Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Korban Gunung Merapi, Maju Kena Mundur Pun Kena

Kompas.com - 18/03/2017, 08:00 WIB

KOMPAS.com - Tujuh tahun berlalu saat Gunung Merapi, yang terletak di tiga wilayah, yakni Kabupaten Sleman di DI Yogyakarta serta Kabupaten Boyolali dan Magelang di Jawa Tengah, meletus. Semburan Merapi pada 2010 meninggalkan cerita sedih dan mengerikan.

 Tragedi itu telah menelan lebih dari 200 jiwa dan sekitar 700 orang mengalami luka bakar serius. Kejadian mengerikan tersebut tak terlupakan hingga sekarang.

Setelah tragedi itu, pemerintah mengeluarkan larangan agar warga tidak kembali ke tempat tinggal semula. Namun, kenyataannya, warga tak merespons larangan itu. Mereka tetap tinggal di wilayah daerah bahaya I.

Empat dusun yang telah hancur kembali dihuni warga. Keempat dusun itu adalah Srunen, Kalitengah Kidul, Kalitengah Lor, dan Klangon yang terletak hanya 4 kilometer dari puncak Merapi. Keempat dusun yang masuk dalam wilayah Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, ini dihuni sekitar 70 keluarga.

Keempat dusun itu berada di pinggiran Kali Gendol yang menjadi kanal material letusan Merapi. Untuk memasuki wilayah empat dusun ini, pendatang harus melewati jalan yang rusak parah. Jika tak terampil mengemudi, mobil bisa kandas terjebak lubang yang menganga.

Desa mandiri

Meski jalanan menuju desa rusak parah, kondisi jalan di dusun terbilang masih mulus. Keberadaan jalan itu pula yang membuat roda ekonomi di keempat dusun itu masih berjalan baik. Desa itu juga masih mendapat fasilitas sambungan listrik dari Kabupaten Klaten.

Warga desa pun bisa mandiri. Mereka bisa mencari nafkah dan menata dusunnya sendiri. Kesejahteraan itu mereka dapat dari muntahan pasir letusan Merapi. Kali Gendol yang semula berkedalaman sekitar 40 meter berubah menjadi daratan pasir setelah erupsi Merapi.

Demi cepatnya penataan Kali Gendol, Pemerintah Kabupaten Sleman memperbolehkan penambangan pasir menggunakan ekskavator. Warga pun ramai-ramai menyewa ekskavator untuk menambang pasir. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang menjual pasir di pekarangan rumah mereka kepada para pengusaha ekskavator.

Setiap hari ratusan truk pasir keluar dari Kali Gendol. Warga merasakan kemakmuran dari pasir Merapi. Mereka bisa membangun rumah permanen serta membeli mobil dan motor. ”Ya, semua karena pasir yang berlimpah,” kata Ny Timbul, warga Klangon.

Bangun jalan

Warga secara arif dan cerdas bergotong royong membangun jalan desa secara swadaya dengan conblock atau cor semen. Ekonomi desa pun berubah drastis. Suasana kemakmuran itu terasa ketika memasuki gerbang Dusun Srunen, misalnya. Mereka secara mandiri membangun identitas dusun dengan tulisan ”Srunen City”.

Mereka membuat huruf besar dengan lebar dan tinggi 75 cm dari besi putih. ”Saya waktu kecil berjalan kaki dari wilayah wisata Kaliurang ke dusun ini hampir delapan jam. Namun, kini, saya enggak nyangka, dusun yang dulu sunyi kini jadi kampung yang indah,” kata Agustinus Antok (35), warga Kaliurang.

Meski indah, keempat dusun itu merupakan daerah yang tak boleh dihuni. Namun, karena asri dan penuh pepohonan, tempat tersebut menjadi daya tarik kuat untuk dikunjungi wisatawan lokal. Kelompok sepeda dari berbagai komunitas sering menggunakan keempat dusun ini sebagai lokasi gowes karena konturnya menarik.

Bahkan, komunitas motor trail dari sejumlah kota menjadikan jalan rusak menuju dusun sebagai lokasi berlatih. Mereka rela merogoh kocek, setelah mendapat izin dari pihak dusun setempat, membuat jalan ekstrem di wilayah paling puncak Dusun Klangon.

Warga pun memanfaatkan fasilitas itu dengan membangun gardu pandang. Melalui gardu itu, pengunjung bisa melihat kondisi detail Gunung Merapi jika cuaca sedang cerah.

Menambah penghasilan

Sejak setahun terakhir ini, Pemkab Sleman melarang pemakaian ekskavator untuk penambangan pasir. Di samping upaya normalisasi Kali Gendol, penambangan dengan ekskavator bisa merusak lingkungan.

”Selain itu, saat produksi pasir sudah menipis seperti sekarang ini, hal itu justru hanya menguntungkan pengusaha,” kata Warso, sopir truk pasir asal Kudus, Jawa Tengah, yang sejak 2010 mencari pasir di Kali Gendol.

Kini, untuk menambah penghasilan, warga memelihara sapi perah. Hampir setiap keluarga memiliki sapi perah minimal dua ekor.

”Soal makanan ternak tidak sulit. Selain mencari di hutan Merapi, penduduk juga menanam rumput kolonjono di sela-sela pohon sengon sebagai investasi warga,” kata Bu Dargo (55), warga Dusun Srunen.

Mereka sadar bertempat tinggal di daerah terlarang. Namun, meninggalkan dusun berarti meninggalkan kesejahteraan. Ibaratnya, maju kena mundur pun kehilangan kehidupan.

Dusun Pager Jurang, yang terletak di bawah empat dusun teratas itu, memiliki cara hidup berbeda. Dusun ini kosong dari hunian karena semua warganya tinggal di hunian tetap bantuan pemerintah.

Namun, warga Dusun Pager Jurang cukup cerdas. Mereka berhasil memanfaatkan pekarangan rumah sebagai lahan pohon sengon. Mereka menjual ratusan kubik pasir yang ada di lahan mereka untuk modal menanam sengon. Satu truk hingga ke tujuan Semarang dihargai hingga Rp 2 juta.

Setelah tujuh tahun ditanam, pohon sengon layak untuk dipanen. Harga per pohon sengon bisa mencapai Rp 2 juta, padahal minimal rata-rata warga memiliki minimal 50 pohon.

Hal itu membuka mata siapa pun bahwa erupsi gunung api ternyata juga berkah bagi warga. Namun, di balik berkah itu juga tersimpan potensi bahaya yang besar.

Mereka tinggal di daerah berbahaya. Meski mereka sadar letusan itu bisa terjadi setiap saat, bisa tahun depan, lima tahun lagi, atau puluhan tahun lagi, tetap saja mereka berada di daerah berbahaya.

Ibaratnya maju kena mundur pun kena. Oleh sebab itu, diperlukan sistem mitigasi bencana yang berkemakmuran. Tentunya tanpa meninggalkan kearifan lokal di seputar dusun itu. (Thomas Pudjo Widijanto)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Maret 2017, di halaman 1 dengan judul "Maju Kena Mundur Pun Kena".

 

Kompas/Thomas Pudjo Widyanto Srunen city sebagai keinginan untuk menunjukkan bahwa dusun srunen mampu membenahi diri untuk menghidupkan dusunnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com