YOGYAKARTA, KOMPAS.com - "Otok, otok, otok," begitu bunyi mainan tradisional bernama otok-otok. Slamet (50) memainkannya di Jalan Malioboro, Kota Yogyakarta, Selasa (16/5/2017).
Warga Dusun Kajar, Kelurahan Karangtengah, Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul ini mencoba menarik perhatian pengunjung Jalan Malioboro dengan memainkan otok-otok.
Otok-otok merupakan mainan tradisional berbahan bambu yang mengeluarkan bunyi khas jika diputar. Slamet memainkan otok-otok di kiosnya selama dua jam, namun tak satu pun pejalan kaki mengunjungi lapaknya.
Tak menyerah, Slamet memainkan tolilot, mainan tradisional lain yang dijualnya. Tolilot merupakan mainan berbahan bambu menyerupai seruling itu bisa mengeluarkan bunyi khas jika ditiup.
Slamet tak hanya menjual tolilot dan otok-otok. Ia juga menjual gasing bambu. Semua mainan tradisional itu dijualnya dengan harga Rp 10.000 sampai Rp 15.000.
"Semua bisa ditawar asal cocok harganya," ujar Slamet.
Slamet menceritakan, mainan tradisional yang dijualnya itu merupakan khas Yogyakarta. Mainan itu buatan tangan masyarakat di daerah Semin, Kabupaten Gunung Kidul. Ia sengaja berjualan di Jalan Malioboro lantaran peminatnya cukup banyak.
"Kalau akhir pekan, lumayan penjualanya," ujar Slamet.
Menurut dia, banyak wisatawan luar kota yang tertarik membeli mainan tradisional itu. Kebanyakan wisatawan membeli mainan tradisional untuk menjadi oleh-oleh khas dari Yogyakarta.
"Uniknya, yang beli justru orang dewasa. Anak-anak jarang. Tapi itu juga buat untuk dimainkan, tapi sekedar buat senang-senang," kata dia.
(Baca juga: Kisah Mbah Boni Buat Mainan dari Tanah Liat sejak Zaman Jepang)
Slamet menilai, minat anak-anak untuk memainkan mainan tradisional seperti otok-otok, gasing, dan tolilot saat ini memang sangat rendah. Menurutnya, anak zaman sekarang lebih memilih bermain Android ketimbang memainkan otok-otok dan mainan tradisional lainnya.
"Anak zaman sekarang kalau main seperti dibilang ketinggalan zaman. Makanya sukanya yang modern biar dibilang gaul," kata Slamet.
Dia mengatakan, penjual mainan tradisional memang tak banyak ditemui di Yogyakarta. Menurutnya, penjual mainan tradisional ini muncul pada hari tertentu.
"Kalau yang tetap itu biasanya di Pasar Beringharjo. Tapi juga tidak banyak," kata Slamet.
Dari menjual mainan tradisional, Slamet tak banyak mengantongi keuntungan. Namun bukan keuntungan yang dicarinya, ia mencoba melestarikan mainan tradisional melalui usahanya. Dia menyebutkan, nasib mainan tradisional saat ini sudah seperti di akhir zaman.
"Saya niati jualan ini untuk mengenalkan dan mengingatkan mainan tradisional jangan sampai punah dan dilupakan. Apalagi mainan ini sudah diminati orang luar Indonesia. Mainan ini diekspor ke Eropa. Takutnya diaku-aku," kata Slamet.
Warsiyah (43), warga Sonopakis Lor, Kelurahan Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul, mengaku jarang menemukan anak zaman sekarang memainkan mainan tradisional. Anaknya pun demikian.
"Sekarang anak saya sukanya main game yang ada di ponsel atau video game. Kalau engga selfie sama teman-temannya," kata Warsiyah di kediamannya.
Warsiyah menilai, teknologi menjadi pemicu utama yang mengakibatkan anak-anak zaman lebih gemar memainkan permainan seperti video game dan sejenisnya. Selain itu, ia menyebut sudah jarang menemukan penjual maupun pembuat mainan tradisional seperti dakon, bekel, otok-otok, dan lainnya.
"Dulu waktu saya kecil, mainan tradisional bisa buat sendiri. Dulu kalau beli, di sekolah-sekolah juga ada yang jual. Tapi sekarang jarang ada yang jualan," ucap Warsiyah.
Nisa Harsianti (12), anak kandung Warsiyah, mengaku tidak begitu banyak mengenal permainal tradisional. Hanya beberapa mainan tradisional yang pernah dimainkannya ketika masih berusia tujuh tahun.
"Dulu mainnya paling dakon dan bola bekel, itu pun kalau ada yang mengajak main. kalau tidak ada ya tidak main," kata murid kelas VI SD ini.
Nisa mengaku lebih senang memainkan permainan di ponsel ketimbang mainan tradisional. Bukan tanpa alasan, dia menilai permainan yang ada di ponsel lebih menarik. Selain itu, ia bisa swafoto dengan ponsel android milik ibunya itu.
"Kalau di ponsel itu bisa edit foto, jadi lucu-lucuan. Makanya saya suka. Kalau mainan tradisional itu enggak banyak tahu dan enggak ada yang mengajarkan," kata Nisa.