Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sensasi Menembus Hujan, Menerjang Jeram, di Atas Ketinting...

Kompas.com - 11/12/2014, 05:51 WIB
Fabian Januarius Kuwado

Penulis

Beragam jeram

Dalam hujan, ketinting kami berbelok melewati tikungan sungai. Di depan kami kini, jeram berarus deras terbentang. Dari kejauhan, terlihat banyak batu di lokasi jeram.

Luther rupanya merasakan kerisauan kami. "Jeram yang ini belum seberapa, masih ada lagi di depan yang lebih deras," ujar dia. Bukan penghiburan, ternyata.

Belum sempat saya jawab kalimat Luther, ketinting kami sudah lebih dulu sampai di jeram yang "seberapa deras" itu. Luther berdiri untuk bisa memastikan posisi bebatuan.

Zig-zag, ketinting melewati satu per satu batu itu. "Brak, brak, brak," bunyi arus air yang menabrak dinding ketinting. Muncratan air menambah basah badan kami di tengah hujan yang belum berhenti.

"Wuu...," kami berteriak kegirangan seiring laju ketinting di antara jeram, meski dengan tangan menggenggam erat-erat tepi perahu. Sensasinya tak terkatakan. Kami baru bisa kembali bernapas lega setelah jeram terlewati.

Ketinting kembali melaju stabil di sungai yang tenang. Hutan rimba menjadi pemandangan sekitar sungai. Namun, ini tak lama. Di kejauhan, jeram yang kata Luther jauh lebih deras daripada jeram sebelumnya, mulai terlihat. Deras arusnya, dan panjang rutenya.

Kami mulai bersiap-siap. Jasmin memilih duduk jongkok. Dia lalu mengambil dayung dan mengangkatnya ke atas kepala, kemudian berteriak-teriak lantang. Gayanya seperti gadis perahu hendak menantang perang.

Dimas hanya tertawa melihat tingkah Jasmin, sementara dia sendiri tetap memilih berpegangan erat ke rangka perahu. Saya? Memeluk tubuh sendiri, menahan dingin.

Luther mengurangi tarikan mesin ketinting. Kali ini, kami tak menoleh ke arahnya. Jeram sudah di depan mata. Teriakan Jasmin saja yang semakin lantang. "Ayoooo, ayoooo..."

Lagi-lagi bunyi arus air menabrak dinding ketinting terdengar kembali. Sesekali, "Buk!" ketinting menabrak batu. Saat saya selintas menoleh ke arah Luther, lelaki itu balik menatap dan tersenyum, entah apa arti senyum tersebut.

Jalur ini sebenarnya hanya kami lewati dalam waktu 60 detik alias satu menit. Namun, waktu terasa sejenak membeku ketika kami ada di tengah pusaran arus, terasa teramat lama.

Begitu arus sungai mulai tenang, Luther kembali memacu mesin ketinting. Lega benar rasanya. Masih ada beberapa jeram lagi kami lewati. Namun, benar kata Luther, jeram terderas dan terpanjang sudah lewat. Enteng.

Lima menit sesudah jeram terderas, hujan berhenti, meninggalkan kami terbungkus selapis pakaian basah hingga ke dalam-dalamnya.

Tak terasa, lebih dari tiga jam kami berbagi sensasi menumpang ketinting. Pada pukul 16.15 Wita, kami tiba di Desa Pujungan.

Senyum lebar warga menyambut kami yang kuyup sekuyup-kuyupnya ini. "Selamat datang di Desa Pujungan!"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads

Copyright 2008 - 2023 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com