Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah The Sin Nio Pejuang Kemerdekaan Asal Wonosobo, Dijuluki "Mulan Indonesia", Ubah Nama Jadi Pria

Kompas.com - 18/08/2023, 06:26 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - The Sin Nio (baca: Teh Sin Nyo) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia asal Wonosobo, Jawa Tengah, yang dijuluki 'Mulan Indonesia'. Perempuan peranakan Tionghoa ini mengubah namanya menjadi Mochamad Moeksin demi bisa ikut bergerilya menggunakan parang atau bambu runcing melawan tentara Belanda.

Namun, di usia senja, The Sin Nio terlunta-lunta dalam memperoleh pengakuan atas masa lalunya sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia. Sin Nio sempat menjadi gelandangan di Jakarta tanpa tempat tinggal yang jelas, sebelum akhirnya menempati gubuk liar di bantaran rel kereta.

Belakangan ini, Komnas Perempuan mewacanakan Sin Nio menjadi seorang pahlawan nasional, sementara keturunannya mengatakan "nenek sangat mencintai negara ini" dan status pahlawan atau pejuang kemerdekaan Indonesia "sudah tidak penting lagi".

Baca juga: Berkunjung ke Kampung Peneleh Surabaya Tempat Kelahiran Presiden Soekarno

Akan tetapi, menurut pemerhati budaya Tionghoa, kisah-kisah seperti ini perlu terus diangkat kembali ke permukaan sebagai upaya "memuliakan semua orang dengan etnis apapun yang berjuang, berkontribusi untuk kemerdekaan Indonesia".

Pertengahan 1983, Rosalia Sulistiawati begitu riang bisa menginjakkan kaki di Jakarta untuk pertama kalinya. Bocah tujuh tahun itu akhirnya bisa menyaksikan hiruk pikuk orang dan kendaraan berlalu lalang menggilas aspal hitam yang mulus.

Rosalia saat itu datang berempat bersama kakaknya, Caecilia Rosy Susilowati, adiknya, dan ayahnya, Tjoa Bing Liang/Christophorus Suyono. Yang disebut terakhir adalah anak tertua The Sin Nio.

Langkah mereka berhenti di sebuah gubuk liar yang bangunannya didominasi papan kayu. Tempat tinggal yang Rosalia sebut "bedeng" itu berada pinggiran rel kereta, di kawasan Stasiun Juanda, Jakarta Pusat.

Baca juga: Soekarno dan Sandiwara Kelimutu di Ende

Pasukan Belanda pada saat Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948 di Sumatera Barat.Wikimedia Commons/Huisman, B Pasukan Belanda pada saat Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948 di Sumatera Barat.
Dari balik pintu, perempuan tua yang rambutnya sudah keperakan, menyambut dengan senyum. Rosalia untuk pertama kalinya dalam hidupnya bertemu dengan neneknya, The Sin Nio.

Perasaan Rosalia saat itu campur aduk. Ada takut, heran dan aneh. Sampai ketika perempuan tua kurus yang ia panggil "Oma Sin Nio" mendekap erat - perasaan Rosalia menjadi lebih tenang.

"Ya, senang karena saya boleh dibilang tidak pernah bertemu," kenang Rosalia yang tahun ini berusia 49 tahun.

Sin Nio tinggal di bedeng berukuran 2x3 meter "seperti kontrakan, tapi tidak selayaknya rumah". Di ruangan itu terdapat tempat tidur sekaligus dapur. Bagian atas ruangan ini juga ditempati oleh orang lain yang ketika berbisik bisa terdengar sampai bawah.

Menginap beberapa malam di bedeng ini Rosalia tidak pernah bisa tidur nyenyak, karena setiap kali kereta api lewat seluruh bangunan bergetar seperti mau runtuh.

Baca juga: Soekarno di Penjara Sukamiskin dan Pesan Melalui Telur Asin

Jika ingin mandi cuci kakus, semua penghuni gubuk liar di sepanjang bantaran rel kereta ini harus keluar menuju kamar mandi umum.

Rosalia mengatakan masih punya ingatan samar tentang Sin Nio: Wajah penuh kerutan, rambut pendek, bertubuh kecil, dan berkulit hitam.

"Untuk ukuran orang Tionghoa, Oma [berkulit] hitam. Mungkin karena memperjuangkan pensiunan itu, Oma jadi lebih banyak di jalan, kepanasan," kata Rosalia.

Sementara itu, Rosy, kakak Rosalia, masih ingat betul dengan keseharian Sin Nio yang lebih sering menggunakan kain sarung. "Tapi kalau lagi keluar dari rumah, baru pakai celana panjang," katanya, sambil menambahkan.

"Kita waktu kecil nggak terlalu banyak keinginan tahunya itu. Kalau kami dulu, boleh dibilang rasa penasaran, tapi nggak berani bertanya. Paling yang saya ingat, cuma tanya kok tinggalnya di tempat begini?" kata cucu tertua Sin Nio itu.

Sejak 1973 - tahun Rosalia lahir dan Rosy masih berusia satu tahun - Sin Nio memutuskan pergi ke Jakarta, meninggalkan keluarganya di Wonosobo, Jawa Tengah.

Bertahun-tahun, ia berjibaku dengan birokrasi untuk memperoleh status veteran perang sekaligus uang tunjangan.

Baca juga: Soekarno di Penjara Sukamiskin dan Pesan Melalui Telur Asin

'Mengubah nama jadi laki-laki, modal golok lawan Belanda'

Caecilia Rosy Susilowati menunjukkan foto The Sin Nio. Menurutnya Sin Nio kemungkinan tidak punya gaun perempuan karena lebih sering pakai kain sarung dan celana panjang.dok Rosy via BBC Indonesia Caecilia Rosy Susilowati menunjukkan foto The Sin Nio. Menurutnya Sin Nio kemungkinan tidak punya gaun perempuan karena lebih sering pakai kain sarung dan celana panjang.
Jauh sebelum itu, pada era revolusi, kampung halaman Sin Nio di Wonosobo tidak luput dari target serangan Belanda.

"Oma ini awalnya ikut membantu di bagian logistik, membantu menyediakan makan untuk prajurit-prajurit. Jadi coba berbaur dengan orang-orang pribumi untuk membantu perbekalannya," kata Rosalia.

Tapi, nampaknya Sin Nio tidak puas hanya mengambil peran di dapur, sementara pejuang lainnya menyabung nyawa melawan Belanda.

"Yang saya dengar, setelah ikut angkat senjata itu, Oma menjadi laki-laki. Penampilan selayaknya prajurit laki-laki."

"Rambutnya pendek. Namanya jadi sudah bukan jadi Oma Sin lagi, tapi jadi Mochamad Moeksin," kata Rosalia yang mendengar cerita dari ayahnya.

Baca juga: Mengenal Cindy Adams, Penulis Buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat

Disadur dari artikel Azmi Abubakar, pendiri Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, Sin Nio menjadi satu-satunya tentara perempuan di Kompi 1 Batalion 4 Resimen 18.

Soal nyali, jangan ditanya. Sin Nio hanya bermodal golok, tombak atau bambu runcing untuk melancarkan serangan gerilya. Ia baru memiliki senjata api jenis Lee-Enfield (LE) setelah berhasil merampasnya dari pasukan Belanda.

Sin Nio juga pernah ditempatkan di bagian medis untuk merawat tentara-tentara yang terluka. "Sin Nio berhasil melaksanakan semua tugas yang dipercayakan kepadanya dengan baik," kata Azmi yang mengumpulkan dokumen tentang Sin Nio termasuk dari Majalah Sarinah edisi Agustus 1984.

Pada 1976, Sin Nio akhirnya memperoleh pengakuan sebagai pejuang yang turut aktif mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Surat pengakuan itu dikeluarkan Mahkamah Militer Yogyakarta.

Namun, SK sebagai veteran perang tidak diiringi dengan hak pensiun. Bertahun-tahun, Sin Nio hidup menggelandang karena perbekalan sudah habis.

Baca juga: Busana Adat Suami Istri Asal Banyuwangi Terpilih Jadi Terbaik Ketiga Saat Upacara di Istana

Uang pensiun sebesar Rp28.000/bulan baru cair beberapa tahun kemudian. Sin Nio memilih untuk hidup di gubuk liar, dan sebagian uang pensiunannya dikirim ke keluarga, menurut Azmi.

Sin Nio juga pernah mendapat janji dari pemerintah untuk memperoleh tunjangan perumahan, tapi belum sempat terealisasi sampai akhirnya ia tutup usia pada 1985.

"Mak Sin sedang memperjuangkan hak-hak dia supaya dapat rumah. Paling kadang cerita, belum ada progres, masih diajukan, masih belum dapat info. Cuma itu saja," kata Rosy.

"Mulan Indonesia"

Ilustrasi pahlawan Indonesiafreepik.com/ YusufSangdes Ilustrasi pahlawan Indonesia
Rosy mengaku teringat tokoh Mulan dalam film ketika mengenang sosok mendiang neneknya.

"Jadi ingat nenek. Nenek dulu seperti itu," katanya.

Menurut Rosy, tindakan neneknya yang "terjun langsung ke kawasan laki-laki" untuk bertempur bukanlah hal umum bagi perempuan dalam tradisi Tionghoa.

"Hal sesuatu yang dibilang tabu kalau perempuan itu ya. Saya melihat [umumnya] perempuan [Tionghoa] lebih kayak Jawa lah, tradisinya. Mungkin nenek agak berbeda sedikit," kata Rosy.

Perubahan nama dari The Sin Nio menjadi Mochamad Moeksin juga kerap dibahas dalam keluarga besar.

"Kadang kan kalau nama Tionghoa [yang diubah] ke nama Indonesia sedikit disamakan. Misalkan Liang jadi Liana. Karena namanya Sin Nio, dia ambil namanya Moeksin. Bayangan saya seperti itu. Agar bisa salah satunya, ikut perang," tambah Rosy.

Baca juga: Pemprov Sumbar Usulkan Syafii Maarif Jadi Pahlawan Nasional

Membayangkan sulitnya menjadi pejuang kemerdekaan keturunan Tionghoa

Baik Rosy dan Rosalia meyakini, Sin Nio kesulitan memperoleh pengakuan sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia karena statusnya sebagai peranakan Tionghoa. Padahal, Sin Nio begitu juga pejuang kemerdekaan lainnya yang terlibat perang melawan Belanda, rela mati demi negara.

"Ada kebanggaan, tapi sedih saya punya Oma sampai harus seperti ini. Yang ternyata hanya ingin pengakuan dari negara yang kayaknya susah, karena keturunan Tionghoa. Jadi mungkin beda perlakuan," kata Rosalia.

Keyakinan beda perlakuan terhadap veteran perang keturunan Tionghoa ini berdasarkan pengalaman Rosa semasa sekolah di era Orde Baru, yang kerap mendapat perundungan verbal: "Elu China perusak bangsa." Kata-kata itu, diakui Rosa, terngiang sampai sekarang.

"Kalau lihat itu sedih. Di negara sendiri, di mana saya dilahirkan di Indonesia, saya mengakui Pancasila, saya menghormati Merah-Putih. Tapi oleh beberapa teman, saya diperlakukan seperti itu."

Baca juga: Eks Napiter di Semarang Ziarahi Makam Pahlawan, Ungkapkan Permohonan Maaf Saat Momen HUT Ke-78 RI

"Bagi saya yang di-bully di sekolah, diperlakukan berbeda saja sudah sedih. Apalagi Oma yang istilahnya memperjuangkan haknya bertahun-tahun. Itu nggak kebayang sedihnya," kata Rosalia.

Diskriminasi juga dialami Rosy. Ia bercerita tentang sulitnya mendapat pendidikan hingga harus mengurus Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).

"Itu urusnya nggak gampang. Itu lebih dari lima tahun, baru dapat surat SBKRI-nya. Menjelang lulus kuliah baru dapat seperti buku paspor. Saya masih pegang," kata Rosy yang lahir di Indonesia.

"Sebagai cucu saja saya diperlakukan seperti itu, apalagi beliau. Zaman dulu kan nggak terlalu dipedulikan. Jadi, itu salah satu alasan mengubah nama dari Sin Nio menjadi Mochamad Moeksin. Bisa jadi," kata Rosy.

 

Wacana pahlawan nasional

Agresi Belanda 1949.Deutsche Welle Agresi Belanda 1949.
Pada November 2022 silam, Komnas Perempuan mendorong nama The Sin Nio sebagai pahlawan nasional. Komnas Perempuan ingin mengubah persepsi yang melekat selama ini, bahwa "sejarah tentang kepahlawanan hanya milik laki-laki".

Menurut catatan Komnas Perempuan, sampai 2022 lalu, tokoh yang memperoleh penghargaan pahlawan nasional berjumlah 200 orang. 185 laki-laki dan 15 perempuan.

"Keteladanan untuk diwariskan untuk bangsa ini bukan sekadar oleh laki-laki atau hanya sekadar pergerakan perjuangan, pergolakan fisik, tapi kami memaknai peran positif para perempuan sebagai pelopor perubahan," kata anggota Komnas Perempuan, Dewi Kanti, saat dihubungi BBC News Indonesia.

Salah satu sosok yang dipilih Komnas Perempuan sebagai pahlawan nasional adalah The Sin Nio karena semangat nasionalismenya sebagai perempuan, yang rela mengubah identitasnya sebagai laki-laki untuk turun gunung melawan penjajahan.

Baca juga: Kisah Susmiyati Paskibra Upacara Tengah Laut, Terjang Gelombang Lebih dari 3 M

"Kita mengapresiasi apa yang beliau upayakan sebagai sebuah daya juang, mencintai negerinya," tambah Dewi.

Namun, Dewi juga tak bisa menutup mata keberadaan polemik klasik di publik ketika nama The Sin Nio dimunculkan: kelayakan pribumi atau nonpribumi mendapat gelar pahlawan nasional.

"Itu jadi isu sensitif, tapi bagi kami yang terpenting adalah pribumi atau nonpribumi yang diwacanakan publik, kami memaknai bahwa semua warga negara Indonesia yang hidup berpuluh tahun di Indonesia ini juga memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam bernegara sesuai konstitusi."

"Bukan berarti kita memprioritaskan yang nonpribumi, tapi siapa pun yang kita bisa dorong dan apresiasi apa yang sudah ditorehkan oleh bangsa ini ya kita dukung," kata Dewi.

Baca juga: Kisah Susmiyati Paskibra Upacara Tengah Laut, Terjang Gelombang Lebih dari 3 M

Kisah lain yang tenggelam

Kisah The Sin Nio hanya salah satu dari banyak memori lama tentang bagaimana peran keturunan Tionghoa menjelang kemerdekaan Indonesia.

Menurut pengamat budaya Tionghoa, Agni Malagina, banyak warga keturunan Tionghoa yang mengambil peran-peran kecil tapi signifikan pada periode Agresi Militer Belanda pertama dan kedua.

"Menurutku, semua peran orang Tionghoa yang lalu-lalu banyak tidak tercatat. Nggak ada yang mengingat. Akhirnya habis saja ditelan waktu. Dikubur bersama mereka cerita itu," kata Agni.

Dalam beberapa wawancaranya dengan orang tua keturunan Tionghoa yang mengalami masa-masa perang, mereka mengambil peran di dapur umum untuk menyediakan ratusan nasi bungkus tentara Indonesia. Ada pula yang bertugas sebagai perawat dan dokter, serta menyelundupkan senjata dan perbekalan bagi tentara Indonesia.

Baca juga: Kenakan Pakaian Kebesaran Adat Melayu, Mendagri Pimpin Upacara HUT Ke-78 Kemerdekaan RI di Kabupaten Natuna

"Bawa truk, bawa selundupan senjata untuk tentara, atau selundupan makanan atau logistik dll. Menyeberang dari kantong Republik masuk ke kantong Belanda. Kegiatan kamuflase perang, dia menyabung nyawa di garis depan," kata Agni.

