Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demi Anaknya Bisa Sekolah, Ibu Ini Terus Mengayun Martil...

Kompas.com - 21/04/2017, 07:00 WIB
Sukoco

Penulis

NUNUKAN, KOMPAS.com – Teriknya sinar matahari siang itu tak dihiraukan Rasna (43). Keringat yang terus megucur tak menghentikan tangannya untuk terus mengayun martil 10 kilogram ke beberapa bagian batu yang coba dia pecahkan.

Hari ini sepertinya nasib kurang berpihak kepada Rasna, sudah hampir pukul 12:00 Wita, ayunan martilnya belum juga bisa mengumpulkan setengah kubik batu. Padahal untuk memecah batu besar hingga menjadi ukuran sekepala manusia dewasa, Rusna hanya di beri upah Rp 25.000 pe rkubik .

“Kalau batu putih keras, bisa 3 hari baru bisa dapat 1 kubik,” ujarnya.

Profesi memecah batu bagi seorang perempuan memang agak jarang. Namun tuntutan hidup memaksa eks TKI dari Malaysia tersebut menekuni profesi yang tidak biasa tersebut selama 7 tahun terakhir.

Sejak dia bersama ke 8 anaknya terdampar di Nunukan, mengayun martil sudah menjadi ritme hidupnya.

Beratnya beban hidup seakan tak memberi pilihan kepada Rasna untuk memilih pekerjaan lain.

”Mau sebetulnya berjualan, tapi modalnya dari mana? Kalau pekerjaan mecah batu tidak perlu modal. Modal martil, ini pun masih ngutang,” ucapnya.

Baca juga: Dian Sastro: Kalau Nonton Kartini Jangan Direkam Ya...

Ubi dan air putih

Untuk 2 buah martil 10 kilo yang dimilikinya, Rasna masih berutang Rp 230.000 kepada juragan yang memiliki lahan batu di Sungai Apuk Desa Binusan tersebut. Utang tersebut akan dibayar semampunya dengan menyisihkan penghasilannya.

Rasna baru menghentikan ayunan martilnya ketika azan zuhur sayup sayup terdengar. Setelah beristirahat sejenak dengan minum air putih, bukannya pulang tapi Rasna pergi ke lereng bukit untuk memetik daun singkong dan mecabut ubi liar yang tumbuh di sekitar lereng gunung batu tempatnya bekerja.

Kerasnya batu yang dia pecahkan 2 hari terakhir membuat upahnya menipis. Persediaan berasnya hanya cukup untuk makan siang hari ini. Itu artinya anak anaknya harus terpaksa menyantap ubi rebus dan air putih untuk makan malam.

“Kalau sehari cuma dapat Rp 15.000 atau Rp 20.000, terpaksa anak anak sarapan ubi dan air putih. Siang baru makan nasi. Malam terpaksa makan ubi lagi. Sempat anak anak protes, kenapa hidup kita begini?” ucapnya.

Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, kadang Rasna menerima pekerjaan mencuci baju atau mencucui piring milik tetangganya.

Sulitnya hidup membuat beberapa anak Rasna berinisiatif membantu meringankan beratnya beban hidup perempuan dari Kota Bau Bau Sulawesi Tenggara tersebut.

Anak nomor 2 yang duduk di bangku SMK terpaksa mencari kerja serabutan dengan menjadi kuli angkut kayu dengan upah Rp 10.000 hingga Rp 15.000 usai sekolah.

Sementara anaknya yang duduk di bangku sekolah dasar lebih sering pergi memancing di sungai atau pantai untu mencari tambahan lauk makan. Yang lain menemaninya mengayun martil memcah batu.

“Upah anak yang SMK bisa buat beli peralatan sekolah, kalau yang mancing dapat ikan bisa buat lauk,” kata Rasna.

Minimnya penghasilan sebagai pemecah batu juga mmebuat Rasna tidak memiliki pilihan untuk memilih tempat tinggal. Dia masih bersyukur ada tetangganya yang baik hati dengan memberikan tumpangan untuk dirinya dan 8 anaknya berteduh di sebuah gubuk beukuran 4X6 meter.

Beberapa bagian dinding rumah dari kayu sudah mulai rapuh, atap dari seng juga sudah mulai menetes karena bocor ketika hujan turun.

Beratnya hidup yang harus dipikul Rasna membuat anak perempuannya nomor 1 lebih memilih hidup di negara Malaysia bersama bapaknya.

“Kalau rumah dipinjami, tidak bayar. Hanya listrik yang bayar sama yang punya rumah,” kata Rasna.

Selama hampir 11 tahun menjadi warga Nunukan dengan bukti memiliki KTP Nunukan, tak sekalipun Rasna menerima bantuan dari pemerintah. Baik itu melalui santunan maupun melalui bantuan iuran BPJS sebagai orang miskin.

Biaya kesehatan bagi anak-anak menurut dia, sangat penting jika suatu saat dibutuhkan mengingat untuk makan saja mereka masih kekurangan.

Satu-satunya orang yang sering memberi bantuan sembako adalah mantan komandan Distrik Militer Nunukan.

”Sudah hampir setahun beliau pindah. Sejak saat itu tidak ada lagi bantuan beras,” ucap Rasna.

Baca juga: Generasi Terakhir Perempuan Dayak Berkuping Panjang

Semua anaknya harus sekolah

Pahitnya hidup serta beratnya beban kerja tak membuat Rasna mengeluh. Menurut dia, semua itu akan hilang dengan sendirinya jika ia melihat anak anaknya menemaninya bekerja atau anak anaknya memahami kesulitan hidup yang dia alami.

Baginya kemiskinan tak menjadi persoalan selama dia bisa mengasuh anak-anaknya. Hidupnya hanya dia dedikasikan untuk anak anaknya agar bisa bersekolah. Sesulit apapun hidup, anak-anaknya harus bersekolah.

“Biarlah hidup susah, saya hanya ingin melihat mereka mencapai cita-cita mereka. Ada yang bercita-cita jadi polisi, ada yang bercita-cita jadi dokter, ada yang bercita-cita jadi tentara,” ujarnya.

Rasna mengaku akan tetap mengayunkan martilnya entah hingga kapan. Namun yang pasti, ke 8 anaknya harus berhasil mencapai cita cita mereka.

Baca juga: Perempuan Aceh Ini Dijuluki Si "Pemburu Darah"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com