Salin Artikel

Kisah Karolus Belmo Dosen asal NTT yang Juga Pemulung Sampah, Tak Malu meski Dicibir

Sinar surya masih malu-malu menampakan wujudnya, Karolus bergerak menyiapkan diri mulai membasuh wajahnya dengan air segar hingga mengambil karung plastik di ujung kamar belakang rumah.

Mengenakan kaos oblong dipadu celana panjang hitam, Karolus Belmo mulai keluar rumah menyusuri Jalan Adisucipto hingga kampus Universitas Nusa Cendana Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Pagi yang cerah itu, Karolus memungut sampah plastik yang berserakan di sepanjang jalan protokol.

Sampah yang dia ambil seperti botol plastik, kaleng bekas, kardus, dimasukan ke dalam karung plastik warna putih.

Setelah sampah yang terkumpul penuh, ia lalu membawanya pulang ke mess kampus yang menjadi tempat tinggalnya.

Hasil sampah yang dikumpulkan, kemudian dibersihkan dan dijual.

Sampah botol gelas plastik bekas yang sudah dibersihkan dijual Rp 6.000 per kilogram dan yang belum dibersihkan Rp 4.000 per kilogram.

Botol plastik bekas seharga Rp 4.000 per kilogram.

Sedangkan kardus bekas Rp 1.000 per kilogram dan kaleng bekas Rp 3.000 per kilogram.

Barang-barang ini dijual kepada pedagang barang bekas. Ia juga menyiapkan tempat penampungan dan pengumpulan barang bekas.

Rutinitas itu dilakukannya setiap hari mulai pukul 05.00 Wita hingga pukul 06.30 Wita.

Meski sebagai pemulung sampah, namun Karolus saat ini tercatat sebagai dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (STIM) Kupang.

Karolus juga menjabat sebagai wakil direktur I bidang akademik STIM Kupang.

Meski memiliki jabatan di kampus, namun Karolus tidak merasa minder dengan profesi tambahannya sebagai pemulung.

"Memungut dan menjual sampah bukan semata-mata untuk menambah penghasilan dan pendapatan tetapi lebih pada panggilan jiwa atas tanggungjawab kebersihan lingkungan," ujar Karolus, kepada Kompas.com, Jumat (22/10/2021).

Bagi sarjana S1 jebolan Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero, NTT ini, menjadi pemulung justru karena kecintaannya pada lingkungan.

"Sampah memang peluang menghasilkan uang, tapi bukan sekadar tujuan itu yang saya kejar. Saya cinta kebersihan," kata Karolus.

Karolus mengaku, memungut sampah dan menjadi pemulung sudah dijalaninya sejak tahun 2019 lalu.

Aksi memungut sampah juga bahkan menjadi 'aksi protes' bagi magister pendidikan jebolan Universitas Negeri Malang Jawa Timur ini atas rendahnya kesadaran masyarakat Kota Kupang menjaga kebersihan.

Rata-rata warga berpendidikan menengah ke atas merupakan kelompok masyarakat yang sering tidak taat membuang sampah.

"Dari atas mobil, mereka (warga menengah keatas) membuang sampah begitu saja tanpa ada kesadaran akan kebersihan," kata dia.

Karolus pun tidak malu memungut sampah dan menjadi pemulung. Ia pun tidak minder saat ada mahasiswa, rekan sesama dosen atau kerabat yang melihatnya memungut sampah.


"Justru saya berharap mahasiswa saya lebih sering menemukan saya memungut sampah karena secara tidak langsung saya sudah menasihati mereka tentang kebersihan," kata dia.

Rasa malu dan minder juga dirasakan pihak keluarga. Orangtua dan mertuanya menentang keras aksi Karolus menjadi pemulung.

"Terkadang istri saya menjadi sasaran mendapatkan peringatan dari orangtua dan mertua saya bahwa tidak sepantasnya saya memungut sampah," kata dia.

Namun, ia mengakui kalau ini sudah lama menjadi kebiasaannya.

"Saya selalu memberikan alasan bahwa hidup ini singkat sehingga kita memberikan yang terbaik bagi lingkungan. Menjadi pemulung bukan pekerjaan hina sehingga kita tidak perlu gengsi," ujar dia.

Dia menilai, kuantitas sampah di Kota Kupang apalagi di jalanan cukup tinggi sehingga sampah tidak pernah habis.

Sebagai dosen di STIM Kupang, Karolus Belmo juga mengajar mata kuliah etika bisnis, yang mencakup tentang etika lingkungan dan ekologi dengan mencintai kebersihan.

Diakhir sesi perkuliahan, ia mengajak mahasiswanya melakukan aksi bersih-bersih pantai di pantai warna Oesapa guna menumbuhkan rasa kecintaan lingkungan dan kebersihan kepada mahasiswa.

"Saya menjadi pemulung karena saya melihat kesadaran kebersihan warga sangat rendah," kata Karolus.

Menggeluti pekerjaan sebagai pemulung bukan saja dilakukan di Kota Kupang.

Jika dia berlibur ke kampung halamannya di Atapupu, Kabupaten Belu, Karolus juga melakukan aksi yang sama mengajak beberapa kerabat memungut sampah di pantai pasir putih sehingga pantai tetap bersih.

Sampah yang bisa dijual kemudian dibersihkan dan dititipkan di bus agar dibawa ke Kota Kupang untuk dijual.

Cibiran dan rasa kesal sering datang dari orangtua dan mertua, tetapi ia mengaku tidak malu dengan aksinya dan tidak serta merta menghentikan aksinya.

Ia berharap, ia bisa mewariskan hal baik tentang kecintaan pada lingkungan.

"Saya peduli kebersihan dimulai dari lingkungan keluarga," ujar dia.

"Yang membuang sampah bukan masyarakat kecil namun justru dilakukan masyarakat berduit," tambah dia.

Tanpa melupakan tugas pokok sebagai dosen, ia mengakui memungut sampah sudah menjadi panggilan jiwa.


Ia juga teringat pesan dosennya saat masih di STFK Ledalero. 

"Dosen saya berpesan bahwa karena kita menyibukkan diri maka kita tidak ada waktu untuk memikirkan dosa," kata dia.

Karolus mengaku, menyibukkan diri dengan kegiatan positif dan tidak mengejar untung dari pekerjaan sebagai pemulung tapi tujuan utama adalah menerapkan pola hidup bersih.

Pria berkacamata minus itu memiliki mimpi membuka tempat menampung sampah yang bisa menyerap tenaga kerja.

Karolus mengatakan, pemulung rata-rata tidak berpendidikan, tetapi dari yang kotor itulah, pemulung bisa menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak.

Dirinya meyakini, setiap usaha yang dilakukan dengan tulus akan membuahkan hasil gemilang.

"Memungut sampah bukan sekadar meraih untung, namun lebih pada panggilan jiwa untuk mengajarkan kebersihan bagi masyarakat serta memberikan pemahaman bahwa sampah pun bisa mendatangkan uang," kata dia.

https://regional.kompas.com/read/2021/10/22/121954178/kisah-karolus-belmo-dosen-asal-ntt-yang-juga-pemulung-sampah-tak-malu-meski

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke