Salin Artikel

Potret Kerusakan Lingkungan di Kampung Siswi SMP Pengkritik Wali Kota Jambi

JAMBI, KOMPAS.COM - Protes Syarifah Fadiyah Alkaff (16), siswi SMP di Jambi, soal dampak kerusakan lingkungan akibat aktivitas perusahaan di RT 25, Kelurahan Payo Selincah, ternyata juga dialami warga lainnya.

Polusi suara dan kerusakan rumah akibat aktivitas truk dengan tonase besar juga dialami warga sejak lama.

Hal itu terungkap dari dua ibu rumah tangga bernama Era dan Teti yang tinggal di RT 24, tak jauh dari rumah nenek Fadiyah, Hapsah. 

Menurut keduanya, lokasi RT 24 dikelilingi empat pembangkit listrik dulunya yaitu Pembangkir Listrik Tenaga Mesin Gas (PLTMG) 30MW yang dikelola konsorsium PT BBC, PT STS, PT MEP.

Lalu ada PLTMG 50MW milik PT VPower, PLTG BOT 2 x 50MW milik PT Eramas Persada Energi dan PLTU PT Rimba Palma Sejahtera Lestari.

Namun kini hanya PT Eramas Persada Energi yang beroperasi dan PLTU PT Rimba Palma Sejahtera Lestari sudah berubah jadi perusahaan palet kayu.

“Tidak tentu kadang siang kadang malam ada suara seperti ledakan dari mesin itu,” kata Teti menujuk PLTMG kepada Kompas.com, Rabu (7/6/2023).

Teti melanjutkan, pada 2018 warga RT 24, 25 dan 26 Kelurahan Payo Selincah sempat mendatangi Dinas Lingkungan Hidup Kota Jambi untuk mengadu.

Alasannya, warga terganggu dengan pembuangan asap limbah PLTU, suara bising dan banyak rumah warga yang retak serta rusak karena aktivitas PLTU.

Saat itu, Warga menuntut PLTU memenuhi kesepakatan awal seperti perbaikan jalan dan bayar ganti rugi retaknya rumah warga. Pertemuan dihadiri PLN dan manajemen PLTU PT Rimba Palma Sejahtera.

Namun, dari penelusuran Kompas.com, keluhan warga itu tak kunjung ada penyelesaian.

Lalu, pada 2019 warga juga mengeluhkan adanya aktivitas kendaraan bertonase besar. Dalam catatan warga, mobil besar itu dulu milik PLTU PT Palma Rimba Lestari, PLN dan perusahaan gudang beras setempat.

Dampaknya, dinding rumah warga retak, bak, toilet dan air sumur bor dan dam air tersumbat. Namun hal itu juga tak kunjung ada tindak lanjutnya.

Kondisi itu membuat sejumlah warga menuntut pelepasan lahan. Sebab mereka sadar lingkungan mereka sudah tidak sehat. 

“Karena sudah hampir tiap sudut retak. Kata tukang yang perbaiki rumah kami dari PLN itu banyak sekali rusaknya, bagusnya bangun baru ini,” kata Era.

Kondisi itu berlarut-larut hingga akhirnya mencuat setelah Fadiyah memprotes Wali Kota Jambi melalui akun TikTok. 

Protes itu tak lain karena Fadiyah ingin mencari keadilan bagi nenenknya, Hapsah. 

Hapsah mengaku sering pusing saat pertama kali pembangkit listrik dibangun. Rumahnya berada di RT 25, pun rusak akibat aktivitas perusahaan.

Keluarga Fadiyah mengatakan, Hapsah bahkan sempat didiagnosa dokter karena mengalami kecemasan dan sering pusing akibat aktivitas truk yang lalu lalang.

Sementara Fadiyah sempat menderita penyakit kulit karena polusi yang ada dari cerobong asap PLTU dahulunya.

Dia mengatakan kata dokter berasal dari emisi yang dihasilkan PLTU atau kendaraan yang lewat.

Sementara itu, terkait soal angka 1,3 miliar yang diminta, Fadiyah mengatakan, itu adalah rincian yang diminta perusahaan.

“Pihak perusahaan datang dan meminta rincian kerugian sejak 2013 hingga 2022. Mereka minta dan kemudian pergi, setelah itu tidak ada lagi,” kata Fadiyah.

Dia menegaskan, keluarganya tidak pernah menuntut penggantian 1,3 miliar. Dalam rincian itu ada kerugian materil dan imateril yang diderita nenek Hapsah.

Lalu, kata SFA, Hapsah bukan satu-satunya korban rumah rusak dan polusi akibat mesin-mesin pembangkit tersebut. 


Penjelasan PLN

Saat ditemui Kompas.com, Asisten Manajer Keuangan dan Umum PLN UPDK Jambi Muhammad Burhanuddin mengatakan, PLTU tidak beroperasi lagi dan sekarang jadi perusahaan palet kayu.

Selain itu pembangkit lain sudah tidak beroperasi dan tinggal PLTG 2x50 MW milik PT Eramas Persada Energi (EPE)

“Itu juga rencana akan dipindahkan,” katanya.

Dia menceritakan, PT EPE sempat menjanjikan pada warga untuk melakukan pembebasan lahan.

Namun hal itu mendahului PLN dan mereka mengingatkan bahwasanya PT Eramas bekerja di bawah PLN. Mereka tidak boleh bergerak mendahului kerja PLN.

Selanjutnya warga bertemu PLN dan Burhanuddin mengatakan pihaknya hanya bisa mengganti kerusakan yang jaraknya 100 meter dari dinding, salah satu batasnya adalah rumah milik Era.

Namun tiba-tiba warga terkejut karena PLN membeli gudang beras yang sama sekali tidak dibahas dalam persoalan ganti rugi.

“Itu memang PLN yang membeli tapi bukan kami, tapi PLN unit lain, UPPJ. Bagian yang mengurusi proyek,” katanya. Burhanuddin pihak tersebut tidak tahu menahu urusan pihaknya dengan warga.

Selanjutnya Burhanuddin mengatakan, pihaknya tidak bisa mengganti rugi dengan pembebasan lahan seluruhnya.

Alasannya karena mereka tidak punya aturan yang membuat mereka bisa melakukan pembebasan lahan.

Lalu berdasarkan dokumen amdal, jarak 100 meter dari dinding pembangkit yang bisa mereka bebaskan.

“Di luar jarak itu kami hanya bisa melakukan perbaikan,” katanya.

“Kecuali kalau warga menggugat melalui pengadilan dan pengadilan memutuskan untuk pembebasan lahan, itu baru bisa dilakukan, berapa pun anggarannya bisa dikeluarkan,” tambahnya.

Burhanuddin menyebut bantuan PLN ke nenek Hapsah juga bagian dari CSR (Corporate Social Responsibility). Mereka membantu perbaikan sumur, dinding dan mengecat sebagian rumahnya.

Setelah itu, PLTU PT Rimba Palma Sejahtera Lestari hingga berita ini diturunkan belum bisa dimintai klarifikasi. 

https://regional.kompas.com/read/2023/06/08/222403178/potret-kerusakan-lingkungan-di-kampung-siswi-smp-pengkritik-wali-kota-jambi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke