Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Jadi Romusa hingga Kini, Hidup Kakek Arsyad Tetap Menderita

Kompas.com - 19/07/2016, 17:54 WIB
Syarifudin

Penulis

DOMPU, KOMPAS.com - Arsyad, seorang kakek sebatang kara hidup di gubuk reyot dekat lereng gunung, kawasan Desa Marada, Kecamatan Hu`u, Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat.

Kakek yang berusia seabad lebih ini tinggal di gubuk berukuran 1x2 meter. Di gubuk itu, Arsyad yang biasa dipanggil Kakek Sao ini tinggal seorang diri yang jauh dari permukiman warga.

Gubuknya hanya beralas kayu, beratap terpal dan berdinding sisa bungkusan semen.

Tubuhnya yang lesu berbalut pakaian yang kusam dan lusuh melemparkan senyum ketika menyambut Kompas.com yang bertandang ke gubuknya, Selasa (19/7/2016).

Ia tidak bisa berbahasa Indonesia, hanya bisa berbahasa daerah (Bima). Namun kakek ini fasih berbahasa Jepang. Betapa tidak, dia pernah merasakan pahitnya hidup di masa penjajahan Jepang dan Belanda kala itu.

Walaupun pendengarannya sedikit terganggu, namun kakek Sao masih bisa menceritakan sejarah hidupnya. Meski sesekali harus dipandu dengan bahasa isyarat.

Kakek Sao mengisahkan, ia pernah menjadi romusa dan membuat gua Jepang yang kini menjadi salah satu situs bersejarah di daerahnya. Namun ia lupa berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pembuatan gua itu.

"Kami harus menggali gunung untuk membuat terowongan gua itu," ceritanya.

Kakek Sao adalah salah satu pribumi yang menjadi langganan Jepang untuk diperkerjakan secara paksa. Setiap berangkat dan pulang kerja, kakek Sao melantunkan lagu-lagu Jepang yang diajarkan. Sehingga tidaklah heran ia sangat hafal dengan lagu-lagu Jepang dan kerap dilantunkan untuk mengisi kesehariannya di pinggir sungai.

Untuk menyambung hidup selama ini, kakek Sao hanya mengandalkan pohon bambu dan buah asam yang jatuh di dekat gubuknya. Bambu dan buah asam dijual atau dibarter dengan beras dan ikan untuk dimakan setiap hari.

Gubuk reyot tempatnya berteduh di bagian tengah dibuatkan lubang untuk berlindung jika hujan turun. Sementara untuk mengambil kayu api buat keperluan memasak, kakek Sao harus tertatih tatih berjalan sejauh satu kilometer.

Air sungai di dekatnya menjadi andalan untuk kebutuhan mandi, minum, dan memasak. Kakek Sao pernah memiliki seorang istri, namun sudah lama meninggal dunia.

Dari pernikahannya itu, Kakek Sao tidak mendapatkan keturunan. Menurut ceritanya, ia sudah puluhan tahun hidup di lereng gunung tersebut.

“Saya tinggal di sini sejak usia masih muda, sejak zaman penjajahan hingga sekarang," tuturnya.

Kakek Sao kadang makan dan terkadang tidak. Sesekali ia mendatangi rumah warga untuk meminta sesuap nasi guna menyambung hidupnya.

“Saya tidak memiliki apa-apa, Saya hanya mengandalkan hidup dari asam yang jatuh dan bambu yang ada di kebun,” katanya.

Sementara keluarganya tidak pernah menjenguknya selama ia hidup sebatang kara di lereng gunung tersebut. Padahal mereka tinggal tidak jauh dari tempat dia tinggal.

“Saya hanya dikunjungi oleh orang-orang yang peduli saja,” kata Kakek Sao.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com