Salin Artikel

Duduk Perkara Akses Jalan Gereja di Jambi Ditutup, Mediasi Gagal

JAMBI, KOMPAS.com – Mediasi untuk mencari solusi penutupan akses jalan menuju Gereja Pentakosta Indonesia (GPI) di Desa Suka Makmur, Kecamatan Sungai Bahar, Kabupaten Muarojambi, Jambi masih nihil.

Sejumlah pemilik lahan tetap bersikukuh tidak menjual lahannya kepada pengurus gereja.

Apabila mediasi menemui jalan buntu, maka pembangunan gereja tersebut terancam batal. Sebagian besar yang hadir mediasi menyarankan agar lokasi pembangunan gereja dipindah.

Pihak yang hadir dalam mediasi adalah pemilik lahan yang berbatasan dengan gereja, Pendeta GPI, Royanto Situmorang, Camat Sungai Bahar, Agus Riyadi, ST lalu Anggota DPRD Kabupaten Muarojambi, Robinson Sirait, Kapolsek Sungai Bahar, Iptu Aryo Ginting dan Kepala Desa Suka Makmur, Wahyudi Kusrianto.

“Dari semua pemilik lahan yang hadir, tidak berkenan menjual tanah ke pengurus gereja untuk dibangun jalan,” kata Camat Sungai Bahar, Agus Riyadi, ST melalui pesan singkat, Minggu (30/7/2023).

Alasan pemilik lahan tidak menjual tanah beragam. Mulai dari adanya kuburan sampai dengan terjadinya miskomunikasi dan ketersinggungan antara pemilik lahan dengan pihak gereja.

Pembangunan pondasi gereja sudah dimulai sejak Maret 2023 lalu. Meskipun belum permanen, bangunan gereja sudah berdiri dengan tiang bambu, atap terpal dan dinding plastik. Bahkan sudah berbulan-bulan digunakan jemaat untuk beribadah pada hari Minggu.

Lokasi gereja yang berada di tengah-tengah kebun sawit memang tidak memiliki akses jalan umum. Sebelah Utara gereja berbatasan dengan lahan milik Kardi, sebelah Selatan berbatasan dengan tanah milik Agus.

Sedangkan di sebelah Barat, lokasi gereja berbatasan dengan gedung Poriendas milik Nyonya Sihotang yang kini sudah dibangun tembok beton. Sebelah Timur gereja berbatasan dengan lahan milik Qomaruddin.

Saat membeli lahan di tengah-tengah kebun itu, pihak gereja secara lisan telah dijanjikan broker tanah akan ada akses jalan. Sehingga pihak gereja pun mau membeli lahan tersebut.

Sejarahnya, kata Camat, area kebun seluas tiga perempat hektar pada zaman transmigrasi era Presiden Soeharto, memang diperuntukkan untuk lahan pangan. Sehingga tidak ada jalan menuju area tersebut.

Seiring perubahan zaman, lahan itu sudah sesak dengan perumahan bahkan gereja yang belakangan ini baru dibangun.

Muncul opsi jalan alternatif

Berdasarkan hasil mediasi, ada 4 alternatif akses jalan. Namun dari jumlah itu, 2 sudah ditolak warga atau pemilik lahan.

Akses jalan pertama telah ditolak pemilik lahan bernama Ahay, pengusaha yang tinggal di Jambi. Sebagai bentuk penolakan, dia membangun parit gajah di area kebunnya, agar jemaat tidak bisa mengakses gereja.

Memang lahan Ahay tidak berbatasan langsung, karena di antara gereja dan lahan Ahay, ada pemilik lahan lain yang berbatasan langsung, yaitu Kardi.

Kemudian Rudiyah tidak ingin menjual lahannya karena ada makam keluarga. Sehingga untuk membuka akses jalan menuju gereja dari jalan raya, harus melewati lahan Ahay dan Kardi.

“Pemilik lahan Ahay dan Kardi tidak mau jual tanahnya. Kita tidak bisa memaksa orang, untuk jual tanahnya,” kata Agus.

Untuk akses jalan alternatif kedua dari sisi timur, melalui lahan Qomarudin dan Waluyo. Mereka sejak awal pembangunan gereja telah menyatakan tidak menjual tanahnya.

Akses jalan ketiga dari sisi barat gereja, yakni melalui tanah milik Nyonya Sihotang, yang hari ini sudah dibangun tembok beton. Tetapi masih ada peluang lobi, yang akan difasilitasi Pemuda Batak Bersatu (PBB).

Terakhir akses jalan alternatif melalui tanah milik perusahaan sawit, RAM Sakean via lahan Agus yang masih akan dihadirkan pada mediasi kedua. Apabila pemilik lahan mengizinkan, maka akses jalan akan dibuka.

“Kita akan hadirkan pada mediasi kedua. Kalau mereka setuju, maka persoalan akan clear ya. Masalah jalan gereja sudah selesai,” kata Camat.

Sejauh ini, masih ada dua pemilik lahan yang bisa dilobi, agar mau menjual tanahnya untuk pembangunan jalan menuju gereja. Mereka adalah Nyoya Sihotang dan perusahaan RAM Sakean.

“Apabila mereka (pemilik lahan) tetap tidak mau menjual tanahnya untuk jalan, maka gereja disarankan untuk pindah lokasi. Pak Kapolsek juga menyarankan demikian,” kata Agus.

Dengan kecilnya opsi pembebasan lahan ini, maka Camat Sungai Bahar akan memanggil makelar tanah (broker) yang menjual tanah ke pihak gereja GPI pada mediasi kedua pada Rabu (2/8/2023) nanti. Pasalnya, dia secara lisan telah menjanjikan ada akses jalan menuju gereja.

“Mediasi lanjutan nanti, akan kembali kita undang pemilik lahan (Nyonya Sihotang dan pihak RAM Sakean) agar mereka mau bebaskan lahan. Termasuk broker, juga akan kita hadirkan,” kata Agus.

Sementara itu, Pendeta GPI, Royanto Situmorang menuturkan, proses mediasi secara umum masih gagal menemukan solusi. Namun pihaknya tetap optimis, hati Nyonya Sihotang akan terketuk, sehingga mau menjual lahannya untuk akses jalan menuju gereja.

“Kita akan tetap bangun gereja di sana. Meskipun akses jalan belum ada kejelasan,” kata Royanto.

Menurut dia memang saat ini gereja masih dibangun dengan sederhana yakni menggunakan tiang bambu, beratap terpal dan dinding plastik dengan ukuran 10x7 meter. Tetapi gereja tetap akan dibangun permanen, karena pihaknya membangun pondasi.

“Sesuai doa kita. Dan izin sudah ada (legal), sudah kita lengkapi semua. Tentu tidak bisa pindah (lokasi gereja),” kata Royanto.

Alasan beli tanah tanpa jalan

Royanto menuturkan, lahan yang dibeli untuk pembangunan gereja adalah perkebunan sawit pada era transmigrasi Presiden Soeharto yang diperuntukkan untuk lahan pangan yang seharusnya memiliki jalan.

“Kami bukan orang bodoh, kami tahu ada aturan terkait lahan pangan harus ada jalan, untuk mengangkut hasil produksi. Semua pemilik lahan di sana, yang kaya-kaya itu juga selama 30 tahun ada jalan. Mengapa semenjak gereja hadir, maka jalan itu hilang? Tidak mungkin kebetulan,” kata Royanto.

Mereka pemilik lahan ini, secara bertahap menutup akses jalan gereja dengan membangun tembok beton dan membuat parit gajah dengan alat berat.

Terkait persoalan pemilik lahan yang meminta uang ganti rugi sebesar Rp 120 juta, adalah Nyonya Sihotang. Namun karena dibatasi selama tiga hari, maka pihak gereja tidak memiliki kemampuan untuk membayar. Sehingga semua lahannya kini telah dibangun tembok beton.

“Kita tetap berharap juga pada opsi lahan milik Nyonya Sihotang. Semoga hatinya terketuk, agar mau menjual tanahnya,” tutup Pendeta Royanto.

Dalam video prosesi mediasi yang dikirim ke Kompas.com oleh Camat Sungai Bahar. Perwakilan dari Nyonya Sihotang menuturkan pihak gereja telah diberikan waktu, untuk membayar ganti rugi sebelum semua lahan dibangun tembok beton.

https://regional.kompas.com/read/2023/07/31/054925078/duduk-perkara-akses-jalan-gereja-di-jambi-ditutup-mediasi-gagal

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke