Salin Artikel

Ketika Tenaga Medis Covid-19 Tagih Janji Insentif pada Pemerintah, Dipecat Saat Bertugas

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) menekankan pentingnya menjamin hak dan menjamin keselamatan tenaga medis yang berada di garis depan perang melawan Covid-19.

Sebanyak 109 tenaga medis di RSUD Ogan Ilir, Sumatra Selatan, dipecat karena menuntut transparansi insentif dan alat pelindung diri (APD) demi keselamatan kerja, asupan vitamin dan rumah singgah yang layak.

Salah satu tenaga medis yang enggan disebut namanya mengungkapkan risiko yang mereka hadapi ketika menangani pasien Covid-19, tak sebanding dengan kesejahteraan yang mereka terima.

Sementara insentif yang dijanjikan pemerintah, tak kunjung tiba. Alih-alih, mereka kini malah dirumahkan.

"Kami tidak berharap untuk dibeginikan, rasanya terzolimi. Kami mau menanyakan keselamatan kami, kami mau menanyakan hak-hak kami, cuman kok akhirnya kami begini, dirumahkan. Miris sekali rasanya," ujarnya kepada BBC News Indonesia, Rabu (28/5/2020).

Bupati Ogan Ilir Ilyas Panji Alam beralasan pemecatan para tenaga medis itu lantaran mereka 'mangkir' kerja selama lima hari karena mogok kerja.

Akan tetapi tenaga medis itu menegaskan meski melakukan aksi, dirinya tetap menjalankan shift kerjanya. Bahkan, ketika mendapat kabar dirinya dipecat, dia sedang bertugas.

Insentif bagi tenaga medis merupakan salah satu komitmen pemerintah yang diumumkan Presiden Joko Widodo pada 23 Maret silam. Kala itu, dia mengatakan pemerintah akan memberikan insentif bulanan kepada tenaga medis yang terlibat dalam penanganan Covid-19.

Inilah perkembangan tentang insentif kepada tenaga medis dua bulan sejak diumumkan oleh pemerintah.

Dilansir dari laman resmi Kementerian Kesehatan, sasaran pemberian insentif adalah tenaga medis, baik aparatur sipil negara (ASN), non-ASN, maupun relawan yang menangani Covid-19 di sejumlah fasilitas pelayanan kesehatan.

Fasilitas kesehatan itu antara lain, rumah sakit yang khusus menangani Covid-19, rumah sakit pemerintah dan swasta yang ditunjuk pemerintah untuk menangani Covid-19, kantor kesehatan pelabuhan (KKP), dinas kesehatan di tiap wilayah, puskesmas, dan laboratorium yang ditetapkan Kementerian Kesehatan.

Adapun besaran maksimal insentif yang diterima tenaga kesehatan adalah sebagai berikut:

- Dokter spesialis sebesar Rp 15 juta

- Dokter umum dan gigi sebesar Rp 10 juta

- Bidan dan perawat Rp 7,5 juta

- Tenaga medis lainnya Rp5 juta.

Selain itu, pemerintah juga memberikan santunan kematian sebesar Rp 300 juta kepada tenaga medis yang meninggal saat bertugas menangani pasien Covid-19.

Regulasi itu menyebut insentif dan santunan kematian diberikan terhitung sejak Maret hingga Mei dan dapat diperpanjang sesuai dengan peraturan perundangan.

Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo, mengatakan insentif tersebut telah disalurkan sejak 22 Mei silam.

"Menteri Kesehatan telah melaporkan kepada Bapak Presiden tentang insentif kepada tenaga kesehatan yang sudah mulai disalurkan sejak tanggal 22 Mei yang lalu, yaitu pada hari Jumat dan berlanjut sampai dengan selesai," ujar Doni dalam keterangan pers usai rapat terbatas percepatan penanganan pandemi Covid-19, Rabu (27/5/2020).

Salah satunya, Hartati Bangsa, seorang dokter umum yang sejak awal pandemi virus corona hingga kini, menjadi relawan menangani pasien Covid-19 di Rumah Sakit Darurat Wisma Atlet di Jakarta.

Hartati menuturkan sebagian rekannya sesama tenaga medis di Wisma Atlet telah menerima insentif yang dijanjikan pemerintah. Namun hingga kini dirinya belum menerima insentif tersebut dengan alasan perbedaan rekening bank.

Lebih jauh, Hartati menegaskan "insentif tidak terlalu menjadi bagian yang betul diperhitungkan", sebab komitmen awal ketika menjadi relawan Covid-19 adalah untuk mengabdi.

"Tapi kemudian menjadi haknya mereka yang harus dibayarkan, bagi saya kewajiban itu sebagai bentuk penghargaan dari pemerintah atas segala usaha yang diberikan, segala pengorbanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan," kata dia.

Sementara itu, Ketua DPP Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Harif Fadillah mengatakan, dilihat dari jumlah nominalnya, "insentif itu tidak seberapa nilainya dibanding risiko yang dihadapi" tenaga medis.

"Masalah insentif ini sebenarnya tidak seharusnya menjadi polemik. Kalau memang harus dilakukan cepat, ya lakukan cepat. Jangan sampai perawat ini seolah-olah bekerjanya karena insentif," tuturnya.

Dia mengaku banyak perawat mendapat sindiran terkait "hak istimewa" yang diterima tenaga medis, sementara banyak orang lain justru kehilangan pekerjaan akibat pandemi.

"Belum, kita belum dapat. Dan yang kita hadapi ini faktual, potensi yang di depan mata. Jadi saya kira hal-hal seperti itu nggak perlu lah. Walaupun insentif itu bukan yang utama bagi kita sebetulnya, kecuali mereka yang relawan yang tergantung pada pembiayaan itu," jelas Harif.

"Tapi kita tetap mendorong supaya ini tetap dilaksanakan sesuai dengan janji-janjinya pemerintah," imbuhnya kemudian.

Tuntutan akan transparansi insentif dan kelengkapan APD justru dibalas dengan dengan pemecatan oleh Bupati Ogan Ilir.

"Sebenarnya kami kerja ikhlas, kalau dikatakan kami menuntut insentif, rasanya gimana gitu. Dari dulu kerjanya cuma ikhlas. Tapi berhubung dari pemerintah pusat menjanjikan ada insentif, kami perlu tahu lah kira-kira berapa," ujar salah satu tenaga medis yang enggan disebut namanya kepada BBC News Indonesia, Rabu (28/5/2020).

"Cuma ketika kami menanyakan aja nggak dijelaskan berapa nominal yang kita terima," ujarnya kemudian.

Namun, Bupati Ogan Ilir Ilyas Panji Alam beralasan pemecatan 109 tenaga medis itu dilandasi tuntutan mereka yang dia sebut "mengada-ada".

Ilyas menerangkan selain telah menyediakan APD, pemerintah daerah juga telah menyediakan insentif.

"Insentif ada, malah saya minta kasus per kasus, yang benar-benar menangani pasien ada lagi insentif, tambah lagi. Ini mereka kerja menangani pasien corona aja belum," ujarnya kepada Kompas.com.

Sementara, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Brian Sri Prihastuti menyebut proses verifikasi ini menjadi alsan keterlambatan pencairan insentif bagi tenaga medis.

"Dibutuhkan waktu untuk memverifikasi tenaga kesehatan untuk pencairan insentif," kata dia.

Akan tetapi, dia menekankan "insentif kepada tenaga kesehatan sudah menjadi komitmen presiden" sebagai bentuk dukungan dan apresiasi kepada tenaga medis.

"Sekarang tinggal masalah eksekusi. Eksekusinya tidak bisa hanya sekedar uang ada lalu diserahkan. Uang sudah disediakan alokasinya, tapi kemudian untuk eksekusi ada Kementerian Kesehatan yang menjalankan, dan ada proses verifikasi tenaga kesehatan yang mana."

"Sekarang sedang proses untuk verifikasi, setahu saya pencairan sudah dilakukan beberapa kali," ujar Brian.

Dia menambahkan, verifikasi yang dia maksud adalah menetapkan besaran insentif yang diterima oleh tenaga medis sesuai dengan kriteria dan beban kerjanya.

Petunjuk teknis ini, lanjut Harif, yang nantinya mengatur siapa saja tenaga medis yang mendapatkan insentif, mekanisme pencairan insentif dan hingga kapan insentif itu diterima.

"Itu memang harus diusulkan oleh pimpinan dari unit kerjanya. Kalau piminan unit kerjanya lambat mengusulkan, lambat juga mereka mendapatkannya," jelas Harif.

Harif pun menyoroti tidak semua tenaga medis mendapatkan insentif.

Merujuk pada pedoman yang dirilis Kementerian Kesehatan, insentif itu hanya diberikan antara lain kepada tenaga-tenaga medis yang ada di rumah sakit rujukan khusus Covid-19, rumah sakit pemerintah, dan sebagian rumah sakit swasta yang ditunjuk sebagai rujukan pelayanan Covid-19, serta puskesmas.

"Jangan diartikan semua perawat mendapatkan [insentif]. Misalnya di rumah sakit swasta, tidak semua mereka mendapatkan," ujarnya.

Sementara itu, Juru Bicara Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Halik Malik mengimbau pemerintah untuk mempermudah birokrasi pencairan insentif tenaga, seperti halnya layanan medis yang memudahkan birokrasi layanan pasien Covid-19 di fasilitas kesehatan.

"Harapan kami dari pemerintah juga membuat birokrasi yang lebih mudah bagi rumah sakit untuk melakukan klaim, dan bagi tenaga medis yang bertugas untuk bisa mendapatkan haknya tepat waktu."

"Jika ada insentif tambahan dalam partisipasi mereka menangani Covid, itu juga bisa diberikan kemudahan-kemudahan sepanjang mereka betul-betul bekerja dalam penanganan Covid ini," ungkap Halik.

Dia pun menegaskan para tenaga medis menghendaki negara hadir untuk memastikan mereka bisa bekerja dengan baik dan terlindungi ketika menjalankan tugasnya.

"Bagi dokter-dokter, mereka tidak mempermasalahkan insentifnya seberapa besar atau seberapa cepat, yang pasti ada kepastian terkait pembayaran insentif itu," jelasnya.

"Kalau dilihat dari skala prioritas mereka saat ini adalah adanya jaminan keselamatan dan perlindungan, terutama proteksi terhadap mereka dalam bertugas seperti jaminan APD, sistem bekerja yang lebih baik, dan baru terakhir, apresiasi dalam bentuk insentif tadi," ujarnya kemudian.

Faktanya, lanjut Halik, banyak tenaga medis yang meninggal akibat Covid-19 karena terpapar virus ketika bertugas lantaran minimnya APD yang mereka miliki.

Merujuk data IDI, setidaknya 28 dokter dan 20 perawat meninggal dunia akibat Covid-19.

https://regional.kompas.com/read/2020/05/29/08500041/ketika-tenaga-medis-covid-19-tagih-janji-insentif-pada-pemerintah-dipecat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke