Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sekolah Tua Melawan Budaya Malas Baca

Kompas.com - 02/11/2016, 10:39 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha

Penulis

MEDAN, KOMPAS.com - Dua siswa SMA asyik membaca di dekat tangga sekolah Yayasan Pendidikan Parulian, Medan, Sumatera Utara. Teman-temannya juga melakukan sama, berkumpul di dekat lemari kecil penuh buku.

Cuplikan suasana di kompleks sekolah YP Parulian itu setidaknya memberi harapan baru tentang gerakan literasi di sekolah tersebut. Memang tidak semua siswa di sana gemar membaca atau paham istilah literasi, tetapi hal itu dapat menjadi langkah awal untuk mendekatkan siswa pada buku.

Ketua Badan Pendiri YP Parulian Sopar Siburian mengakui bahwa sebelum sekolahnya didampingi United States Agency for International Development (USAID) Prioritas minat baca siswa didiknya sangat rendah.

Baginya, budaya malas membaca inilah yang harus dilawan. Literasi harus menjadi kebiasaan semua anak didik sekolah yang didirikan oleh Pdt M Siburian pada 1957.

Pada Kamis (27/10/2016) pekan lalu, sekolah yang berusia lebih dari setengah abad itu mendeklarasikan Gerakan Literasi Sekolah (GLS).

"Terus terang saja kita katakan, literasi ini dimulai sejak didampingi USAID. Kita terbuka dengan keadaan ini. Kami akan terus berupaya meneruskan pergerakan ini, supaya literasi menjadi kebiasaan anak-anak murid kami," kata Sopar, Senin (31/10/2016).

Gayung bersambut, USAID Prioritas memberi 600 buku berbahasa Inggris untuk menambah koleksi buku-buku mereka. Buku berbahasa asing itu tidak menjadi masalah karena di sekolah mereka sudah biasa menggunakan bahasa asing itu.

"Secara bahasa kita sudah lepas, jadi buku apa saja yang diberikan, anak-anak akan melahapnya," ucap pria berkacamata itu dengan semangat.

Untuk mendukung implementasi GLS, di sekolah tersebut tersedia gerobak dan pojok literasi di setiap kelas, halaman sekolah, dan kantin yang akan terus diperbanyak.

Pengelolanya adalah para murid sendiri. Setiap orang wajib menyumbang dua buku dalam setahun sehingga target 2.000 buku per tahun akan terwujud.

Buku yang paling diminati adalah buku pengetahuan tentang sejarah, pariwisata, sumber daya alam, dan kekayaan Indonesia. Ada banyak pula novel dan buku-buku fiksi.

"Dengan membaca buku fiksi, anak-anak akan berangan-angan, berimajinasi, lalu menciptakan. Kelemahan kita selama ini adalah kurang bisa mencipta, hanya bisa meniru," kata Sopar.

Mengutip hasil penelitian di Amerika Serikat pada 2010, Sopar menyatakan bahwa seorang pelajar kelas III SD yang tidak mampu membaca dengan baik berisiko empat kali tidak menamatkan pendidikan dasarnya. Indonesia baru serius mendesain GLS secara nasional pada 2015.

"Dengan literasi, saatnyalah kita bangkit mengejar ketertinggalan dari negara lain," ucap dia.

Kepala Bagian Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Bina Kemasyarakatan dan Sosial Sekretariat Daerah Provinsi Sumut Rosmawati Nadeak mewakili Gubernur Sumatera Utara mengatakan, GLS adalah gerakan menyeluruh yang melibatkan semua warga sekolah dan masyarakat sebagai bagian dari ekosistem pendidikan. Sesuai UU Pendidikan, pendidikan adalah tanggung jawab bersama.

Sekolah tersebut menjadi lembaga pendidikan swasta pertama yang melaksanakan seminar bertajuk GLS di Sumut, yang melibatkan 5.200 siswa, 341 guru dari 23 sekolah.

Warga sekolahnya ditargetkan tuntas membaca minimal empat buku dalam setahun dan enam buku untuk para guru.

"Harapan kami, apa yang dilakukan sekolah ini memotivasi sekolah swasta lain. Sehingga pembangunan di Sumut semakin meningkat, semakin paten, dan menjadi tiga besar di tingkat nasional," kata Rosmawati.

Di tempat berbeda, Kabid Pendidikan Dasar dan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Dinas Pendidikan Sumut Erni Mulatsih mengatakan, kewajiban membaca 15 menit sebelum jam pelajaran seperti yang dilakukan YP Parulian belum dilaksanakan sekolah-sekolah lain, padahal mereka mengetahuinya.

"Di Sumatera Utara, Parulian ini satu-satunya sekolah yang mendeklarasikan GIS. Kalau kota dan kabupaten sudah ada, tapi kalau sekolah baru ini," kata Erni.

Saat ini visi pendidikan adalah terbentuknya insan serta ekosistem pendidikan dan kebudayaan yang berkarakter berdasarkan gotong royong. Berkarakter merujuk pada etika, sikap, dan perilaku, tidak cukup hanya pintar.

Program literasi tersebut dikawal langsung Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad. Literasi adalah bagian dari pertumbuhan budi pekerti, jadi membaca 15 menit hukumnya wajib karena hanya sebagian kecil dari literasi.

"Mei 2017 nanti, kita akan mendeklarasikan diri sebagai provinsi literasi dan memecahkan rekor MURI untuk pelatihan big book terbanyak," kata Hamid.

Setelah nanti menjadi provinsi literasi, ada regulasi yang menginstruksikan kepada seluruh bupati dan wali kota agar mewajibkan membaca sebelum jam belajar, membaca untuk jenjang SD enam buku dalam setahun. Siswa SMP dengan 12 buku dan SMA dengan 18 buku per tahun.

"Jadi kalau hari ini masih empat buku, tidak apa-apa dari pada tidak membaca sama sekali," kata Erni.

Menuju provinsi Literasi

Survei UNESCO 2011 menyatakan, tingkat membaca orang Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, hanya satu dari seribu orang yang punya minat baca.

Catatan lainnya, berdasarkan studi "Most Littered Nation In the World" oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016, Indonesia berada di nomor 60 dari 61 negara terkait minat membaca.

"Jadi kalau kita periksa, dalam satu kecamatan, belum tentu ada satu orang pun yang membaca dengan serius," ujar Erix Hutasoit, Usaid Prioritas – Provincial Communication Specialist to North Sumatera.

Inilah awal mula Usaid Prioritas mendampingi YP Parulian untuk menjalankan program GLS. Masih di 2016, lewat program diseminasi, sebanyak 99 guru SD dan SMP dilatih pembelajaran aktif (active learning) untuk membantu sekolah menyediakan layanan pendidikan bermutu.

Koordinator Provinsi Usaid Prioritas Sumatera Utara Agus Marwan mengatakan, sejak 2014, lembaganya sudah mengimplementasikan program literasi di 15 kabupaten/kota.

Program itu meliputi hibah buku dan pelatihan kepada ribuan guru. Sebanyak 31.500 buku bacaan sastra dan sains diberikan kepada 210 sekolah dan 1,1 juta buku bacaan berjenjang untuk 1.838 SD dan madrasah.

Kabupaten Labuhanbatu, Serdang Bedagai, Kota Binjai dan Tebing Tinggi sudah mendeklarasikan diri sebagai daerah literasi. Kemendikbud pun mencalonkan Labuhanbatu dan Serdang Bedagai sebagai Kabupaten Percontohan Literasi Nasional. Menyusul kemudian, Sumut akan mendeklarisikan diri sebagai provinsi literasi setelah DKI Jakarta, Riau dan Nusa Tenggara Barat (NTB).

"Sumut akan menjadi provinsi literasi keempat di Indonesia. Kami sangat mendukung dan siap membantu," kata Agus.

Konsul Amerika Serikat untuk Pulau Sumatera Juha P Salin sangat mendukung deklarasi GLS di YP Parulian Medan.

Baginya, literasi memberikan manfaat kepada ribuan murid yang ada di bawah naungan sekolah ini, seperti di Kota Medan, Kabupaten Toba Samosir dan Dairi.

"Semakin baik kemampuan membaca siswa, semakin baik pula kemampuan belajarnya," kata Juha.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com