Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Abdul Ghofir Nawawi, Guru Penjaga Kebinekaan Indonesia

Kompas.com - 25/11/2016, 07:50 WIB
Rosyid A Azhar

Penulis

Di tengah keragaman agama dan suku, ia mendapat pesan dari gurunya agar mendidik saja anak-anak di desa ini, tidak perlu mengislamkan umat agama lain.

Ia ingat pesan sang guru agar jangan berkelahi antarumat beragama dan terus berjuang memperbaiki kesejahteraan masyarakat.

"Sambil mendidik anak-anaknya, kami juga mengajak para transmigran yang beragama lain untuk membicarakan cara mengatasi masalah hidup. Waktu itu tanah tidak dapat ditanami, kami hampir saja putus asa dan pulang ke daerah masing-masing," kata dia.

Abdul Ghofir tidak menyerah. Ia terus membujuk warga untuk bersikap optimistis. Ia bahkan berjanji untuk menyiapkan anak-anak mereka dalam pendidikan.

Hambatan justru datang dari sebagian umat Islam. Mereka mengacungkan celurit saat Abdul Ghofir melakukan komunikasi.

"Kami tidak butuh nasihat, yang kami butuhkan makanan," kata dia menirukan orang yang menentangnya.

Dari bangunan sederhana, ia merintis pendidikan melalui pesantren. Setiap hari anak-anak transmigran yang terlihat kurus datang mengaji. Awalnya ada 20 anak, lalu berkembang menjadi 30 siswa. Mereka tekun mengaji.

Setelah rasa perlu membuka sekolah formal, Abdul Ghofir membangun gedung baru di tengah berbagai macam kendala. Di gedung ini diselenggarakan proses pendidikan madrasah ibtidaiyah. Anak-anak makin banyak yang menyukainya dan banyak transmigran yang menaruh pengharapan pendidikan pada upaya Abdul Ghofir.

Sekolah formal pun berjalan, tenaga mencari pendidik yang ia rekrut dan biayai sendiri. Perjuangan ini terus berjalan hingga kini.

"Saya ikhlas mendidik anak-anak transmigran, tidak perlu bantuan pemerintah, seluruhnya saya usaha sendiri pendanaannya," ujarnya.

Seiring perjalanan waktu, pondok pesantren dan sekolah formal makin berkembang. Di kompleks tersebut, ada bangunan pendidikan anak usia dini, madrasah ibtidaiyah (SD), madrasah tsanawiyah (SMP), madrasah aliyah (SMA), SMK peternakan, serta pendok pesantren.

Siswa dan santrinya tidak hanya anak transmigran. Murid yang sekolah di sini juga berasal dari Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Selatan. Semua santrinya ada 400 orang, jika ditambahkan dengan siswa sekolah, jumlahnya 800-an orang.

Yang bersekolah di sana tidak hanya siswa beragama Islam. Ada juga siswa yang beragama Hindu dan Kristen.

"Ada pilihan sekolah lain, tapi mereka memilih untuk menyekolahkan anaknya di sini. Ini adalah buah kepercayaan dan saling pengertian yang kami rintis puluhan tahun lalu," kata Abdul Ghofir.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com