Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Farida, Wanita yang Terselamatkan Hidupnya karena Tembakau (2-Tamat)

Kompas.com - 05/05/2017, 19:17 WIB
Kontributor Semarang, Nazar Nurdin

Penulis

Kompas TV Menteri Susi  “Cubit Gemas” Menkeu Sri Mulyani

Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Mitra Ria Husada Jakarta Timur yang juga dokter ahli kandungan, dr Hakim Sorimuda Pohan, mengatakan bahwa tembakau membuat ketagihan karena ada kandungan berbahaya, yaitu nikotin.

Tingkat kecanduan untuk berhenti mengonsumsi nikotin, menurut ilmu kedokteran lebih berat dibanding meminum kopi atau mengkonsumsi barang terlarang seperti ganja, nikotin, alkhohol, heroin, dan morfin.

"Ganja, miras, morfin, rokok adalah kecanduan adiktif yang sulit untuk berhenti. Rokok mudah diperoleh dengan harga murah. Seorang di tempat bebas tinggal merokok tanpa takut dikejar, dan itu beda dengan ganja, morfin, yang dikejar polisi," kata Hakim kepada Kompas.com, Jumat (5/5/2017).

Anggota Komnas Pengendalian Tembakau ini berharap masyarakat diberi pencerdasan soal bahaya nikotin. Asap rokok mengandung banyak racun kimia. Dalam publikasi terkini, ada 6.000 racun kimia, dua di antaranya sianida dan arsen.

"Asap rokok mengandung 6.000 bahan kimia ini dosisnya kecil, jadi ketahuan setelah 30-40 tahun. Merokok adalah tindakan bunuh diri secara perlahan," tambahnya.

Baca juga: Hati-hati, Nikotin Bisa dengan Mudah Menempel di Tangan Anak

Terkait temuan tembakau untuk kesehatan, Hakim tidak sependapat soal inovasi itu. Pihak penggagas, sambung dia, tidak bisa menjelaskan soal yang dimaksud dengan molekul kecil atau yang disebut nano.

"Riset soal tembakau sudah ada sejak dulu, dan itu dipublikasikan secara ilmiah. Kalau protes dilakukan secara ilmiah, jangan dimasukkan ke ranah populer," pintanya.

Hakim pun yakin bahwa temuan tembakau untuk kesehatan tidak akan diterima di kalangan dunia ilmiah. Ia yakin karena hal demikian tidak masuk akal.

"Masyarakat awam jangan mudah percaya," tambahnya.

Tulisan berseri ini adalah hasil liputan Nazar Nurdin, kontributor Kompas.com di Semarang, sebagai peserta program Fellowship Membaca Kretek 2017 yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com