Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Membangun Asa dan Nilai Toleransi

Kompas.com - 25/08/2015, 19:50 WIB

Zulkifli, yang juga anggota staf pengajar, kemudian dipercaya menangani sekolah itu hingga kini. Kendati tak ada donatur tetap, ia tidak melenceng dari semangat awal pendirian sekolah itu, yakni membebaskan biaya pendidikan.

Sekolah berdiri atas keprihatinan terhadap kondisi anak-anak di sekitar kawasan tersebut. Anak-anak itu umumnya korban konflik yang berasal dari keluarga tak mampu secara ekonomi atau dari latar belakang keluarga yang tidak utuh.

Murid tentu tidak memiliki cukup uang untuk membayar iuran di sekolah lain yang berbiaya tinggi kendati pemerintah di negeri ini sering mengampanyekan sekolah gratis. Pendidikan gratis di sekolah itu nyata.

"Mereka anak bangsa yang harus diselamatkan. Mereka harus belajar agar mereka memiliki masa depan seperti anak lain yang seumuran dengan mereka," kata Zulkifli.

Kini, siswa yang terdaftar di sekolah itu sebanyak 42 orang. Sejak tahun 2007, ada 10 alumnus yang kini menempuh pendidikan di sejumlah sekolah menengah pertama di Ambon.

Lulusan tahun pelajaran 2007/2008 dan 2008/2009 masing-masing lima orang. Mereka mengikuti ujian seperti sekolah sederajat lain. Untuk lulusan tahun ajaran 2008/2009, nilai rata-rata mereka di atas delapan.

Tenaga pengajar sebanyak 12 orang, dengan latar belakang sarjana lima orang, diploma III dua orang, dan sisanya SMA. Beberapa dari mereka yang lulusan SMA sedang mengikuti kuliah di Ambon.

Oleh karena keterbatasan dana yang dimiliki manajemen sekolah, setiap guru yang mengajar hanya digaji Rp 150.000 per bulan.

"Semua orang butuh uang. Namun, lebih dari itu, kami ingin nasib anak-anak di tempat ini sama dengan anak-anak lain. Mereka berhak merasakan pendidikan yang layak," kata Ratna Polanunu, guru kelas V.

Jika dana bantuan operasional sekolah (BOS) tidak cukup untuk membayar gaji guru, Zulkifli menggunakan uang pribadinya. Uang itu dari usaha sambilan. Besaran dana BOS yang diterima tidak banyak karena didasarkan pada jumlah siswa.

Nilai-nilai toleransi

Yasin Ren'el (11), siswa kelas V, mengaku senang mendapat kesempatan belajar di sekolah itu. Ia mengisahkan, ibunya meninggal ketika ia baru berusia satu tahun. Ayahnya menikah lagi dan membiarkan ia beserta lima saudaranya tinggal sendiri. Kakak Yasin, Rahma, pernah menjadi buruh cuci. Mereka kini dijadikan anak angkat oleh Zulkifli.

Zulkifli menambahkan, toleransi dan menghargai perbedaan sangat ditekankan di sekolah itu. Sikap intoleransi terbukti membuat Kota Ambon hancur lebur dilanda konflik sosial bernuansa agama. Ia tak ingin peristiwa kelam itu memengaruhi sikap dan pikiran anak-anak.

"Generasi muda harus diajarkan tentang nilai kemanusiaan. Konflik terjadi karena orang tidak menghargai kemanusiaan," ujar pegiat perdamaian yang kini dipercaya untuk kedua kalinya menjadi Ketua Umum Dewan Pengurus Wilayah Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia di Maluku itu.

Artikel ini sebelumnya ditayangkan di harian Kompas edisi Selasa, 25 Agustus 2015 dengan judul "Membangun Asa dan Nilai Toleransi"


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com