Salin Artikel

Festival Apangi, Ungkapan Rasa Syukur dan Keramahan Orang Dembe

Cairan hitam kecoklatan di 2 ember sudah menyanding kompor, ini adalah cairan gula aren yang sudah dimasak lebih dulu.

Keduanya kemudian terlibat dalam proses memasak kue ini, Iyam Nusi bertugas menuangkan adonan ke 2 cetakan besi di atas kompor, menutupnya, dan memastikan kue ini masak sempurna. Sesekali ia membuka tutup, mencungkil salah satu kue untuk memeriksa bagian bawah tidak hangus.

Sementara Putri Laya sibuk mengemas kue yang telah dingin di wadah mika transparan, menuangkan cairan gula aren dalam plastik, mengikat agar tidak bocor sebelum dimasukkan dalam wadah bersama apangi cantik.

Hari ini mereka mulai membuat kue apangi, sebuah makanan ringan yang khas dihidangkan pada perayaan Asyura pada 10 Muharram. Ini adalah perayaan turun-temurun warga Gorontalo yang masih dirayakan hingga kini.

Di Desa Dembe 1 Kecamatan Kota Barat, tempat tinggal Iyam Nusi dan Putri Rahmawati Laya, perayaan Asyura dirayakan secara khusus. Warga desa bersepakat untuk merayakan Asyura dengan nama Festival Apangi, karena sajian khas pada perayaan ini adalah kue apangi.

“Pekerjaan ini membosankan karena harus menunggu kue matang dalam cetakan, berulang kali demikian sejak pagi,” kata Iyan Nusi sambal menggerakkan punggungnya yang lelah, Minggu (7/8/2022).

Suara Iyam Nusi disambut senyum tipis, sepertinya ia merasakan hal yng sama. Bahkan Putri Laya masih bisa meninggalkan tempatnya sejenak untuk bersenda gurau dengan anak kecil di ruang tengah.

“Sudah 5 kg terigu dan bahan lain yang kami masak, masih ada 10 kg lagi. Tidak tahu sampai kapan ini selesai,” ujar Iyam sambal menunjukkan tumpukan terigu tidak jauh dari tempatnya duduk.

Kesibukan para perempuan di dapur ini juga terjadi di hamper semua rumah di desa ini. Mereka mengerjakan hal sama, membuat kue apangi. Kue ini akan disajikan kepada pengunjung untuk perayaan festival apangi pada malam harinya.

“Tradisi memasak kue apangi saat perayaan hari Asura ini sudah lama, kebiasaan ini kami warisi dari orang-orang tua dulu,” kata Rizal Rasyid Baili (55) Ayahanda Desa Dembe 1 Kecamatan Kota Barat Kota Gorontralo.

Ayahanda adalah sebutan lurah atau kepala desa laki-laki di Gorontalo, jika perempuan disebut Ibunda.

Menghidangkan kue apangi pada hari asyura ini berawal dari sebuah perbukitan kapur di desa ini, sebuah makam tua di masjid Quba. Di tempat ini dimakamkan Ju Panggola atau Raja Ilato. Tokoh ini dipercaya sebagai wali penyebar agama Islam di Gorontalo, juga memiliki kekuasaan di daerah ini.

“Setiap hari Asyura orang-orang tua kami berdoa di makam tua Ju Panggola, usai berdoa disuguhkan kue apangi oleh ibu-ibu,” ujar Kadar Abu Bakar (53) tokoh masyarakat Dembe.

Berangkat dari kegiatan doa bersama di makam tua inilah kemudian digagas masyarakat dan pemerintah desa Dembe untuk melaksanakan Festival Apangi.

Mereka bermufakat untuk membuat kue-kue ini secara berkelompok di tiap lingkungan, namun seiring waktu masyarakat berinisiatif sendiri untuk membuat kue di rumah masing-masing, semua bergembira mengerjakan ini meskipun secara ekonomi warga Dembe hanya bekerja sebagai nelayan danau.

