Salin Artikel

Gelaran Fesbujaton, Cara Warga Jawa Tondano Lestarikan Seni Tradisi Leluhur

Panggung megah arena Festival Seni Budaya Jawa Tondano (Fesbujaton) ke-16 sudah sepi, beberapa orang terlihat masih beristirahat kelelahan.

Sebagian orang terlihat menikmati kopi di rumah warga sambil membincang pertemuan para patuari (kesatuan kerabat yang timbul akibat hubungan pernikahan) Jawa Tondano (Jaton).

Masih terbayang saat pembukaan festival pada Rabu sore, barisan kontingen berjejer dengan seragam khasnya, sebuah papan nama asal daerah dibawa anak muda yang ditempatkan di bagian depan.

Hawa yang gerah karena banyaknya manusia yang berkumpul tidak menyurutkan warga Jaton berkumpul di tanah lapang dan memenuhi jalanan desa.

Pada parade, setiap rombongan melintas di jalan desa menyapa para warga yang menonton di tepi jalan, melambaikan tangan.

Sejumlah pria muda mengenakan busana adat jawa lengkap dengan blangkon, baju lurik dan celana hitam, yang wanita mengenakan kebaya putih dengan jarik batik. Juga ada kebaya khas Minahasa yang dikenakan gadis-gadis cantik.

Kontingen anak dari Desa Sidomukti Kecamatan Mootilango memakai seragam putih, berpeci hitam dan bersarung, kontingen dewasa Manado menggunakan baju bagian bawah hitam dengan kombinasi coklat kekuningan.

Ada juga yang berjubah putih seperti yang acap dikenakan para leluhurnya dulu. Suasana desa Sidodadi sangat meriah.


Festival ini adalah ajang silaturahmi bagi ribuan orang Jaton yang tersebar di Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku Utara, Sulawesi Tengah dan sejumlah daerah di Indonesia.

Dalam festival ini disuguhkan sejumlah atraksi seni tradisi seperti hadrah, sholawat jowo, rodat, dames, hingga pidato bahasa Jaton. Semua kegiatan ini dilombakan dan diikuti kontingen dari seluruh daerah.

Sholawat Jowo dan Rodat yang disuguhkan adalah warisan leluhur orang Jaton, para prajurit Perang Jawa.

Saat Sholawat Jowo dilantunkan para tetua Jaton dengan iringan rebana besar suasana sangat syahdu, mengingatkan pada kegiatan pengajian di Jawa pada masa lalu. Iramanya merdu selaras dengan ketukan rebana, dinyanyikan penuh cinta dan rasa.

Sementara rodat dibawakan secara berkelompok, iramanya menghentak dengan gerakan badan dan tangan bergantian.

Tepukan rebana ukuran sedang menghentak, menyemangati para penari, gerakannya mengingatkan pada tari Saman dari Aceh.

Gerakan tubuh para penari ini sangat lincah, trengginas dan liat, terbayang sisa-sisa kekuatan laskar perang jawa hadir dalam rodat ini. Tidak hanya begerak, pemainnya juga membawakan lagu, bersahutan dan kompak.

Sementara Dames disajikan secara anggun oleh kaum perempuan. Dames adalah nyanyian yang disajikan pada prosesi pernikahan masyarakat jawa tondino pada malam midodareni.

Nyanyian ini tanpa iringan musik. Isi sajiannya berupa nasihat bagi calon mempelai yang keesokan harinya akan menjalani akad nikah.

“Festival Seni Budaya Jaton ini diikuti 23 kontingen yang pada pembukaannya dihadiri 2300 orang Jaton dari berbagai daerah,” kata Darson Rifai koordinator umum Fesbujaton, Minggu (7/8/2022).


Darson Rifai menjelaskan festival ini merupakan pertemuan masyarakat Jaton untuk silaturahmi sesama saudara dan melestarikan tradisi yang telah diwariskan leluhur mereka.

“Ini pertemuan kekeluargaan, anak-anak, remaja hingga orang tua berkumpul, setiap kontingen menyuguhkan atraksinya. Sehingga pertemuan ini lebih kepada pelestarian budaya Jaton dan menguatkan tali persatuan dan kesatuan,” kata Mansur Martam warga Jaton yang tinggal Boalemo.

Mansur menjelaskan seluruh peserta festival ini jauh hari telah menyiapkan diri dengan berlatih di daerah asalnya. Energi dan kebersamaan dalam menyintai budaya Jaton inilah yang disuguhkan dalam perlombaan di festival ini.

Latihan ini merupakan pembinaan langsung yang diberikan orang tua kepada anak-anak muda Jaton, baik pria maupun wanitanya. Pembinaan ini juga berisi petuah-petuah, cerita sejarah, hingga dongeng.

Dengan cara inilah budaya jaton terus dilestarikan dari generasi ke generasi. Hingga saat ini seni tradisi masih terawatt, saling mengunjungi sesama orang Jaton juga dilakukan pada kegiatan ini, mereka melepas kangen.

“Febujaton sejatinya adalah upaya pelestarian budaya, leluhur kami adalah prajurit Perang Jawa yang diasingkan ke Minahasa yang kemudian menikahi wanita Minahasa, menurunkan kami orang Jaton,” ujar Mansur Martam.

Keluarga Martam berasal anak cucu dari Kiyai Martam seorang pengikut setia Kiyai Mojo yang menikahi Lunsil Pingkan Sumarauw seorang gadis Minahasa.

“Saling maeleng-elengan wo matombol-tombolan (saling menasehati dan mengingatkan kebaikan),” kaat Said Banteng.

Said berasal dari keluarga Banteng merupakan keturunan Banteng Wareng, seorang pengikut Pangeran Diponegoro yang kembali ke Tondano, Sulawesi Utara setelah kematian sang pangeran di Makassar, Sulawesi Selatan.

Darson Rifai menyebut berkumpulnya saudara-saudara Jaton ini merupakan kebahagiaan tersendiri. Puluhan rombongan yang membawa mobil pribadi dan bus ini diterima warga desa penuh gembira.

Ribuan tetamu luar daerah ini diinapkan di rumah-rumah warga, mereka menikmati keseharian keluarga tuan rumah. Bahkan konsumsi, panitia telah menyediakan bahan makanan seperti beras, sayur, dan ikan. Bahan pangan mentah ini dimasak oleh para tamu.

“Kamis sediakan beras, sayur dan ikan, selebihnya mereka sendiri yang memasak. Hal seperti ini juga terjadi di penyelenggaraan Fesbujaton sebelumnya,” ujar Darson Rifai.


Masyarakat Jaton awalnya terbentuk pada tahun 1930 di Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara. Para tawanan Perang Jawa yang dipimpin Kiyai Mojo diasingkan di tepi Danau Tondano setelah menempuh perjalanan kaki dari Manado menyusuri Sungai Tondano.

Setelah Kiyai Mojo dan 62 pengikutnya merekonstruksi kehidupan dasar di negeri barunya, para internir Perang Diponegoro ini menjalin hubungan dengan para walak (pimpinan wilayah) dan masyarakat sekitar.

Sikap yang baik dan kooperatif ini membuat penduduk asli menerima mereka, bahkan mengawinkan anak-anak gadis mereka dengan pendatang dari Jawa ini.

Anak keturunan dari hasil pernikahan dua suku ini membentuk asimilasi, budaya baru yang unik dan khas yang kemudian dikenal sebagai masyarakat Jawa Tondano atau Jaton.

Dalam perkembangannya, masyarakat Jaton mengembangkan ruang hidup ke sejumlah daerah di Sulawesi.

Salah satunya di Gorontalo yang pada masa itu berada di bawah keasistenresidenan Manado, mereka mendirikan Desa Yosonegoro pada awal 1900, kemudian disusul Desa Kaliyoso dan Reksonegoro di Kabupaten Gorontalo. Ketiga desa ini lahir di era Pemerintah Hindia Belanda.

Pascakemerdekaan muncul desa-desa baru yang juga tidak lepas dari masyarakat Jaton seperti Mulyonegoro dan Bandung Rejo.

Di sejumlah daerah lain, seperti di Kabupaten Bolaang Mongondow juga berdiri Desa Ikhwan yang dihuni warga Jaton, Diaspora orang Jaton ini juga terjadi di Maluku Utara, Sulawesi Tengah, dan lainnya.

“Fesbujaton inilah yang menjadi salah satu ruang  berkumpulnya orang Jaton di berbagai daerah, saling melepas rindu sambil menikmati atraksi budaya,” ujar Mansur Martam.

Masyarakat Jaton yang hidup di berbagai daerah menunjukkan daya adaptasi yang sangat tinggi.

Mereka menerima dan menghormati budaya lokal di mana mereka berada, perilaku ini merupakan warisan leluhur mereka yang mampu hidup dan berkembang di tanah pengasingan sebagai kelompok yang kalah dalam Perang Jawa.

Dalam babak baru kehidupan orang Jaton justru mereka berkembang dan memberi warna tersendiri di Negeri Minahasa, termasuk memiliki sumbangan pada kemajuan di bidang pertanian, transportasi, pertukangan dan pendidikan.

Di Gorontalo, Jaton sebagai entitas budaya telah memberi sumbangsih nyata dalam kebudayaan kontemporer.


Salah satunya adalah penulisan kembali naskah tua meeraji, salah satu tradisi lisan masyarakat Gorontalo.

Meeraji berisi kisah isra miraj Nabi Muhammad, ditulis dalam aksara pegon dengan bahasa campuran Arab dan Gorontalo. Meeraji sangat popular di Gorontalo.

Naskah meeraji suntingan Mansur Martam ini merupakan upaya pelestarian budaya Gorontalo oleh masyarakat Jaton.

Suntingan ini diserahkan Mansur Martam kepada penjabat Gubernur Gorontalo Hamka Hendra Noer dan Walikota Gorontalo Marten Taha saat pembukaan Fesbujaton XVI.

“Penulisan kembali naskah tua meeraji ini merupakan upaya komunitas Jaton dalam melestarikan budaya Gorontalo,” ujar Mansur Martam.

Fesbujaton di Desa Sidodadi ini untuk membuktikan masyarakat Jawa Tondano memberi andil dalam pelestarian budaya daerah, menguatkan tradisi leluhur yang unik dan bermanfaat.

https://regional.kompas.com/read/2022/08/07/161110778/gelaran-fesbujaton-cara-warga-jawa-tondano-lestarikan-seni-tradisi-leluhur

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke