Salin Artikel

13 Tahun Perjuangan Warga Dayak Modang Lai Kalimantan Cari Keadilan, Tanah Adat Rusak karena Konflik Sawit

Tiga tokoh adat Dayak Modang Long Wai di Desa Long Bentuk (atau disebut juga Bentuq), Kecamatan Busang, Kutai Timur, Kalimantan Timur, dijemput paksa oleh polisi usai kejadian pemortalan jalan desa untuk memutus aktivitas perusahaan sawit, pada 30 Januari 2021 lalu.

Seorang tokoh agama juga terseret sebagai saksi atas kejadian pemortalan itu.

Kepolisian membantah pemanggilan saksi disebut sebagai upaya intimidasi ataupun kriminialisasi.

Pengusutan kasus pemortalan jalan adalah murni berdasarkan laporan dari warga desa tetangga yang dirugikan atas tindakan itu dan juga bertujuan untuk menjaga keamanan serta ketertiban masyarakat di wilayah tersebut.

Sementara, pihak perusahaan sawit, PT Subur Abadi Wana Agung (SAWA) mengatakan telah memenuhi seluruh hak dan kewajibannya dengan memberikan ganti rugi atas seluruh tanah yang dipersoalkan serta menawarkan kerja sama kemitraan namun ditolak warga.

Menurut laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terjadi 1.769 kasus agraria yang menewaskan 41 orang, 51 tertembak, 546 dianiaya, sekitar 940 petani dan aktivis dikriminalisasi sepanjang periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo-Wakil Presiden Jusuf Kalla (2014-2019),.

Penyebab kekerasan adalah polisi, jasa keamanan swasta, satpol PP hingga militer.

Aksi demo itu berujung pada laporan kasus hukum - tiga tokoh adat dan satu tokoh agama dipanggil polisi menjadi saksi atas dugaan pelanggaran hukum perintangan jalan umum.

Tiga tokoh adat itu adalah Kepala Adat Masyarakat Dayak Modang Long Wei, Daud Luwing, lalu Sekretaris Adat Benediktus Beng Lui dan Dewan Adat Daerah Kalimantan Timur Elisason.

Lalu satu tokoh agama adalah Pastor Paroki St. Paulus Long Bentuq Herri Kiswanto Sitohang. Selain itu ada empat tokoh masyarakat yang juga menjalani pemeriksaan oleh polisi.

"Kami minta perusahaan bertemu dan datang ke kampung, tapi tidak mau. Akhirnya masyarakat berbondong-bondong melakukan aksi pemortalan jalan, tapi bukan untuk masyarakat umum, hanya untuk PT SAWA," kata Benediktus kepada BBC News Indonesia.

"Jalan umum desa yang diportal, bukan jalan perusahaan karena mereka tidak punya jalan sendiri. Mereka pakai jalan desa untuk lewat aktivitas sawitnya," ujarnya.

Dalam proses demo yang ia sebut damai, Benediktus mengatakan telah memberikan surat pemberitahuan ke polisi bahkan mendapatkan pendampingan dari aparat keamanan saat aksi berlangsung.

Namun hampir sebulan kemudian pada Sabtu (27/2/2021) sekitar jam lima sore, belasan mobil dan personel bersenjata lengkap melakukan penjemputan paksa.

"Di tengah jalan datang rombongan mobil polisi, mereka langsung menghadang mobil kami dari depan dan belakang. Kami dibawa ke polres dan dimintai keterangan besoknya didampingi kuasa hukum dan kemudian dipulangkan," kata Benediktus.

Benediktus menjelaskan, ia dan tokoh adat lain tidak memenuhi panggilan sebagai saksi karena petugas yang mengantar tidak dilengkapi surat tugas dan "deliknya cacat formil karena yang dituduhkan yaitu merusak jalan umum, tapi tidak ada satupun jalan yang rusak," katanya.

"Saya sudah berkoordinasi dengan Kapolres, saya sampaikan kehadiran saya sebagai pendamping umat untuk memastikan mereka melakukan tuntutan perjuangan pada tataran tindakan normatif, jangan anarkis, makanya saya selalu mendampingi mereka di lapangan," kata Herri.

Pastor Herri menegaskan, permortalan dilakukan hanya untuk membatasi akses mobilisasi transportasi perusahaan, bukan aktivitas masyarakat umum.

Selain pendampingan ke masyarakat, ia juga mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo agar turun tangan menyelesaikan masalah ini.

Ada dua harapan yang disampaikan dalam surat itu. Pertama, meminta Presiden Jokowi memenuhi hak masyarakat adat yang diwariskan dan diperjuangkan dengan nyawa oleh nenek moyang yang telah berabad-abad tinggal di wilayah itu, namun dirampas semena-mena.

"Kedua karena adanya surat panggilan terhadap saya, saya menilai ada dugaan atau upaya kriminalisasi terhadap saya.

"Jadi masyarakat kecil, lemah, tertindas, termarjinalkan ketika berhadapan dengan polisi secara psikis dan mental pasti jatuh."

"Hentikan segala upaya kriminalisasi, mari masuk ke akar persoalan ungkap kebenaran atas perjuangan masyarakat ini," katanya yang telah melakuan pelayanan dari sejak tahun 2011 di Long Bentuq.

"Tahun 2008, konflik dimulai. Seorang warga kampung yang sedang memancing menemukan traktor sedang merusak hutan, land clearing, di wilayah Long Bentuq. Kami mengirimkan surat untuk dihentikan kegiatannya," kata Benediktus.

Namun, surat tersebut tidak ditanggapi oleh perusahaan. Proses surat menyurat tidak membuahkan hasil, sementara pengerusakan hutan di atas lahan sekitar 4.000 ribu hektare terus dilakukan.

Sungai-sungai dirusak untuk dibuat kanal dan ditanami sawit di sampingnya, dan pohon yang berusia ratusan tahun yang menjadi tempat bergantungnya hidup masyarakat adat ditebang, kata Benediktus.

"Kehidupan kami hancur, hak tradisional kami akan kayu, tempat berburu dan ikan, air bersih, obat-obatan, buah-buah habis semua. Ibu kami dihancurkan," ujar Benediktus.

Di tahun 2015, masyarakat adat pertama kali melakukan aksi damai menuntut hak atas tanah yang digusur di depan kantor PT SAWA.

"Beberapa perwakilan warga bertemu dengan perusahaan. Tapi yang terjadi, kami tidak bicara dengan perusahaan, tapi dengan polisi, perusahan hanya duduk mendengar saja."

Kesepakatan tidak tercapai, perusahan pun menyerahkan permasalahan ke pemerintah daerah.

Di sisi lain, dewan adat mengeluarkan keputusan yang mendenda perusahaan sebesar Rp 15 miliar atas kerusakan yang dilakukan.

"Kita kemudian hearing ke pemda dan percaya bisa memberikan yang terbaik. Tapi sebaliknya, di kantor bupati kita bukan bahas lahan 4.000 hektare itu, tapi malah bertemu dan dihadapkan dengan saudara kita dari desa tetangga sehingga terjadilah perang mulut. Kami seperti diadu domba," katanya.

Beberapa waktu kemudian setelah pertemuan itu, terbitlah SK Bupati yang semakin mengkerdilkan wilayah Long Bentuq menjadi hanya 9.000 hektar - menghilangkan luas 4.000 hektar dari wilayah Desa Long Bentuq.

Masyarakat Adat Long Bentuq kemudian melapor ke Ombudsman RI, Komnas HAM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, hingga presiden - namun hasilnya nihil.

"Tahun 2016, KLHK turun ke lapangan dan menemukan banyak pelanggaran lingkungan oleh perusahaan tapi setelah itu lenyap begitu saja."

"Kami kebingungan, sudah lelah, tidak ada dana, terpaksa kami istirahat, sambil berpikir cara apalagi yang harus ditempuh. Di sisi lain perusahaan terus beroperasi," katanya.

Lalu pada awal tahun 2021, masyarakat kembali meminta perusahaan datang ke desa untuk musyawarah namun diindahkan sehingga muncu aksi demonstrasi pemortalan pada 30 Januari yang berujung pada laporan ke polisi.

"Kami berdemo karena kehabisan akal harus bagaimana lagi. Semua cara sudah dilalui tapi tidak direspon," katanya.

Pertama, menggunakan orang-orang simbolik yang tidak berkepentingan atas lahan sebagai representasi dalam memberikan izin.

"Bisa jadi kepala kampung, camat, lurah, mereka yang bukan pemilik lahan sehingga seolah-olah seluruh warga sudah setuju, jadi tidak dilaksanakan free, prior and informed consent (FPIC) di mana masyarakat dilibatkan sebesar-besarnya," kata Margaretha.

Jika langkah pertama tidak berhasil, maka dilakukan modus kedua yaitu "mengadu domba" baik antar warga dalam desa maupun dengan desa tetangga.

"Untuk di kasus Long Bentuq dari awal masyarakat sudah menolak, maka perusahaan menggunakan taktik lain yaitu meminta izin dari kampung sebelah," ujar Margaretha.

Untuk melegalkan cara ketiga, diterbitkan surat keputusan melalui pemerintah daerah yang mengesahkan lahan konflik itu masuk ke wilayah tetangga yang telah bekerja sama dengan perusahaan.

"Sehingga menjadi masalah batas wilayah adat dan membenturkan dua kelompok masyarakat, mengaburkan permasalahan utama antara masyarakat dan perusahaan, " kata Margaretha

Modus tersebut hampir terjadi di seluruh wilayah Kaltim, contoh nyata selain di Long Bentuq adalah di Muara Tae, Kutai Barat, Kalimantan Timur.

"Makanya konflik sosial terjadi saat konflik agraria," katanya.

Cara keempat adalah melakukan intimidasi dan kriminalisasi lewat jalur hukum.

"Bayangkan demo yang tidak merusak apapun harus dipanggil dengan cara agak mengerikan, enam mobil polisi dengan senjata lengkap seolah-olah mau ditangkap dan dimasukkan penjara. Itukan cara mengintimidasi masyarakat, membuat masyarakat takut.

"Jadi kalau mau tangkap, tangkap seluruh kampung itu yang berdemo. Jadi jangan ada sampai kriminalisasi di kasus yang dibuat-buat," katanya.

Margaretha juga menegaskan, seharusnya polisi mengusut dugaan pelanggaran yang dilakukan perusahaan karena menggunakan jalan umum untuk lalu lintas transportasi sawit.

Pasal 6 ayat 1 Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur nomor 10 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Jalan Umum dan Jalan Khusus untuk Kegiatan Pengangkutan Batubara dan Kelapa Sawit berbunyi, "setiap angkutan batubara dan hasil perusahaan perkebunan kelapa sawit dilarang melewati jalan umum".

"Jadi siapa yang menyalahi aturan sebenarnya perusahaan atau masyarakat? Tapi giliran masyarakat melapor belum tentu diterima," katanya.

Margaretha mencontohkan, masyarakat adat Modang Long Wei pernah melaporkan perusahaan ke polisi karena sudah menyalahi tata cara pembukaan lahan, hingga mencemari sungai. Namun laporan itu menguap ditelan angin.

"Sementara masyarakat hanya tutup jalan langsung ditangkap dengan senjata lengkap," katanya.

"Padahal solusinya sederhana, perusahaan datang, dengar tuntutan masyarakat, dan cari solusi bersama. Jangan pakai modus-modus yang merusak tatanan masyarakat, bahkan mengadu domba," katanya.

"Pembebasan lahan dilakukan pada tahun 2009-2014, dengan melibatkan Tim 9 dari Pemda dan Kepala Adat Dayak dari 3 desa yakni Desa Long Pejeng, Long Lees dan Long Nyelong, juga Kepala Adat Besar Suku Dayak Kenyah Se-Sei Atan," kata General Manager License & CSR PT SAWA Angga Rachmat Perdana dalam keterangan tertulisnya.

Berbeda dari penjelasan masyarakat adat, PT SAWA mengatakan permasalahan muncul pada tahun 2015 ketika terjadi perubahan batas desa yang mengakibatkan sebagian wilayah Desa Long Pejeng menjadi wilayah Desa Long Bentuq.

Perubahan itu menyebabkan Kepala Adat Dayak Long Bentuq menuntut PT. SAWA membayar denda adat sebesar Rp15 miliar.

"Karena lokasi tanah yang dipersoalkan tersebut sudah pernah diganti rugi, tentu kami tidak dapat memenuhi tuntutan tersebut. Tidak mungkin perusahaan memberikan ganti rugi dua kali atas lahan yang sama," jelas Angga Rachmat Perdana.

PT SAWA juga telah menawarkan kerja sama kemitraan bagi masyarakat Desa Long Bentuq seperti percetakan persawahan, tanaman jagung, tanaman kelapa sawit, ternak sapi dan sebagainya.

"Namun tawaran tersebut ditampik oleh Kepala Adat Dayak Long Bentuq. Padahal Kepala Desa Long Bentuq beserta mayoritas masyarakat Desa Long Bentuq sudah menerima baik solusi tersebut," urai Angga.

"Tentu kami menunggu laporan dari aparat penegak hukum bagaimana prosesnya. Karena proses sudah ditangani penegak hukum sehingga kami tidak bisa intervensi langsung.

"Pasti penegak hukum akan meneliti terus, menyelidik sampai tuntas, kan ada nanti keputusan terakhirnya bagimana solusi dari hasil pemeriksaan mereka. Kami monitor perkembangannya dan tunggu hasilnya," kata Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Timur Muhammad Sabani.

Laporan merintangi jalan umum

Polres Kutai Timur mengatakan, dalam kasus dugaan pidana merintangi jalan umum, polisi sudah meminta keterangan kepada 24 orang, mulai dari masyarakat yang memportal, masyarakat yang mengaku sebagai korban, pemerintahan hingga ahli pidana.

"Jadi ada laporan yang pokoknya terkait dugaan merintang jalan umum, dan orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan yang mengakibatkan terganggunya fungsi jalan, di Pasal 192 ayat 1 KUHPidana, dan atau Pasal 63 ayat 1 UU 38 tahun 2004 tentang Jalan," katan Kasat Resrkim Polres Kutai Timur AKP Abdul Rauf.

Setelah melakukan pemeriksaan saksi, polisi akan melakukan gelar perkara untuk menentukan apakah akan ditetapkan tersangka atau tidak. Hingga kini belum ada tersangka yang ditetapkan oleh polisi.

Abdul Rauf menjelaskan, polisi mendapatkan laporan dari masyarakat bahwa pada 30 Januari lalu, seluruh akses kendaraan tidak boleh melintas akibat adanya pemortalan, lalu setelah diprotes maka yang dilarang hanyalah transportasi yang berkaitan dengan PT SAWA.

Kemudian, berdasarkan laporan itu, polisi melakukan pemanggilan terhadap para saksi.

"Kami kirimkan surat panggilan pertama tapi belum hadir, kita terbitkan panggilan kedua tidak hadir juga. Maka kami ambil keputusan menjemput dan membawa beliau-beliau ke hadapan penyidik pada 27 Februari," katanya.

Terkait proses pemanggilan, Abdul Rauf mengatakan polisi mengerahkan 10 mobil dilengkapi dengan senjata lengkap bertujuan untuk menghindari potensi provokasi dan menjaga keamanan serta ketertiban masyarakat.

"Jangan nanti tercipta benturan antara aparat dengan masyarakat, dan juga memastikan ketiga orang kita jemput dalam keadaan aman," katanya.

"Orang yang keluarkan pernyataan itu, tidak mengerti permasalahan yang terjadi. Kami objektif, siapun yang membuat pengaduan kami respon, tapi sampai hari ini kami belum melihat ada laporan dari masyarakat tentang klaim hutan adat dan pelanggaran aktivitas perusahan di sana."

"Tidak mungkin kami melakukan proses hukum jika tidak ada yang melaporkan. Yang melaporkan ke kami adalah masyarakat sekitar yang merasa dirugikan akibat adanya penutupan akses di jalan umum," katanya.

Lalu terkait tudingan adanya intimidasi hingga kriminalisasi, Polres Kutai Timur juga membantah hal tersebut.

"Tidak ada keberpihakan kepada siapapun, kami sangat menjunjung tinggi masyarakat adat, tapi silahkan perjuangkan melalui mekanisme yang diatur di negara ini," katanya.

Sepanjang tahun 2020, terjadi 122 letupan konflik agraria di sektor perkebunan, sebanyak 101 kasus adalah konflik perkebunan sawit, berdasarkan laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Dalam periode kepemimpinan Jokowi-Jusuf Kalla (2014-2019), terekam 1.769 kasus agraria dengan menewaskan 41 orang, 51 tertembak, 546 dianiaya, sekitar 940 petani dan aktivis dikriminalisasi.

Penyebab kekerasan adalah polisi, jasa keamanan swasta, satpol PP hingga militer.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2019 menunjukkan luas perkebunan sawit di Indonesia sekitar 14,32 juta hektare.

Riau menjadi provinsi terbesar dengan 2,74 juta hektare lalu diikuti Sumatera Utara (1,74 juta hektare), Kalimantan Barat (1,53 juta hektare), Sumatera Selatan (1,19 juta hektare), dan Kalimantan Timur (1,08 juta hektare).

https://regional.kompas.com/read/2021/03/09/085800978/13-tahun-perjuangan-warga-dayak-modang-lai-kalimantan-cari-keadilan-tanah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke