Salin Artikel

Berkunjung ke SMP Negeri Wini, Sekolah di Perbatasan yang Plafonnya Jebol Tanpa Perbaikan Selama 21 Tahun

Reporter Kompas.com, Baharudin Al Farisi berkesempatan mengunjungi SMP Negeri Wini di sela-sela kegiatan bersama Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) pada Jumat (17/11/2023).

SMP yang letaknya 5 kilometer dari perbatasan Indonesia-Timor Leste cukup luas. Meski memang area sekolah didominasi tanah dan kerikil. 

Bahkan terdapat dua lapangan untuk aktivitas para siswa, yakni upacara bendera setiap Senin dan berolahraga.

Ada beberapa bangunan sekolah yang berdiri terpisah. Di salah satu sudut sekolah ada sebuah ruang baca terbuka yang dilengkapi dengan majalah dinding (mading). Pada mading tersebut terdapat sejumlah karya para siswa berupa puisi.

Sejumlah pohon rindang juga menghiasi sudut-sudut sekolah. Pohon ini cukup membuat sejuk mengingat SMP tersebut berada dekat pesisir Pantai Wini. 

Plafon jebol sejak 2002

Meski tampak luas dan rindang, SMP Negeri Wini juga jauh dari kata baik. Ada dua ruangan kondisinya memprihatinkan. 

Di dalam ruang kelas tersebut terdapat banyak plafon yang jebol. Plafon tersebut sudah 21 tahun belum pernah diperbaiki. 

“Dari 2002, sudah 21 tahun. Belum renovasi sejak sekolah berdiri. Ini bangunan pertama ini. Ya jebol karena sudah lama, pakunya sudah longgar,” kata seorang guru SMP Negeri Wini, Lukas Kolo (37) yang menemani rombongan berkeliling.

Selain plafon, beberapa kursi untuk belajar mengalami kerusakan. Selain itu, cat dinding mengelupas dan penuh coretan.

Kendati demikian, Lukas menyampaikan bahwa murid SMP Negeri Wini tetap semangat mengikuti proses belajar mengajar.

Di samping kelas tersebut, ada sebuah ruangan berukuran kecil yang tidak memiliki pintu. Di dalamnya terdapat sejumlah meja dan kursi sekolah yang rusak yang diletakkan secara tak beraturan.

“Anak-anak di sini nakal, aktif sekali mereka,” tutur Lukas menanggapi soal kerusakan meja dan kursi di dalam gudang.

Sementara, ubin di selasar dua ruang kelas serta gudang terlihat kotor. Lagi-lagi, plafonnya juga tampak jebol. Meski begitu, ada tanaman dengan wadah pot untuk mempercantik pemandangan.

Pakai sekat tripleks demi akreditasi

Di bangunan lain, ada satu ruang kelas yang tidak terpakai. Hal ini lantaran jumlah siswa di SMP tersebut semakin berkurang. 

“Ruang kelas ini tidak terpakai, karena penerimaan siswa kemarin berkurang. Biasanya ada tiga rombongan belajar, tapi pada tahun ini yang masuk SMP Negeri Wini hanya dua rombongan belajar,” ungkap Lukas.

Lalu terdapat satu bangunan berwarna kuning yang dalamnya ada lab komputer, ruang Bimbingan Konseling (BK), perpustakaan, dan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS).

Lukas menjelaskan, seharusnya bangunan kuning tersebut hanya untuk perpustakaan saja. Namun, demi memenuhi syarat akreditasi dua tahun lalu, ruangan harus disekat menjadi beberapa bagian.

Kata Lukas, saat itu penyekat antar-ruangan hanya menggunakan triplek.

“Ya sekarang tripleknya sudah dibongkar kembali, karena ruang gerak sangat sempit. Jadi, setelah dokumentasi dan akreditasi, kami bongkar kembali,” ucap salah seorang guru lain.

“Ya harapan kami disekat seperti itu bisa mengikuti akreditasi dan mendapatkan akreditasi yang lumayan. Sekarang sekolah kami akreditasinya B,” ucapnya lagi.

Lebih banyak guru honorer

Sementara jumlah siswa di SMP Negeri Wini sebanyak 235 orang dengan 8 rombongan belajar (rombel) atau kelas. 

"Ada 8 rombongan belajar atau kelas. Kelas 7 ada 2, kelas 8 ada 3, kelas 9 ada 3. Jumlah siswa per kelas rata-rata 30 siswa," kata guru SMP Negeri Wini lainnya, Aryance Paulina Thake Kolo (38). 

Dia menyebut, guru di SMP Wini didominasi oleh tenaga honorer. 

"Kalau jumlah guru itu terdiri dari ASN atau PPPK sebanyak 14, sedangkan tenaga pendidik berstatus honorer ada 17," ungkap Aryance.

Fasilitas terbatas dan pinjam ke sekolah lain

Saat proses kegiatan belajar mengajar (KBM) berlangsung, para guru banyak menemukan kendala. Mereka dituntut agar lebih kreatif di tengah keterbatasan fasilitas.

"Kami kekurangan lab bahasa. Kalau misalnya prasarana memadai, tentu saya yakin mereka bisa. Karena, mereka antusias kalau Bahasa Inggris," kata guru Bahasa Inggris, Frederikus Tnepu Bana (34).

"Selama ini kami hanya bisa pakai alat peraga. Kalau misalnya gambar, ya kami kreatif sendiri untuk buat gambar. Kami sediakan dan kami paparkan ke mereka agar mereka bisa melihat gambar ini tentang apa," ucapnya lagi.

Untuk proses KMB listening atau pendengaran, Frederikus hanya menggunakan speaker kecil yang disambungke ke ponsel.

Saat keadaan terdesak, para guru meminjam proyektor ke Sekolah Dasar (SD) Katolik Wini.

"Infocus (proyektor) juga minim. Kami kadang kalau mau pakai infocus harus pinjam dari SD Katolik Wini. Karena kan mereka ada. Kalau misalnya ada kegiatan pertemuan dari orangtua siswa, kalau urgent, ya kami harus pinjam," ujar Frederikus.

Bukan hanya itu, pihak SMP Negeri Wini juga terkadang harus meminjam genset ke SD Katolik Wini saat listrik padam. Peminjaman tidak dipungut biaya. Hanya saja, mereka perlu mengeluarkan uang untuk membeli bensin genset.

"Iya, sering padam. Jadi harus pinjam. Genset juga pinjamnya di tetangga. (Listrik padam) terkadang gangguan. Kalau angin. Jadi, petugas PLN harus bersihkan pohon-pohon yang dekat kabel. Tentunya dipadamkan lalu dibersihkan," tutur Lukas.

*Perjalanan reporter Kompas.com Baharudin Al Farisi ke PLBN Wini merupakan kolaborasi bersama BNPP. Selain PLBN Wini, ada pula perjalanan ke lima PLBN lain, yakni Hadi Maulana di PLBN Serasan, Xena Olivia di PLBN Jagoi Babang, Ahmad Dzulfikor di PLBN Sei Nyamuk, Sigiranus Maruto Bere di PLBN Napan, dan Achmad Nasrudin Yahya di PLBN Sota. Ikuti cerita perjalanan kami dalam lipsus Merah Putih di Perbatasan.

https://regional.kompas.com/read/2023/11/20/201721078/berkunjung-ke-smp-negeri-wini-sekolah-di-perbatasan-yang-plafonnya-jebol

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke