Salin Artikel

Kisah Bondan, Siswa SMA yang Tak Malu Jajakan Cabai Saat Bersekolah

Tak terkecuali Bondan Kohar Ali (17), warga Dusun Bogor, Desa Playen, langsung memasukkan gawainya ke saku celana cokelat.

Tak seperti anak lainnya yang asyik bercanda dan memainkan gawainya, Bondan melepaskan baju dan memasukkannya ke tas sekolahnya yang berwarena cokelat lusuh.

Di sela beberapa temannya yang bersendang gurau, Bondan menghitung beberapa bungkus cabai yang sudah dikemas dalam plastik kecil, yang ditempatkan bersama beberapa buku sekolahnya.

Lalu dia melangkah meninggalkan teman-temannya sambil sesekali menjawab ledekan beberapa teman wanitanya. Melangkah gontai memasuki salah satu rumah warga yang berada tak jauh dari sekolahnya.

"Ibu niki kulo saking SMA Muhammadiyah bade nawakke lombok (Ibu saya siswa SMA Muhammadiyah mau menjual cabai)," ucapnya.

Pemilik rumah, Dwi Mulyani yang mengetahui siswa SMA menjual cabai pun kaget, dan menanyakan dari mana memperoleh cabai yang dikemas kecil seharga Rp 2.000 per bungkus itu.

"Niki halal, mboten le nyolong. Kulo tumbas saking bakul ten pasar lajeng kulo sade (Ini halal, bukan hasil mencuri, saya membeli dari penjual di pasar, lalu saya jual kembali," katanya.

Dwi yang merasa simpati lantas memborong semua cabai yang dibawa remaja itu. Awalnya, Bondan mengira jumlahnya 13 bungkus, dan Dwi pun membayar Rp 26.000. Namun setelah dihitung ulang, ternyata 12 bungkus cabai.

Bondan mengembalikan kelebihan uang penjualan, namun ditolak Dwi.

Bantu orang tua

Anak pertama dari pasangan Wagino dan Suminah ini mengaku berjualan cabai adalah inisiatifnya sendiri untuk memenuhi kebutuhan sekolah. Uang hasil penjualannya ia tabungkan dan sebagian diberikan kepada orang tua.

"Saya membeli cabai di pasar. Biasanya beli satu kilo cabai rawit putih, dan setengah kilo cabai rawit merah, dan membungkusnya kecil-kecil. Yang kecil Rp 1.000 per bungkus biasanya jadi 60 bungkus. Dan, jika membungkusnya agak gede dijual Rp 2.000, biasanya jadi 23 bungkus," jelas Bondan.

Dalam sehari, barang dagangannya tersebut selalu habis. Penghasilan yang didapat kurang lebih Rp 60.000.

Setelah sedikit bercerita, lalu Bondan pamit untuk pulang. Biasanya ia mengayuh sepeda ontel kecilnya sejauh 5 kilometer. Namun hari ini, dia membonceng tetangganya.

Kompas.com pun mengikuti Bondan pulang ke rumahnya di Dusun Bogor. Di rumah itu, dia tinggal bersama kedua orang tuanya dan seorang adiknya, Aziz Fuad Hasan (11) yang mengalami autis.

Adik yang autis

Saat Bondan pulang, kedua orang tuanya masih berada di ladang. Aziz ditinggal sendiri di dalam rumah limasan sederhana dan sesekali memukul benda-benda yang ada di rumah.

Tepat di depan rumah ada seekor sapi besar yang diikatkan di pohon jati.

Setelah selesai mengganti seragam, Bondan lantas menyapa adiknya yang begitu aktif. Sesekali Bondan mengejar adiknya yang keluar rumah.

Bondan kemudian mengambil dua bungkus cabai lalu membawanya ke teras beralas tanah. Plastik kecil sudah disiapkan untuk mengemas cabai yang akan dijajakan ke rumah penduduk pada sore harinya.

"Selain cabai biasanya saya menjual bawang merah dan kembang turi (bunga turi) yang saya dapatkan dari kebun. Tetapi saya tidak mencuri lho, saya minta kepada pemiliknya, kalau boleh ya dipetik kalau tidak, cari yang lain," katanya.

Berjualan cabai ini baru dilakukan dua minggu belakangan. Selain berjualan rempah-rempah, setiap akhir pekan Bondan mengamen di beberapa titik di sekitar kota Wonosari, menggunakan ecrek-ecrek yang terbuat dari kayu dan tutup botol.

"Sik penting halal, Mas (yang penting halal)," imbuh dia.

Tak lama kemudian, Suminah datang dan segera berganti pakaian yang lusuh karena habis menyeberang sungai saat pulang dari ladang.

Keluarga miskin

Sambil memandang putranya yang tengah mengemasi cabai, dia pun bercerita sudah melarang putranya berjualan.

Namun karena melihat kondisi kedua orang tuanya, Bondan berinisiatif membantu perekonomian keluarga.

Ayahnya, Wagino sempat menjadi tukang ojek. Namun setelah kecelakaan pada tahun 2008 lalu, Wagino lantas berhenti bekerja.

Suminah sendiri sekarang berjualan sayur setiap pagi berkeliling di seputaran kota Wonosari.

"Sebagai orang tua sebenarnya tidak tega, tetapi mau bagaimana itu keinginan dia," katanya.

Memang beban yang ditanggung orang tua Bondan cukup berat. Dengan penghasilan tidak menentu, mereka harus membeli obat syaraf dan obat otak bagi Aziz yang mengalami autis.

Setiap bulan, mereka harus mengeluarkan uang Rp 450.000. Meski Aziz punya BPJS, namun obat tersebut tidak ditanggung.

"Seharusnya obat dibeli setiap bulan, tetapi kondisi keuangan saya membeli obat hanya saat kejang saja," imbuhnya.

Tetap rajin belajar

Kepala SMA Muhammadiyah Wonosari, Wahyudi mengatakan, pihak sekolah tidak mempermasalahkan anak didiknya bersekolah sambil berjualan. Hal ini untuk menambah kemandirian para siswa.

"Tidak masalah, karena bisa belajar mandiri, yang terpenting tidak melupakan tugasnya sebagai pelajar," katanya.

Dikatakannya, selama ini Bondan bisa mengikuti kegiatan belajar dengan baik tanpa terganggu dengan kegiatan sampingannya.

"Rajin juga dan bisa mengikuti pelajaran layaknya siswa lainnya," imbuhnya.

Salah seorang teman Bondan, Erika Yeni Risitiyanti mengapresiasi Bondan yang mampu mandiri. Bahkan Bondan tak malu menjajakan barang dagangannya kepada teman sekelasnya.

"Dia tidak malu, saya salut. Teman-teman juga sering membeli dagangan Bondan," pungkasnya.

https://regional.kompas.com/read/2018/04/19/20102761/kisah-bondan-siswa-sma-yang-tak-malu-jajakan-cabai-saat-bersekolah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke