Salin Artikel

Kisah Edi, Bertahan Ajar 3 Murid Tersisa di Sekolah yang Nyaris Roboh

MADIUN, KOMPAS.com — Edi Sudarsono (54) tak mengira anak didiknya di SDN Kare 7 bakal menyusut hingga menyisakan 3 anak saja.

Bukan tanpa sebab. Semenjak warga ramai-ramai transmigrasi ke luar Jawa, jumlah penduduk yang bermukim di dekat area perkebunan Kandangan menyusut drastis.

Bahkan, kini hanya menyisakan 5 hingga 7 kepala keluarga yang bertahan hidup di lereng Gunung Wilis itu.

Tragisnya lagi, susutnya jumlah penduduk di Dusun Draji, Desa Kare, Kecamatan Kare, Kabupaten Madiun itu berdampak pada sarana pendidikan dasar bagi anak-anak.

Satu-satunya sekolah dasar terdekat, SDN Kare 7 yang menjadi andalan warga untuk menyekolahkan anak-anak mereka kini telantar.

Sekolah dasar yang dibangun sejak tahun 1977 ini tak difungsikan lagi menyusul ambruknya atap sekolah lima tahun lalu.

Tidak diketahui pasti alasan Pemerintah Kabupaten Madiun tak merehab atap bangunan SDN Kare 7 yang ambruk. Padahal, masih ada 3 anak warga setempat yang mengenyam pendidikan di sekolah itu.

"Gedung sekolah tidak lagi bisa digunakan karena atapnya ambruk. Dulu sempat pindah di perumahan sekolah. Tetapi, setelah perumahannya ambruk akhirnya tempat mengajarnya pindah ke rumah penduduk di Mbah Yaji," kata Edi, satu-satunya guru SDN Kare 7 yang dihubungi Kompas.com, Senin ( 27/11/2018).

Menurut Edi, sebenarnya gedung SDN Kare 7 bisa diperbaiki lantaran hanya atapnya saja yang ambruk. Agar tidak hilang, kursi di dalam kelas disimpan di rumah penduduk. Sementara, bangku meja belajar dibiarkan di ruang yang atapnya tidak bocor.

"Kondisi ruang kelas SDN Kare 7 ada tiga ruangan. Dulu disekat saat muridnya masih banyak. Muridnya semakin hilang setelah warganya bedol desa tinggal setengah siswanya. Setelah transmigrasi kedua, tinggal beberapa warga yang bermukim di dusun itu," ujar Edi.

Edi menceritakan, SDN Kare 7 mulai kehabisan murid sejak tahun ajaran 2012/2013.

Kondisi itu terjadi setelah penghasilan warga setempat yang berprofesi petani di perkebunan berkurang.

Akibatnya, banyak yang bertransmigrasi dan merantau di luar jawa, kalimatan dan sumatera.

Sebelum jumlah siswa SDN Kare 7 habis, lanjut Edi, masih berdiri SDN Kare 4. Lalu sekolah itu ditutup pemerintah. Tak terima, warga setempat berunjuk rasa karena anak-anak masih ingin mengenyam pendidikan.

"Warga demo. Wong pengen (orang ingin) sekolah kok ditutup. Nopo mboten mesakne nek teng Ponorogo perjalanane rong jam (apa tidak kasihan kalau sekolah ditutup perjalanan ke Ponorogo masih dua jam)," kata Edi.

Lantaran kasihan, lanjut Edi, sekolah itu dibuka kembali tetapi digabung dengan SDN Kare 7 yang berjarak lima kilometer dari rumah warga. Sementara, induknya tetap berada di SDN Kare 6 yang berjarak 12 kilometer dari pemukiman warga. Tetapi, rapornya tetap menggunakan SDN Kare 7 karena lokasi sekolahnya sendiri-sendiri.

Sementara,  kalau Ujian Nasional siswanya menumpang di SDN Kare 1 dan ujian semesteran di SDN Kare 6.

Sejak kehabisan murid, tidak ada kebijakan menambah tenaga guru. Edi merangkap sebagai guru dan wali kelas.

"SDN Kare 7 berdiri sendiri. Hanya saja kantornya ikut SDN Kare 6 yang jumlah muridnya ratusan siswa. SDN Kare 7 tidak bisa berdiri sendiri karena tidak ada komputer dan pegawai yang mengurus administrasi," jelas Edi.

Sebagai guru tunggal di SD itu, banyak tantangan yang harus dihadapinya. Saat musim penghujan tiba, ia acapkali harus berjalan kaki, jatuh dari bersepeda motor hingga berguling di tanah.

"Perjalanan dari Maospati ke Kare memakan waktu 2 jam dengan jarak 60 kilometer. Sebenarnya tidak jauh tetapi jalannya licin dan rusak maka harus pelan-pelan laju kendaraannya. Apalagi, di samping jalan ada jurang dan bukit," kata Edi.

Selain jauh dari infrastruktur yang layak, kondisi tiga siswa Edi juga mencemaskan. Tiga anak didiknya saat ini mengalami kekurangan gizi dan kedua orang tuanya agak mengalami keterbelakangan mental.

"Terkadang kami harus mencari anak-anak dulu karena mereka bersembunyi di kandang, kebun dan di kamar mandi. Untuk menarik minat mereka belajar, saya sering membawa makanan ringan agar mereka semangat bersekolah," tutur Edi.

Tak hanya itu, tiga siswanya itu hanya mau belajar setelah pergi mencari rumput atau bekerja berkebun. Muridnya terpaksa mencari nafkah karena ibunya hidup sendiri setelah ditinggal bapaknya menikah dengan wanita lain.

"Makanya mereka bekerja dulu, cari kayu, rumput dan bekerja pabrik baru belajar," kata Edi.

Edi menyebutkan tiga siswanya duduk di bangku kelas dua, tiga dan empat. Dua siswa yang duduk di kelas dua dan empat bernama Roma (12) dan Eko (16). Sementara satu siswa yang duduk di bangku kelas dua bernama Bayu (8).

Tak seperti siswa-siswi di sekolah lain, normalnya ketiga siswanya itu harus bisa membaca. Namun faktanya, ketiganya belum bisa membaca.

"Ketiganya belum bisa membaca. Bisa membaca hanya namanya sendiri," kata Edi.

"Di sini mereka tinggal dengan neneknya. Kalau dibawa ke luar daerah maka neneknya akan kesepian. Apalagi ibunya sudah meninggal tahun 2014, sementara bapaknya pergi tanpa kabar," kata Edi.

Edi berharap, meskipun muridnya dapat dihitung dengan jari tetapi mereka tetap berhak mendapatkan pendidikan yang sama dari pemerintah seperti siswa lainnya.

"Meskipun muridnya sedikit mereka berhak mendapatkan pendidikan yang sama seperti anak-anak lainnya yang tinggal di perkotaan," jelas Edi.

Ia juga mengharapkan Pemkab Madiun peduli terhadap warga yang bermukim di Draji dan Seran. Kepedulian itu dapat berupa memberikan keterampilan sablon atau jahit.

"Biasanya kalau pelajaran tidak nyantol kalau dikasih pelatihan cepat bisa," katanya.

Agar warga bersemangat, kata Edi, penduduk setempat harus diberikan kesejahteraan.

Pasalnya, saat ini untuk biaya makan saja warga susah, apalagi ditambah harga-harga mahal. Untuk biaya transportasi ojek dari dusun ke kota kecamatan membayar Rp 50.000.

Sementara penghasilan sehari-hari sebagai karyawan pabrik upahnya hanya Rp 25.000 saja per hari.  Kondisi itu diperparah dengan akses jalan ke lokasi yang susah dan penerangan listrik yang mengandalkan kincir angin. 

https://regional.kompas.com/read/2018/11/27/20511241/kisah-edi-bertahan-ajar-3-murid-tersisa-di-sekolah-yang-nyaris-roboh

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke