KOMPAS.com - Banyak orang yang hanya mengingat Boven Digoel sebagai bagian dari buku sejarah yang digunakan pihak Kolonial Belanda sebagai tempat pembuangan tokoh-tokoh kemerdekaan.
Di masa Belanda, Kabupaten Boven Digoel, yang dikenal dengan sebutan Digoel Atas, merupakan lokasi pengasingan tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia.
Catatan Ensiklopedi Nasional Indonesia, jilid 4, menyebutkan, Digoel disiapkan dengan tergesa-gesa oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menampung tawanan pemberontakan November 1926.
Area kamp konsentrasi sebagai tempat pembuangan (interneeringskamp) dibangun pada tanggal 27 Januari 1927 oleh Kapten Infanteri L. Th. Becking dengan mengambil lokasi di tepi Sungai Digoel yang dikenal dengan nama Tanah Merah.
Baca juga: Aspirasi dari Boven Digoel: Menunggu Jokowi Resmikan PLBN Yetetkun...
Boven Digoel kemudian digunakan sebagai lokasi pembuangan pemimpin-pemimpin nasional yang jumlahnya hingga sekitar 1.308 orang.
Lokasi ini terletak di tepi Sungai DigoelHilir, Tanah Papua bagian selatan yang merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten Merauke, Papua, di ujung timur Indonesia.
Rombongan tahanan datang dari Jawa dengan menggunakan kapal “Fomalhout”, “Segah” dan “Reteh” dengan rute pelayaran Surabaya-Makasar-Ambon.
Dari Pelabuhan Muara Digoel, orang-orang buangan dibawa menggunakan perahu motor ke kamp konsentrasi Boven Digoel.
Kamp konsentrasi di Tanah Merah ini dibangun oleh geinterneerden (orang-orang buangan) yang datang pertama di Boven Digoel.
Pada awalnya geinterneerden tersebut tinggal di 14 los (rumah darurat) yang masing-masing mempunyai panjang sekitar 30 meter dengan atap rumbia.
Para geinterneerden yang membawa anak-istri tinggal dalam los yang sama, sedangkan para geinterneerden yang bujangan dikumpulkan pada los yang lain.
Baca juga: Pawai Obor HUT RI Dikawal Tentara Bersenjata di Boven Digoel...
Para geinterneerden yang datang pertama tersebut kemudian membangun perkampungan yang disebut sebagai Kampung A.
Para geinterneerden yang terus berdatangan mendorong munculnya kampung-kampung yang lain yang diberi nama Kampung B, Kampung C, Kampung D, Kampung E, Kampung F dan Kampung G yang semakin menjauh ke atas dari tepian sungai.
Rumah-rumah yang lebih permanen dibangun dengan atap dari seng, dinding dari kayu nibung dan berlantai tanah.