Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Potret Maritim di Kepulauan Pongok dan Seember Kepiting untuk Makan Siang

Kompas.com - 11/06/2016, 17:58 WIB
Heru Dahnur

Penulis

Keturunan Bugis dan Buton

Tradisi dan kemampuan melaut yang dimiliki masyarakat Kecamatan Kepulauan Pongok tak lepas dari warisan para leluhur.

Orang-orang Bugis dan Buton, Sulawesi, yang terkenal sebagai orang-orang lautnya Nusantara sejak zaman nenek moyang telah menyinggahi Kepulauan Pongok dan menetap turun-temurun.

Seiring perkembangan zaman, mulai terjadi percampuran perkawinan dengan warga keturunan Jawa dan Sumatera.

Sempat tercatat pula ada sejumlah orang-orang Tionghoa di Kepulauan Pongok. Namun, keberadaan Tionghoa tidak berlangsung lama karena mereka lebih memilih tinggal di wilayah daratan Bangka Selatan dan Belitung Timur.

Meskipun terjadi percampuran, masyarakat dari suku Bugis paling mendominasi wilayah Kecamatan Kepulauan Pongok. Di Desa Celagen, misalnya, hampir 90 persen penduduknya keturunan asli Bugis.

KOMPAS.com/HERU DAHNUR Jalan Pemilu di salah satu sudut Kecamatan Kepulauan Pongok, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Pulau Pemilu

Kecamatan Kepulauan Pongok menjadi satu-satunya daerah di Indonesia yang mendeklarasikan diri sebagai Pulau Pemilu. Masyarakat bersepakat agar kecamatan ini menjadi daerah percontohan dan studi terkait kepemiluan.

Tindak lanjut dari komitmen masyarakat di antaranya dengan memasang plang nama jalan bernuansa pemilu, seperti Jalan Pemilu dan Jalan Pengawasan yang diresmikan awal Juni 2016.

Pelantikan dan bimbingan teknis panitia pengawas se-Provinsi Kepulauan Bangka Belitung juga pernah dilakukan di Pulau Pemilu.

Masyarakat pun mulai berbenah menyambut kunjungan banyak orang. Seperti dengan menyiapkan rumah-rumah penduduk sebagai homestay.

Terkendala listrik dan es batu

Mirip dengan persoalan daerah-daerah pulau terluar di Indonesia, Kecamatan Kepulauan Pongok terkendala oleh pasokan energi listrik dan es batu untuk mengawetkan ikan.

Kepala Desa Pongok Abu Hasan menyebutkan, masyarakat hanya menikmati listrik pada malam hari selama enam jam setiap hari.

Pembangkit listrik bantuan pemerintah berupa panel tenaga surya (solar cell) hanya mampu menjangkau 100 rumah. Itu pun tak mampu berdaya maksimal bilamana musim penghujan tiba.

Kondisi ini membuat masyarakat mengupayakan sendiri listrik dengan menggunakan mesin genset. Tentunya ini membutuhkan biaya besar karena menghabiskan bahan bakar solar sebanyak 2 liter setiap malam.

"Imbas dari terbatasnya listrik, maka tak ada yang membuat batu es," kata Abu Hasan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com