Kepada Kompas.com, Syafii mengatakan, caleg membeli suara rakyat tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Alasannya karena semua caleg ingin menang, dan persaingan kian ketat. Untuk menang —karena ada caleg yang membeli suara—, maka caleg lain terpaksa harus ikut membeli suara juga.
“Caleg tidak bisa disalahkan jika beli suara rakyat karena dia juga terimpit oleh caleg lainnya,” katanya, Senin (31/3/2014).
Namun, praktik jual beli suara itu setidaknya bisa diminimalisasi oleh kalangan masyarakat yang sudah terdidik. Sebab, harapan demokrasi berjalan dengan baik, hanya bisa dilakukan oleh insan terdidik. Jika insan terdidik ikut-ikutan bertransaksi politik, mantan anggota DPR RI ini pesimistis demokrasi bisa berjalan dengan baik.
“Money politic itu tidak bisa dihilangkan, tetapi bisa direm oleh mereka dari kalangan terdidik dengan cara memberikan pemahaman kepada mereka yang awam,” katanya.
Diakuinya, kondisi demokrasi saat ini sudah semakin kacau. Hal itu dipicu dengan adanya perubahan sistem politik dari pemilu sebelumnya.
Syafii menjabarkan, pemilu tahun 1997 dan tahun 1999, situasinya tidak seperti saat ini. Kampanye yang dilakukan oleh parpol dan caleg, masih dibiayai oleh masyarakat. Saat ini, kenyataannya sudah berbeda jauh.
“Penyebabnya karena perubahan sistem politik dari nomor urut pada kompetisi penuh, sehingga semua caleg berusaha meraih suara sebanyak-banyak dengan cara membeli suara rakyat,” tandasnya.
Salah satu sumbu politik uang, menurut Syafii, diawali dari pemilihan kepala desa (pilkades). Setiap suksesi pilkades, selalu dimenangkan oleh kekuatan yang memiliki modal besar. Hal itu berimbas pada suksesi lainnya.
“Sumbu money politic salah satunya dari pilkades. Jika sumbunya tidak dipadamkan, mustahil money politic bisa padam,” ungkapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.