Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demi Mendidik Anak Kebutuhan Khusus, Bunda Nina Rela Digigit hingga Dibayar Nasi Kuning

Kompas.com - 03/05/2016, 12:15 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati

Penulis

"Kami hanya ingin membantu agar anak-anak kebutuhan khusus lebih mandiri dan masyarakat juga bisa menerima keberadaan mereka tanpa mengalami diskriminasi," jelas perempuan lulusan psikologi Universitas Diponegoro, Semarang.

Hingga ia memutuskan untuk mendirikan yayasan khusus untuk menangani anak-anak kebutuhan khusus, mulai dari autisme spectrum disorder, attention deficit and hyperactivity disorder, cerebral palsy dan dyselexia, termasuk juga down syndrome.

Tidak jarang ia mendapatkan penolakan dari orangtua dan masyarakat ketika ia meminta agar datang ke yayasannya untuk diterapi karena alasan biaya.

"Saya hanya bilang yang penting ada yang ngantar ke yayasan karena jika terapi dilakukan di rumahnya tidak memungkinkan. Kalau tetap menolak, ya saya tidak berbuat apa-apa lagi, padahal saya sudah bilang nggak usah mikir biaya," katanya dengan mengusap air mata.

"Maaf saya selalu nangis kalau ingat mereka karena tidak bisa melakukan apa-apa lagi untuk mereka," katanya.

Padahal untuk terapi tidak harus dilakukan setiap hari. Seminggu hanya dua atau tiga kali sesuai dengan kebutuhan sang anak, termasuk juga lingkungan yang mendukung dari orangtua dan keluarga.

Ia mencontohkan, seorang anak kebutuhan khusus asal Melaya, Bali, ditemani ayahnya yang datang sore hari untuk melakukan terapi, lalu menginap semalam dan melanjutkan terapi pada pagi harinya sebelum kembali pulang ke Bali.

"Untuk terapi yang dilakukan kepada anak kebutuhan khusus membutuhkan waktu sekitar satu sampai dua jam. Anak tersebut menunjukkan kemajuan yang luar biasa," katanya.

Saat ini, ibu satu anak tersebut bersebut mempunyai mimpi untuk memiliki sekolah vokasional yang mengajarkan ketrampilan kepada anak anak kebutuhan khusus.

Mereka bisa belajar musik dan keterampilan lainnya untuk bekal kehidupan ke depan seperti sekolah vokasional yang pernah ia kunjungi di Singapura.

Menurut perempuan yang mengikuti College Allied Educator tersebut, di Singapura ada sebuah sekolah yang melatih mereka yang berkebutuhan khusus membuat kerajinan dan pemerintah membantu menjualkan barang, dan hasilnya ditabung atas nama prbadi. Tabungan tersebut baru boleh dibuka jika orangtua yang bersangkutan meninggal dan digunakan untuk biaya hidup.

"Rata-rata orang tua yang memiliki anak kebutuhan khusus selalu 'curhat' ke saya kalau nanti meninggal lebih dulu gimana nasib anaknya. Saya bilang harus dilatih agar bisa mandiri," jelasnya.

Dia juga menegaskan bahwa penanganan anak kebutuhan khusus bukan hanya tanggung jawab pendidik atau keluarga, tapi pemerintah juga mempunyai peranan penting.

"Semua harus saling mendukung agar pendidikan untuk anak kebutuhan khusus mendapatkan perhatian khusus serta tidak ada lagi diskriminasi terhadap mereka," pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com