Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah The Sin Nio Pejuang Kemerdekaan Asal Wonosobo, Dijuluki "Mulan Indonesia", Ubah Nama Jadi Pria

Kompas.com - 18/08/2023, 06:26 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - The Sin Nio (baca: Teh Sin Nyo) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia asal Wonosobo, Jawa Tengah, yang dijuluki 'Mulan Indonesia'. Perempuan peranakan Tionghoa ini mengubah namanya menjadi Mochamad Moeksin demi bisa ikut bergerilya menggunakan parang atau bambu runcing melawan tentara Belanda.

Namun, di usia senja, The Sin Nio terlunta-lunta dalam memperoleh pengakuan atas masa lalunya sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia. Sin Nio sempat menjadi gelandangan di Jakarta tanpa tempat tinggal yang jelas, sebelum akhirnya menempati gubuk liar di bantaran rel kereta.

Belakangan ini, Komnas Perempuan mewacanakan Sin Nio menjadi seorang pahlawan nasional, sementara keturunannya mengatakan "nenek sangat mencintai negara ini" dan status pahlawan atau pejuang kemerdekaan Indonesia "sudah tidak penting lagi".

Baca juga: Berkunjung ke Kampung Peneleh Surabaya Tempat Kelahiran Presiden Soekarno

Akan tetapi, menurut pemerhati budaya Tionghoa, kisah-kisah seperti ini perlu terus diangkat kembali ke permukaan sebagai upaya "memuliakan semua orang dengan etnis apapun yang berjuang, berkontribusi untuk kemerdekaan Indonesia".

Pertengahan 1983, Rosalia Sulistiawati begitu riang bisa menginjakkan kaki di Jakarta untuk pertama kalinya. Bocah tujuh tahun itu akhirnya bisa menyaksikan hiruk pikuk orang dan kendaraan berlalu lalang menggilas aspal hitam yang mulus.

Rosalia saat itu datang berempat bersama kakaknya, Caecilia Rosy Susilowati, adiknya, dan ayahnya, Tjoa Bing Liang/Christophorus Suyono. Yang disebut terakhir adalah anak tertua The Sin Nio.

Langkah mereka berhenti di sebuah gubuk liar yang bangunannya didominasi papan kayu. Tempat tinggal yang Rosalia sebut "bedeng" itu berada pinggiran rel kereta, di kawasan Stasiun Juanda, Jakarta Pusat.

Baca juga: Soekarno dan Sandiwara Kelimutu di Ende

Pasukan Belanda pada saat Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948 di Sumatera Barat.Wikimedia Commons/Huisman, B Pasukan Belanda pada saat Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948 di Sumatera Barat.
Dari balik pintu, perempuan tua yang rambutnya sudah keperakan, menyambut dengan senyum. Rosalia untuk pertama kalinya dalam hidupnya bertemu dengan neneknya, The Sin Nio.

Perasaan Rosalia saat itu campur aduk. Ada takut, heran dan aneh. Sampai ketika perempuan tua kurus yang ia panggil "Oma Sin Nio" mendekap erat - perasaan Rosalia menjadi lebih tenang.

"Ya, senang karena saya boleh dibilang tidak pernah bertemu," kenang Rosalia yang tahun ini berusia 49 tahun.

Sin Nio tinggal di bedeng berukuran 2x3 meter "seperti kontrakan, tapi tidak selayaknya rumah". Di ruangan itu terdapat tempat tidur sekaligus dapur. Bagian atas ruangan ini juga ditempati oleh orang lain yang ketika berbisik bisa terdengar sampai bawah.

Menginap beberapa malam di bedeng ini Rosalia tidak pernah bisa tidur nyenyak, karena setiap kali kereta api lewat seluruh bangunan bergetar seperti mau runtuh.

Baca juga: Soekarno di Penjara Sukamiskin dan Pesan Melalui Telur Asin

Jika ingin mandi cuci kakus, semua penghuni gubuk liar di sepanjang bantaran rel kereta ini harus keluar menuju kamar mandi umum.

Rosalia mengatakan masih punya ingatan samar tentang Sin Nio: Wajah penuh kerutan, rambut pendek, bertubuh kecil, dan berkulit hitam.

"Untuk ukuran orang Tionghoa, Oma [berkulit] hitam. Mungkin karena memperjuangkan pensiunan itu, Oma jadi lebih banyak di jalan, kepanasan," kata Rosalia.

Sementara itu, Rosy, kakak Rosalia, masih ingat betul dengan keseharian Sin Nio yang lebih sering menggunakan kain sarung. "Tapi kalau lagi keluar dari rumah, baru pakai celana panjang," katanya, sambil menambahkan.

"Kita waktu kecil nggak terlalu banyak keinginan tahunya itu. Kalau kami dulu, boleh dibilang rasa penasaran, tapi nggak berani bertanya. Paling yang saya ingat, cuma tanya kok tinggalnya di tempat begini?" kata cucu tertua Sin Nio itu.

Sejak 1973 - tahun Rosalia lahir dan Rosy masih berusia satu tahun - Sin Nio memutuskan pergi ke Jakarta, meninggalkan keluarganya di Wonosobo, Jawa Tengah.

Bertahun-tahun, ia berjibaku dengan birokrasi untuk memperoleh status veteran perang sekaligus uang tunjangan.

Baca juga: Soekarno di Penjara Sukamiskin dan Pesan Melalui Telur Asin

'Mengubah nama jadi laki-laki, modal golok lawan Belanda'

Caecilia Rosy Susilowati menunjukkan foto The Sin Nio. Menurutnya Sin Nio kemungkinan tidak punya gaun perempuan karena lebih sering pakai kain sarung dan celana panjang.dok Rosy via BBC Indonesia Caecilia Rosy Susilowati menunjukkan foto The Sin Nio. Menurutnya Sin Nio kemungkinan tidak punya gaun perempuan karena lebih sering pakai kain sarung dan celana panjang.
Jauh sebelum itu, pada era revolusi, kampung halaman Sin Nio di Wonosobo tidak luput dari target serangan Belanda.

"Oma ini awalnya ikut membantu di bagian logistik, membantu menyediakan makan untuk prajurit-prajurit. Jadi coba berbaur dengan orang-orang pribumi untuk membantu perbekalannya," kata Rosalia.

Tapi, nampaknya Sin Nio tidak puas hanya mengambil peran di dapur, sementara pejuang lainnya menyabung nyawa melawan Belanda.

"Yang saya dengar, setelah ikut angkat senjata itu, Oma menjadi laki-laki. Penampilan selayaknya prajurit laki-laki."

"Rambutnya pendek. Namanya jadi sudah bukan jadi Oma Sin lagi, tapi jadi Mochamad Moeksin," kata Rosalia yang mendengar cerita dari ayahnya.

Baca juga: Mengenal Cindy Adams, Penulis Buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat

Disadur dari artikel Azmi Abubakar, pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, Sin Nio menjadi satu-satunya tentara perempuan di Kompi 1 Batalion 4 Resimen 18.

Soal nyali, jangan ditanya. Sin Nio hanya bermodal golok, tombak atau bambu runcing untuk melancarkan serangan gerilya. Ia baru memiliki senjata api jenis Lee-Enfield (LE) setelah berhasil merampasnya dari pasukan Belanda.

Sin Nio juga pernah ditempatkan di bagian medis untuk merawat tentara-tentara yang terluka. "Sin Nio berhasil melaksanakan semua tugas yang dipercayakan kepadanya dengan baik," kata Azmi yang mengumpulkan dokumen tentang Sin Nio termasuk dari Majalah Sarinah edisi Agustus 1984.

Pada 1976, Sin Nio akhirnya memperoleh pengakuan sebagai pejuang yang turut aktif mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Surat pengakuan itu dikeluarkan Mahkamah Militer Yogyakarta.

Namun, SK sebagai veteran perang tidak diiringi dengan hak pensiun. Bertahun-tahun, Sin Nio hidup menggelandang karena perbekalan sudah habis.

Baca juga: Busana Adat Suami Istri Asal Banyuwangi Terpilih Jadi Terbaik Ketiga Saat Upacara di Istana

Uang pensiun sebesar Rp28.000/bulan baru cair beberapa tahun kemudian. Sin Nio memilih untuk hidup di gubuk liar, dan sebagian uang pensiunannya dikirim ke keluarga, menurut Azmi.

Sin Nio juga pernah mendapat janji dari pemerintah untuk memperoleh tunjangan perumahan, tapi belum sempat terealisasi sampai akhirnya ia tutup usia pada 1985.

"Mak Sin sedang memperjuangkan hak-hak dia supaya dapat rumah. Paling kadang cerita, belum ada progres, masih diajukan, masih belum dapat info. Cuma itu saja," kata Rosy.

"Mulan Indonesia"

Ilustrasi pahlawan Indonesiafreepik.com/ YusufSangdes Ilustrasi pahlawan Indonesia
Rosy mengaku teringat tokoh Mulan dalam film ketika mengenang sosok mendiang neneknya.

"Jadi ingat nenek. Nenek dulu seperti itu," katanya.

Menurut Rosy, tindakan neneknya yang "terjun langsung ke kawasan laki-laki" untuk bertempur bukanlah hal umum bagi perempuan dalam tradisi Tionghoa.

"Hal sesuatu yang dibilang tabu kalau perempuan itu ya. Saya melihat [umumnya] perempuan [Tionghoa] lebih kayak Jawa lah, tradisinya. Mungkin nenek agak berbeda sedikit," kata Rosy.

Perubahan nama dari The Sin Nio menjadi Mochamad Moeksin juga kerap dibahas dalam keluarga besar.

"Kadang kan kalau nama Tionghoa [yang diubah] ke nama Indonesia sedikit disamakan. Misalkan Liang jadi Liana. Karena namanya Sin Nio, dia ambil namanya Moeksin. Bayangan saya seperti itu. Agar bisa salah satunya, ikut perang," tambah Rosy.

Baca juga: Pemprov Sumbar Usulkan Syafii Maarif Jadi Pahlawan Nasional

Membayangkan sulitnya menjadi pejuang kemerdekaan keturunan Tionghoa

Baik Rosy dan Rosalia meyakini, Sin Nio kesulitan memperoleh pengakuan sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia karena statusnya sebagai peranakan Tionghoa. Padahal, Sin Nio begitu juga pejuang kemerdekaan lainnya yang terlibat perang melawan Belanda, rela mati demi negara.

"Ada kebanggaan, tapi sedih saya punya Oma sampai harus seperti ini. Yang ternyata hanya ingin pengakuan dari negara yang kayaknya susah, karena keturunan Tionghoa. Jadi mungkin beda perlakuan," kata Rosalia.

Keyakinan beda perlakuan terhadap veteran perang keturunan Tionghoa ini berdasarkan pengalaman Rosa semasa sekolah di era Orde Baru, yang kerap mendapat perundungan verbal: "Elu China perusak bangsa." Kata-kata itu, diakui Rosa, terngiang sampai sekarang.

"Kalau lihat itu sedih. Di negara sendiri, di mana saya dilahirkan di Indonesia, saya mengakui Pancasila, saya menghormati Merah-Putih. Tapi oleh beberapa teman, saya diperlakukan seperti itu."

Baca juga: Eks Napiter di Semarang Ziarahi Makam Pahlawan, Ungkapkan Permohonan Maaf Saat Momen HUT Ke-78 RI

"Bagi saya yang di-bully di sekolah, diperlakukan berbeda saja sudah sedih. Apalagi Oma yang istilahnya memperjuangkan haknya bertahun-tahun. Itu nggak kebayang sedihnya," kata Rosalia.

Diskriminasi juga dialami Rosy. Ia bercerita tentang sulitnya mendapat pendidikan hingga harus mengurus Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).

"Itu urusnya nggak gampang. Itu lebih dari lima tahun, baru dapat surat SBKRI-nya. Menjelang lulus kuliah baru dapat seperti buku paspor. Saya masih pegang," kata Rosy yang lahir di Indonesia.

"Sebagai cucu saja saya diperlakukan seperti itu, apalagi beliau. Zaman dulu kan nggak terlalu dipedulikan. Jadi, itu salah satu alasan mengubah nama dari Sin Nio menjadi Mochamad Moeksin. Bisa jadi," kata Rosy.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tak seperti Pemilu, Peminat PPK dan PPS di Pilkada Menurun

Tak seperti Pemilu, Peminat PPK dan PPS di Pilkada Menurun

Regional
Mengenal Megathrust dan Hubungannya dengan Potensi Gempa dan Tsunami di Indonesia

Mengenal Megathrust dan Hubungannya dengan Potensi Gempa dan Tsunami di Indonesia

Regional
Usai Kecelakaan Maut Subang, Tim Gabungan Cek Kelayakan Bus Pariwisata di Banyumas

Usai Kecelakaan Maut Subang, Tim Gabungan Cek Kelayakan Bus Pariwisata di Banyumas

Regional
Soal 'Study Tour', Gibran: Jangan Dihilangkan

Soal "Study Tour", Gibran: Jangan Dihilangkan

Regional
Kebakaran Rumah di Bantaran Rel Kereta, Gibran Bakal Salurankan Bantuan Meski Tak ber-KTP Solo

Kebakaran Rumah di Bantaran Rel Kereta, Gibran Bakal Salurankan Bantuan Meski Tak ber-KTP Solo

Regional
Usai dari Lebak, 1.500 Warga Baduy Lanjutkan Perjalanan  Bertemu Pj Gubernur Banten

Usai dari Lebak, 1.500 Warga Baduy Lanjutkan Perjalanan Bertemu Pj Gubernur Banten

Regional
Kasus Penyerangan di Montong Lombok Barat, 2 Orang Ditetapkan Tersangka

Kasus Penyerangan di Montong Lombok Barat, 2 Orang Ditetapkan Tersangka

Regional
Siswi SMA Diperkosa Ayah Tiri dan Kakek, Pelaku Ancam Bunuh Ibu Korban

Siswi SMA Diperkosa Ayah Tiri dan Kakek, Pelaku Ancam Bunuh Ibu Korban

Regional
Isi Ratusan Liter BBM Subsidi di Kapal, 2 Warga Labuan Bajo Ditangkap

Isi Ratusan Liter BBM Subsidi di Kapal, 2 Warga Labuan Bajo Ditangkap

Regional
Sakit, 7 Calon Jemaah Haji Embarkasi Solo Ditunda Berangkat ke Tanah Suci

Sakit, 7 Calon Jemaah Haji Embarkasi Solo Ditunda Berangkat ke Tanah Suci

Regional
Tabungan Rp 5 Juta Terbakar, Penjual Angkringan di Solo: Padahal buat Mengembangkan Usaha

Tabungan Rp 5 Juta Terbakar, Penjual Angkringan di Solo: Padahal buat Mengembangkan Usaha

Regional
2 Penambang Timah Rakyat Ilegal di Babel Tertimbun Lumpur, 1 Tewas Tenggelam

2 Penambang Timah Rakyat Ilegal di Babel Tertimbun Lumpur, 1 Tewas Tenggelam

Regional
Kasus Oknum Polisi Diduga Aniaya Warga Aceh Utara hingga Tewas Berakhir Damai

Kasus Oknum Polisi Diduga Aniaya Warga Aceh Utara hingga Tewas Berakhir Damai

Regional
Tak Gubris Ajakan Salaman, Pelajar di Semarang Disetrika Kakak Kelasnya

Tak Gubris Ajakan Salaman, Pelajar di Semarang Disetrika Kakak Kelasnya

Regional
Terdampak Banjir, Aliran Listrik ke 1.890 Pelanggan PLN Padam

Terdampak Banjir, Aliran Listrik ke 1.890 Pelanggan PLN Padam

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com