Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tradisi Purun Pertahankan Kelestarian Alam

Kompas.com - 30/11/2016, 15:19 WIB
Irma Tambunan

Penulis

KOMPAS - Dengan cekatan, jari-jari Yusni (54) menganyam helai demi helai batang purun tikus pipih yang ada di tangannya. Semua dilakukannya sembari bersenda-gurau dengan rekannya, Yauma (82), di lantai dasar rumah panggung miliknya. Walau sambil berbincang, hasil anyaman purun ciptaannya tampak rapi dan tertata.

Purun tikus (Eleocharis dulcis) merupakan sejenis tumbuhan semak yang hanya tumbuh di rawa gambut terbuka. Batangnya tegak, tidak bercabang, dengan warna hijau mengilat sepanjang 50 sampai 200 sentimeter. Purun cocok dijadikan bahan baku kerajinan karena dianggap tahan lama, kuat, dan nyaman saat digunakan.

Kemampuan Yusni menganyam purun sudah ia dapatkan sejak berusia tujuh tahun. Kala itu, hampir semua anak perempuan di Desa Menang Raya, Kecamatan Pedamaran, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, mahir merajut batang purun. "Saya mendapatkan kemampuan ini dari ibu dan nenek saya. Kemudian saya ajarkan kepada anak saya, demikian juga seterusnya," katanya, Jumat (18/11/2016).

Saat itu, ungkap Yusni, semua perempuan di desa hanya mengenyam pendidikan seadanya dengan tingkatan tertinggi sekolah dasar. Menjadi perajin purun menjadi satu-satunya mata pencaharian. Setiap perempuan harus pintar menganyam agar dapat membantu perekonomian keluarga.

Pesan ini juga tertuang dalam lagu khas masyarakat Pedamaran berjudul "Berambak" yang diciptakan Suparman, seniman setempat. Lagu ini mengandung makna ajakan kepada gadis-gadis di daerah Pedamaran untuk mengisi kegiatan dengan hal positif. salah satunya menganyam karena dapat membantu perekonomian keluarga.

Yusni menjelaskan, agar dapat dianyam, purun harus diolah terlebih dahulu. Tahapan pertama, batang purun dijemur, lalu ditumpuk, dan diikat karena kadar air purun cukup tinggi, yakni lebih dari 90 persen. Proses pengeringannya membutuhkan waktu 3 hingga 4 hari. Setelah dikeringkan, bagian kulit di pangkal batang purun dibuang.

Purun lalu ditumbuk dengan kayu antan agar bentuknya menjadi pipih. Ukuran batang purun harus sesuai agar saat dipipihkan ukuran purun tidak terlalu besar atau sebaliknya. Ukuran purun akan memengaruhi tampilan tikar. Purun yang telah dipipihkan diwarnai menjadi merah, ungu, kuning, atau hijau, dengan cara direbus dalam air pewarna lalu dijemur lagi hingga kering. Setelah kering purun siap dianyam.

Yusni menjelaskan, tikar purun dibuat dalam berbagai motif. Motif yang paling sering digunakan, yakni motif lulup, puteh (polos), sisik salak, dan poleng kangkang. Setiap tikar memiliki harga bervariasi dengan harga termahal Rp 100.000 per lembar. Harga tikar disesuaikan dengan tingkat kesulitan dari setiap motif.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com