Kebersamaan dan sikap terbuka inilah yang membuat festival ini semakin dikenal, orang dari desa tetangga datang untuk menikmati sajian kue ini.

“Kami menyuguhkan kue ini untuk dinikmati para tamu yang datang, mereka juga bisa menambah jika masih kurang, kalau tertarik membawa kue ini sebagai oleh-oleh silakan ambil juga, kami sudah menyiapkan bungkusan apangi,” kata Farida Yusuf (42).

Sikap ihlas dan terbuka dengan masyarakat lain tercermin dari cara mereka memperlakukan tamu, meskipun rombongan tamu tidak dikenal, mereka tetap saja mau menerima dan menyilakan makan kue apangi.

Seperti di teras rumah Farida, serombongan Wanita dan anak-anak yang berjumlah lebih dari 1o orang duduk di teras. Menurut salah satu dari tamu tersebut mereka awalnya mengantar anggota keluarga ke Bandar Udara Jalaluddin Tantu, sepulang dari bandara mereka singgah di Desa Dembe I ini.

Setelah bercerita tetamu ini mendapat buah tangan 1 tas kue apangi untuk setiap orangnya, mereka bergembira lalu pamit meneruskan perjalanan pulang ke desanya di Kecamatan Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango.

“Dalam istilah kami ada monga, moduhengo dan modelo. Monga berarti tamu bisa makan di tempat, moduhengo bermakna tambu bisa menambah makanannya jika masih ingin memakan, dan modelo berarti kami akan membawakan oleh-oleh untuk tamu agar keluarga yang belum bida datang dapat menikmati kue apangi dari kami,” ujar Farida Yusuf.

Datangkan tenaga kerja dari luar

Farida Yusuf mengaku telah menyiapkan bahan-bahan kue ini jauh hari, ia sudah belanja Sebagian bahan 3 pekan sebelum festival apangi dimulai.

Bahan kue yang dia sediakan adalah tepung terigu 40 kg, tepung beras 20 kg, susu, vanilla, kelapa mengkal, ragi dan bahan lainnya. Ia juga telah memastikan gas elpiji tersedia di rumahnya, karena ini penting dan tidak boleh kehabisan saat memasak kue apangi.

“Kue apangi kami buat dari campuran 5 kg tepung terigu, tepus beras 2,5 kg, susu, vanila, santan, kelapa mengkal diparut, dan ragi,” ucap Farida Yusuf.

Semua bahan tersebut diaduk sebagai adonan yang mengental, adonan ini kemudian dituang ke cetakan besi yang sebelumnya dioleh mentega agar tidak lengket. Api kompor dinyalakan sedang agar tidak membuat gosong bagian bawahnya dan bisa matang serentak dengan bagian atasnya.

Yang unik, kue-kue cetakan Farida ini berbentuk macam-macam, ada yang bulat, bintang, dan segi tiga, demikian juga dengan warnanya, ada hijau, putih dan kuning.

Apangi cantik di rumah Farida Yusuf ini tidak lepas dari peran Asra Ismail (20), wanita muda dari Desa Pentadu Timur Kecamatan Tilamuta Kabupaten Boalemo.

Asra Ismail dan keluarganya diboyong ke Dembe untuk membantu keluarga Farida Yusuf. Ia bersama yang lainnya bertugas mencampur bahan-bahan kue ini sampai menjadi adonan yang pas, lalu memasaknya di samping rumah.

Yang kebagian memasak adalah seorang wanita tua, dengan sabar ia menanti kue-kue cantik ini masak. Sudah 2 hari ini membantu keluarga Farida Yusuf.

“So 2 hari saya di sini bamasak kue (Sudah 2 hari saya di sini memasak kue),” kata Asra Ismail yang berari sudah 2 hari ia memasak kue apangi di sini.

Banyak keluarga di desa ini juga mendatangkan tenaga kerja dari luar desa, umumnya masih berkerabat atau kenalan dekat. Para pekerja ini hanya bertugas memproduksi apangi dan mengemas dalam wadah cantik.

Setiap rumah berusaha memproduksi kue ini sebanyak ia mampu, semua berdasar keihlasan. Saat tetamu datang, giliran tuan rumah yang menyambut dan menyilahkan makan, demikian juga saat tetamu pulang, tuan rumah yang memberikan oleh-oleh kue apangi.

Doa di Masjid Tua

Seusai shalat ashar di masjid Quba, angin bertiup perlahan membawa uap air dari permukaan danau, udara sejuk terasa dari halaman masjid tua yang berdiri di atas bukit kapur ini.

Beberapa pria melafalkan doa di dalam masjid ini, doa yang khusus dimunajatkan pada peringatan 10 Asyura.

Kadar Abubakar (53), tokoh masyarakat desa ini membaca doa, ini adalah kebiasaan lama yang diteruskan hingga kini. Di masjid ini juga terdapat makam wali, masyarakat biasa menyebut sebagai Ju Panggola. Nama ini diduga hanya sebutan gelar untuk seseorang yang dimakamkan di sini.

“Ju Panggola bukan nama, namun julukan atau gelar yang berarti yang dituakan, ada yang menyatakan beliau adalah Raja Ilato yang membangun Benteng Otanaha,” ujar Zulkarnain Husain warga Dembe I.

Tradisi berdoa di masjid Quba dan makam tua Ju Panggola ini menginspirasi warga untuk menyajikan kue apangi di setiap peringatan Hari Asyura pada 10 Muharram setiap tahunnya.

“Setiap menyambut 10 Muharram kami berdoa di masjid ini, usai berdoa ibu-ibu menyuguhkan makanan ringan berupa apangi, kebiasaan ini sudah lama,” kata Kadar Abubakar.

Usai berdoa bersama, warga akan menyiapkan kue apangi di rumahnya, menerima tetamu dari luar daerah atau kenalannya. Semua disambut dengan tangan terbuka penuh keihlasan.

Selain apangi, ada juga warga yang menyajikan makanan nasi dengan lauk. Ini juga sebagai bentuk rasa syukur dan menghormati tamu. Keihlasan untuk menjamu tetamu ini sangat terasa, bahkan orang yang tidak dikenal pun akan dilayani jika masuk ke ruang tamu.

“Alhamdulillah, kami masih bisa berbagi dengan kue apangi, menerima sanak saudara yang bersilaturahmi,” ujar Kadar Abubakar.

Pesta kue apangi ini tidak hanya sore itu, saat matahari tenggelam di sisi barat danau Limboto tetamu semakin ramai, jalan sempit yang terhimpit bukit di satu sisi dan sisi lain berbatas danau membuat desa ini semakin sesak dijejali tamu-tamu dari luar.

Saat malam tiba, semakin banyak orang berdatangan. Desa di tepi danau ini semarak, kendaraan yang memasuki desa semakin melambat tak leluasa melewati kelok-keloknya, jalan aspal mungil ini tidak muat dijejali berbagai kendaraan yang datang dan pergi.

Halaman rumah, sekolah atau masjid dijadikan tempat parkir, semua kendaraan memenuhi halaman, terasa sesak desa ini. Nyaris semua jalan dikepung kemacetan.

Namun tidak dengan hati warga Dembe, seberapa banyak tamu yang datang, hati mereka tetap luas menyambut tali persaudaraan, menyajikan apangi penuh keihlasan.

Desa Dembe desa tua

Desa Dembe I ini merupakan desa tua yang berada di pinggiran Kota Gorontalo, berbatasan dengan Desa Iluta Kabupaten Gorontalo di sisi barat, dengan Desa Lekobalo di sisi timur.

Desa ini sudah ada sejak masa kerajaan, ini dibuktikan dengan keberadaan 3 benteng cincin di puncak bukit, Benteng Otanaha, Otahiya dan Ulupahu.

Benteng ini merupakan satu-satunya benteng di tepi danau di Indonesia. Benteng ini masih dilingkupi misteri tentang siapa dan bagaimana pembangunannya, belum ada sumber resmi yang menyebutkannya.

Namun dalam tradisi lisan masyarakat disebutkan ada beberapa versi, seperti dibangun oleh oleh pelaut Portugis atas permintaan Olongia (raja) Gorontalo, versi lain menyebutkan dibangun oleh pemimpin lokal yang bernama Naha, Pahu dan Ohihiya. Juga ada yang menyebut dibangun oleh Raja Ilato.

Beragam versi pembangunan benteng ini memperkaya khazanah pengetahuan kebudayaan Gorontalo. Sehingga menimbulkan rasa ingin tahu, hal ini juga membuat kunjungan wisatawan lokal, nusantara dan mancanegara terus meningkat.

Di bawah ketiga benteng ini banyak rumah warga berdiri, kontur perbukitan yang naik turun membuat bangunan rumah mengikuti tinggi rendahnya permukaan tanah, termasuk rumah-rumah panggung yang berdiri di atas permukaan air Danau Limboto.

Dari atas benteng ini dapat diketahui semua tepi danau dan semua perkampungan di tepinya, inilah letak strategisnya benteng ini.

Sangat jelas pendirian benteng ini terkait dengan kawasan danau Limboto, yang pada masanya menjadi bagian dari 2 kerajaan, Limutu (Limboto) dan Hulontalo (Gorontalo).

Dari atas benteng ini juga dapat disaksikan denyut saktifitas kaum perempuan di dapur, aroma harum apangi menyebar dibawa angin yang menerobs di antara punggung bukit yang damai.

Jauh di ujung desa, daun pohon kelapa tua bergoyang ditiup angin, seakan memanggil semua orang untuk berkumpul di desa ini, menikmati lezatnya apangi yang disiram cairan gula merah.

Jumlah penduduknya desa ini sekitar 3400 jiwa, yang hampir semua kepala keluarganya menggantungkan mata pencarian di Danau Limboto, mencari ikan secara tradisional, budidaya keramba jarring apung, berdagang hasil perikanan, hingga mengelola warung.

Yang memiliki kebun, mereka juga mengolah ladang di punggung-punggung perbukitan kapur yang miring, ditanami jagung lokal atau tanaman lainnya. Tidak banyak unsur hara di ladang ini, tanaman tidak subur sehingga tidak produktif.

Dalam Schetskaart der Distrikten Rond de Hoofdplaats Gorontalo door GWWC Baron van Hoevell, yang dikeluarkan Asisten Residen Gorontalo pada Tijdschrift van het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap 1891, Dembe I ini berada di perbatasan wilayah distrik onderafdeling Gorontalo dan distrik onderafdeling Limboto, tepatnya di pinggir Danau Limboto di sisi utara dan di bawah kaki Gunung Talapo di bagian selatan.

Posisi Dembe I sangat jelas dalam peta ini, bahkan nama Dembe tercantum. Ini membuktikan keberadaan desa ini sebagai desa tua yang memiliki peran penting pada masanya.

Pesta apangi ini sangat meriah, tidak ada sambutan formal dari pemerintah, tidak ada spanduk dan baliho kepala daerah. Semua mengalir indah penuh ritmis, keramahan, keterbukaan, dan kebersahajaan masyarakat menerima tamu, menyuguhkan dan memberi buah tangan bagi tamunya.

Kegiatan ini menunjukkan prakarsa masyarakat Dembe telah menghiasi nusantara dengan hidangan apangi dan keramahtamahannya.

https://regional.kompas.com/read/2022/08/08/131610578/festival-apangi-ungkapan-rasa-syukur-dan-keramahan-orang-dembe

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke