ini diekspor ke Eropa. Takutnya diaku-aku," kata Slamet.

Warsiyah (43), warga Sonopakis Lor, Kelurahan Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, mengaku jarang menemukan anak zaman sekarang memainkan mainan tradisional. Anaknya pun demikian.

"Sekarang anak saya sukanya main game yang ada di ponsel atau video game. Kalau engga selfie sama teman-temannya," kata Warsiyah di kediamannya.

Warsiyah menilai, teknologi menjadi pemicu utama yang mengakibatkan anak-anak zaman lebih gemar memainkan permainan seperti video game dan sejenisnya. Selain itu, ia menyebut sudah jarang menemukan penjual maupun pembuat mainan tradisional seperti dakon, bekel, otok-otok, dan lainnya.

"Dulu waktu saya kecil, mainan tradisional bisa buat sendiri. Dulu kalau beli, di sekolah-sekolah juga ada yang jual. Tapi sekarang jarang ada yang jualan," ucap Warsiyah.

Nisa Harsianti (12), anak kandung Warsiyah, mengaku tidak begitu banyak mengenal permainal tradisional. Hanya beberapa mainan tradisional yang pernah dimainkannya ketika masih berusia tujuh tahun.

"Dulu mainnya paling dakon dan bola bekel, itu pun kalau ada yang mengajak main. kalau tidak ada ya tidak main," kata murid kelas VI SD ini.

Nisa mengaku lebih senang memainkan permainan di ponsel ketimbang mainan tradisional. Bukan tanpa alasan, dia menilai permainan yang ada di ponsel lebih menarik. Selain itu, ia bisa swafoto dengan ponsel android milik ibunya itu.

"Kalau di ponsel itu bisa edit foto, jadi lucu-lucuan. Makanya saya suka. Kalau mainan tradisional itu enggak banyak tahu dan enggak ada yang mengajarkan," kata Nisa.

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com