Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Polemik soal Sabda Raja Masih Terjadi

Kompas.com - 11/05/2015, 16:07 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS — Meskipun Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Bawono X sudah memberi penjelasan ihwal sabda raja dan dhawuh (perintah) raja yang dikeluarkannya, polemik terkait sabda raja tersebut masih terjadi. Sejumlah kelompok masyarakat di Yogyakarta mempertanyakan keputusan Sultan menghapus gelar Kalifatullah yang sebelumnya melekat pada nama Raja Keraton Yogyakarta.

Minggu (10/5/2015), puluhan orang yang tergabung dalam Jamaah Nahdliyin Mataram berziarah dan berdoa di makam Raja-raja Mataram Islam di Kotagede, Yogyakarta. Dalam kesempatan itu, mereka juga mengeluarkan pernyataan sikap, mempertanyakan keputusan Sultan yang menghapus gelar Kalifatullah.

"Gelar Kalifatullah yang melekat pada nama Raja Keraton Yogyakarta merupakan bagian tak terpisahkan dari dunia batin dan kebanggaan masyarakat Jawa-Islam sehingga kami mempertanyakan kenapa gelar itu dihapus," kata koordinator Jamaah Nahdliyin Mataram, Mohammad Alfuniam.

Seperti diberitakan, pada Jumat (8/5/2015), Sultan menjelaskan ihwal sabda raja dan dhawuh raja kepada masyarakat di rumah putri sulungnya, Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi. Acara itu dipandu oleh fasilitator pemberdayaan masyarakat Fajar Sudarwo. Kehadiran Fajar dalam acara itu bukan sebagai peneliti senior Institute for Research and Empowerment Yogyakarta sebagaimana diberitakan sebelumnya.

Sabda raja itu berisi perubahan nama Sultan HB X menjadi Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono Ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati Ing Ngalaga Langgenging Bawono Langgeng Langgenging Tata Panatagama.

Sebelumnya, nama lengkap Sultan HB X adalah Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senapati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sadasa Ing Ngayogyakarto Hadiningrat. Gelar Kalifatullah, yang bermakna wakil Allah, dihapus.

Alfuniam mengatakan, secara historis, sosiologis, dan kultural, Keraton Yogyakarta adalah penerus Kerajaan Mataram Islam yang membawa semangat Islam sebagai rahmatan lil 'alamin (rahmat bagi seluruh alam). Semangat Islam yang melekat pada keraton itu dinilai mampu membawa semangat toleransi dan menghargai perbedaan serta melestarikan kebudayaan sehingga harus dipertahankan.

"Penghapusan gelar Kalifatullah telah menghapuskan fondasi batin dan karakter Islam-Jawa dari Keraton Yogyakarta yang selama ini mampu mengayomi, menyelaraskan, dan menjaga kebudayaan Islam-Jawa," katanya.

Ketua Forum Persaudaraan Umat Beragama Kiai Haji Abdul Muhaimin mengatakan, gelar lama Raja Keraton Yogyakarta, yang dipakai sejak Sultan Hamengku Buwono I, melambangkan tiga peran, yakni pemimpin negara, pemimpin budaya, dan pemimpin agama. Jika gelar Kalifatullah dihilangkan, peran raja akan berkurang.

"Kalifatullah itu puncak gelar Sultan. Kalau gelar itu dihilangkan, kebesaran sejarah, filosofi, dan historis yang dimiliki Yogyakarta juga akan hilang," katanya.

Soal penghapusan gelar Kalifatulah, dalam pertemuan dengan warga, Sultan hanya mengatakan, nama baru yang dipakainya merupakan perintah dari Tuhan melalui para leluhurnya. "Saya sekadar menyampaikan dhawuh," katanya. (HRS) Di sekitar sungai besar, seperti di Kabupaten Donggala dan Kota Palu, lanjut Ahmad, pemerintah mengeluarkan izin usaha pertambangan. Hal itu sangat tidak pro-lingkungan. (VDL)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com