PANGKALPINANG, KOMPAS.com - Jika Anda ingin melihat lebih dekat corak kehidupan masyarakat maritim di Indonesia, salah satu pilihannya berkunjunglah ke Kecamatan Kepulauan Pongok, Kabupaten Bangka Selatan, Kepulauan Bangka Belitung.
Kecamatan yang memiliki dua desa, yakni Desa Pongok dan Desa Celagen, ini dihuni 5.000 jiwa. Sebagian besar penduduk bekerja sebagai nelayan.
Kecamatan Kepulauan Pongok identik dengan daerah kepulauan (archipelago). Dua desa di kecamatan ini pun terpisah oleh laut selebar hampir satu kilometer.
Untuk saling mengunjungi, masyarakat setempat harus menumpang perahu bermotor dengan tarif Rp 2.000 sekali jalan.
Secara geografis, Kecamatan Kepulauan Pongok berada di tengah-tengah laut yang memisahkan Kabupaten Bangka Selatan dan Belitung Timur.
Karena masuk wilayah administratif Bangka Selatan, maka kecamatan ini lebih sering dikunjungi melalui Pelabuhan Sadai. Pelabuhan ini berjarak kurang lebih dua jam perjalanan dari Kota Pangkalpinang, ibu kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Dari Pelabuhan Sadai menuju Kepulauan Pongok bisa ditempuh dengan perahu kayu, ongkosnya Rp 50.000 sekali jalan.
Dalam cuaca cerah, perjalanan laut akan memakan waktu tiga jam lamanya. Kapal kayu ini, selain berfungsi mengangkut penumpang, juga digunakan untuk mengangkut kebutuhan pokok dan bahan bakar untuk masyarakat Kepulauan Pongok.
Kaya hasil laut
Sebagai wilayah kepulauan, Kepulauan Pongok memiliki beragam kekayaan hasil laut. Berbagai ikan segar di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung umumnya didatangkan dari wilayah ini.
Saban hari, ada 10 ton hasil laut berupa ikan kerapu, kakap, kepiting, rumput laut dan cumi yang didatangkan dari daerah ini.
Hasil laut yang melimpah ini memenuhi restoran-restoran seafood yang kian menjamur di Kota Pangkalpinang.
"Kami biasanya menangkap ikan untuk kebutuhan keluarga dulu. Kalau dapat banyak, sisanya dijual atau dibuat ikan asin," ujar Syafri.
Bapak tiga anak ini juga berprofesi sebagai nelayan. Ia turun melaut menggunakan kapal bagan dengan anggota 3-4 orang nelayan.
"Kalau musim panen, sekali menebar jaring bisa langsung dapat banyak. Kalau sepi bisa empat sampai lima kali, pulangnya juga lama," ujarnya.
Jika tidak melaut, Syafri biasanya menangkap ikan dengan memasang jaring di hutan bakau tidak jauh di belakang rumahnya.
Jaring ini dipasang malam hari dan diangkat keesokan paginya. Biasanya sebanyak satu ember ikan karang, seukuran telapak tangan akan terjerat pada jaring. Ikan-ikan segar ini dijadikan menu utama yang dihidangkan di meja makan.
Tradisi dan kemampuan melaut yang dimiliki masyarakat Kecamatan Kepulauan Pongok tak lepas dari warisan para leluhur.
Orang-orang Bugis dan Buton, Sulawesi, yang terkenal sebagai orang-orang lautnya Nusantara sejak zaman nenek moyang telah menyinggahi Kepulauan Pongok dan menetap turun-temurun.
Seiring perkembangan zaman, mulai terjadi percampuran perkawinan dengan warga keturunan Jawa dan Sumatera.
Sempat tercatat pula ada sejumlah orang-orang Tionghoa di Kepulauan Pongok. Namun, keberadaan Tionghoa tidak berlangsung lama karena mereka lebih memilih tinggal di wilayah daratan Bangka Selatan dan Belitung Timur.
Meskipun terjadi percampuran, masyarakat dari suku Bugis paling mendominasi wilayah Kecamatan Kepulauan Pongok. Di Desa Celagen, misalnya, hampir 90 persen penduduknya keturunan asli Bugis.
Kecamatan Kepulauan Pongok menjadi satu-satunya daerah di Indonesia yang mendeklarasikan diri sebagai Pulau Pemilu. Masyarakat bersepakat agar kecamatan ini menjadi daerah percontohan dan studi terkait kepemiluan.
Tindak lanjut dari komitmen masyarakat di antaranya dengan memasang plang nama jalan bernuansa pemilu, seperti Jalan Pemilu dan Jalan Pengawasan yang diresmikan awal Juni 2016.
Pelantikan dan bimbingan teknis panitia pengawas se-Provinsi Kepulauan Bangka Belitung juga pernah dilakukan di Pulau Pemilu.
Masyarakat pun mulai berbenah menyambut kunjungan banyak orang. Seperti dengan menyiapkan rumah-rumah penduduk sebagai homestay.
Terkendala listrik dan es batu
Mirip dengan persoalan daerah-daerah pulau terluar di Indonesia, Kecamatan Kepulauan Pongok terkendala oleh pasokan energi listrik dan es batu untuk mengawetkan ikan.
Kepala Desa Pongok Abu Hasan menyebutkan, masyarakat hanya menikmati listrik pada malam hari selama enam jam setiap hari.
Pembangkit listrik bantuan pemerintah berupa panel tenaga surya (solar cell) hanya mampu menjangkau 100 rumah. Itu pun tak mampu berdaya maksimal bilamana musim penghujan tiba.
Kondisi ini membuat masyarakat mengupayakan sendiri listrik dengan menggunakan mesin genset. Tentunya ini membutuhkan biaya besar karena menghabiskan bahan bakar solar sebanyak 2 liter setiap malam.
"Imbas dari terbatasnya listrik, maka tak ada yang membuat batu es," kata Abu Hasan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.