Salin Artikel

Terburuk sejak 2015, Karhutla Ancam Orangutan hingga Perburuk Perubahan Iklim Dunia

KETAPANG, KOMPAS.com = Perubahan iklim yang dialami hampir seluruh permukaan bumi telah menjadikan kondisi cuaca tak lagi bisa diprediksi.

Satu di antara faktor penyebabnya adalah peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun ini.

Argitoe Ranting, Manager Lapangan IAR Indonesia mengatakan, berdasarkan laporan Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS), kebakaran hutan dan lahan di Indonesia adalah yang terburuk sejak 2015, menghasilkan tidak kurang dari 708 juta ton karbon dioksida ekuivalen di atmosfer.

"Sebagian besar merupakan hasil dari kebakaran gambut. Angka ini hampir dua kali lipat emisi karbon yang dihasilkan dari kebakaran hutan Amazon," kata Argito dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com di Pontianak, Senin (2/12/2019).

Namun, karhutla di Indonesia tidak hanya berpengaruh pada perubahan iklim. Keanekaragaman hayati hutan rawa gambut Kalimantan juga turut terancam.

Inilah nasib buruk yang harus dihadapi oleh orangutan, primata ikonik Kalimantan, satu-satunya kera besar yang ada di Asia.

Kebakaran hutan besar-besaran yang menghancurkan hutan di Indonesia pada 2015 mengakibatkan banyak orangutan mati, dan sebagian besar lainnya kehilangan habitatnya, mendorong spesies ini ke jurang kepunahan dan memperburuk konflik dengan manusia.

"Orangutan yang terdesak keluar dari habitatnya yang hancur memasuki kebun-kebun warga di mana biasanya mereka akan terluka atau bahkan mati karena diserang manusia," tuturnya.

Kebakaran tahun ini juga menghancurkan populasi orangutan di Kalimantan. Sejak kebakaran yang diawali pada Juli 2019, IAR Indonesia telah menyelamatkan sembilan orangutan dari kawasan hutan yang terbakar.

“Pada 2015 kami menyelamatkan 44 orangutan dari habitatnya yang hancur dalam beberapa bulan bahkan setelah kebakarannya mereda,” ujarnya.

“Semakin lama waktu yang kita ambil untuk menyelamatkan orangutan yang kehilangan habitatnya, kondisi mereka akan semakin kritis,” tambahnya lagi.

Selamatkan dua individu orangutan

Dalam sepekan terakhir ini, IAR Indonesia dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, Seksi Konservasi Wilayah (SKW) I Ketapang menyelamatkan dua individu orangutan di Ketapang.

Satu individu orangutan jantan bernama Jebur diselamatkan dari kebun karet milik warga di Desa Sungai Awan Kiri, dan Epen, orangutan betina dewasa yang diselamatkan dari Desa Sungai Besar dua hari setelahnya.

“Orangutan betina ini sangat kurus,” jelas Argito.

Dia menduga, orangutan ini telah menderita kelaparan selama berbulan-bulan sejak habitatnya terbakar. Dia juga menduga orangutan itu kehilangan bayinya karena orangutan ini masih mengeluarkan air susu.

"Mungkin bayinya mati karena kekurangan nutrisi. Jilka kami tidak segera menyelamatkannya, mungkin dia sudah mati sekarang,” ucapnya.

Jebur yang diperkirakan berusia 8 tahun, langsung dilepaskan di Hutan Sentap Kancang, tidak jauh dari tempat dia diselamatkan.

Sementara Epen, saat ini masih menjalani pemeriksaan dan perawatan oleh tim medis IAR Indonesia yang bekerja keras untuk memastikan dia kembali pulih dan bisa dipulangkan ke habitat aslinya sesegera mungkin.

Karmele L. Sanchez, Direktur Program IAR Indonesia menambahkan, kehilangan habitat orangutan karena kebakaran adalah ancaman terbesar bagi orangutan saat ini.

Menurut dia, memilukan melihat orangutan korban kebakaran hutan ini yang menderita kelaparan, tidak mempunyai apa pun untuk dimakan, sama seperti yang disaksikan pada 2015.

Meskipun demikian, kekuatan untuk tetap hidup dalam kondisi seperti ini cukup mencengangkan. Bagian yang paling menyedihkan adalah tidak bisa menghitung berapa banyak dari orangutan ini yang tidak berhasil bertahan dan akhirnya terbakar dalam kebakaran atau mati perlahan karena kelaparan.

"Ancaman perubahan iklim telah di ambang pintu," ucapnya.

Mengutip data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), 90 persen bencana di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi atau bencana yang disebabkan oleh faktor cuaca.

Maka, lanjut Karmele, tidak bisa dipungkiri, cuaca ekstrem ini merupakan salah satu dampak perubahan iklim.

World Economic Forum pada The Global Risk Report 2019 juga menyatakan, perubahan iklim menempati posisi paling atas sebagai penyebab musibah global, seperti bencana alam, cuaca ekstrem, krisis pangan dan air bersih, hilangnya keanekaragaman hayati, dan runtuhnya ekosistem.

"Dengan situasi demikian, kita harus bisa siap untuk bencana kebakaran pada tahun ke tahun berikutnya," tutupnya.

https://regional.kompas.com/read/2019/12/03/07380041/terburuk-sejak-2015-karhutla-ancam-orangutan-hingga-perburuk-perubahan-iklim

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke