Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kearifan Leluhur di Tenun Alor

Kompas.com - 26/01/2014, 11:06 WIB
Sarie Febriane

Penulis

”Dulu memang semua tenun pakai warna seperti itu (alami). Tapi harus ingat, waktu benang direndam akar mengkudu syaratnya tidak boleh kena sinar bulan. Kalau kena sinar bulan, warnanya rusak,” kenang Mama Lilo (90), yang masih rajin menenun.

Kini benang pun tak melulu lagi harus dibeli dari toko. Sejak tahun 2008 Mama Sariat berinisiatif menanam pohon kapas di kebun di sekitar rumahnya di Kampung Hula. Tenun yang dibuat dari benang pintalan sendiri non-pabrikan berkarakter tebal dan agak lebih kasar dibandingkan dengan benang pabrikan. Namun, ciri ini justru disukai konsumen di luar negeri, khususnya Jepang. Tenun dari benang pintalan non-pabrikan ini justru cenderung kuat dan lama-kelamaan menjadi lebih lemas, tidak kaku.

Untuk menghalau bosan, perajin tenun ini sering kali bernyanyi sambil memintal kapas menjadi benang, dengan alat pintal sederhana. ”Putus benang bisa sambung, putus cinta dibawa mati....” Begitu salah satu penggalan liriknya. Rokok dan kopi hitam pun senantiasa menjadi teman setia para mama untuk mete (begadang) demi menenun.

”Memang seharusnya, kalau ingin memandirikan petenun, pemerintah harus mendorong gerakan menanam kapas, murbei, dan sumber-sumber serat alam lain yang sangat kaya di negeri ini. Bahkan, cannabis pun bisa menjadi serat tekstil yang sangat bagus,” kata Merdi Sihombing, desainer tekstil.

Pusaka

Tenun berbahan benang pintalan non-pabrikan dan pewarnaan alami pada akhirnya dihargai lebih tinggi di pasaran. Hal ini membuat banyak petenun lain di Alor tergerak untuk mempelajari metode kuno pewarnaan alami yang dahulu dikuasai para leluhur. Mama Sariat akhirnya kerap diminta pemerintah kabupaten setempat untuk memberikan pelatihan di desa-desa lain.

Semangat petenun yang ingin lebih mandiri itu membuat tenun Alor mulai terevitalisasi dengan memperkuat karakternya yang erat bersinergi dengan alam. Seperti yang diingat oleh Victor Klemeng, pensiunan dari Dinas Koperasi, Usaha Kecil Menengah, dan Perindustrian Perdagangan Kabupaten Alor. Menurut Victor, tahun 1980-an, para petenun mulai dikenalkan pada benang bikinan pabrik dan pewarna sintetis kimia yang dianggap lebih praktis. Kepraktisan itu memang membuat volume produksi lebih gemuk dan efisien.

Sayangnya, pengetahuan klasik dari leluhur dalam menghasilkan tenun berbahan baku alami yang tak bergantung pada pabrik kemudian ditinggalkan. Akibatnya, ketika petenun sudah telanjur bergantung pada suplai bahan baku pabrikan, lama-kelamaan terkendala harganya yang terus naik. Sementara mereka tak bisa serta-merta mengimbangi kondisi itu dengan kemampuan alternatif dalam memproduksi tenun secara alami, yang ilmunya sebenarnya sudah dikuasai para leluhur.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads

Copyright 2008 - 2023 PT. Kompas Cyber Media (Kompas Gramedia Digital Group). All Rights Reserved.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com