Oleh karena itu, nasionalisme mereka tidak perlu dipertanyakan, kata Agni.

Namun, sejarah ini tak banyak diangkat dalam riset atau penelitian. Sumber-sumber sejarah dari warga keturunan Tionghoa "lebih nyaman menutup cerita masa lalunya karena diskriminasi yang pernah mereka alami. Trauma yang mereka alami."

Mengangkat kembali cerita-cerita pejuang kemerdekaan dari keturunan Tionghoa bukan sekadar menekan stigma warisan Orde Baru terhadap warga keturunan Tionghoa yang kerap dianggap bukan bagian dari Indonesia. Tapi juga memuliakan semua orang dengan etnis apapun yang berjuang, berkontribusi untuk kemerdekaan, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan lain-lain, kata Agnia.

"Saya melihat, ya memang sudah waktunya memberi tempat layak, penghormatan, penghargaan kepada manusia-manusia Indonesia yang berjasa untuk negara," katanya.

Baca juga: Upacara Bendera di Pulau Terselatan NKRI, Semua Peserta Menunggang Kuda

Tempat terhormat di gim MOBA Lokapala

Karakter Nio dalam gim Lokapa terinspirasi dari kisah The Sin Nio.ANANTARUPA STUDIOS Karakter Nio dalam gim Lokapa terinspirasi dari kisah The Sin Nio.
Ketika The Sin Nio didorong menjadi pahlawan nasional, sosoknya sudah mendapat "tempat terhormat" di gim arena pertarungan daring multipemain (MOBA) Lokapala: Saga of The Six Realms.

Lokapala adalah gim e-sport pertama di Indonesia yang dikembangkan oleh Anantarupa Studios sekaligus sebagai publisher. Lokapala dibuat berdasarkan riset budaya Nusantara dengan karakter tokoh mitologi dan sejarah dengan menganut nilai-nilai yang disebut "Astabratha" - seni kepemimpinan yang merujuk pada delapan simbol alam bumi, laut, langit, bintang, matahari, bulan, angin, dan api.

Dua tahun lalu, pihak gim menciptakan karakter penembak jitu bernama Nio berjuluk 'Satu di Antara Seribu' yang terinspirasi dari The Sin Nio.

Lead IP Project Anantarupa Studios, Ninoi Kiling, mengatakan pihaknya ingin mengenalkan tokoh-tokoh penting sejarah yang selama ini tidak muncul ke permukaan.

Baca juga: Menengok Monumen Potlot Blitar, Tempat Bendera Merah Putih Pertama Kali Dikibarkan

"Sin Nio ini kan tragis kisahnya, ia berjuang bukan perempuan yang biasa-biasa saja. Datang ke medan perang bertaruh nyawa. Di masa tuanya menggelandang di Jakarta, tidak langsung mendapat pengakuan veterannya… Jadi ini sebagai bentuk penghormatan," kata Ninoi.

Selain itu, melalui pembuatan karakter Sin Nio dalam Lokapala ini, Ninoi mengatakan ingin mengenalkan kepada para pemain - umumnya anak-anak muda - untuk mengenali sendiri tokoh-tokoh dalam sejarah Indonesia.

"Mereka akan cari tahu sendiri, sejarah figur yang tidak ada di buku-buku sekolah," kata Ninoi.

"Orang bilang, tokoh-tokoh yang kita kenal itu kan karena narasi kekuasaan saat itu. Tapi ada banyak sekali tokoh-tokoh yang mungkin tidak dikenal, tapi berjasa. Jadi mau bilang, kalau suatu saat nama kita tidak ada di buku sejarah, nggak usah khawatir, kalian tetap bisa jadi hero dengan cara kalian sendiri," tambah CEO Anantarupa Studios, Ivan Chen, saat ditemui BBC News Indonesia.

Ivan Chen menambahkan gim Lokapala berisi 33 karakter yang berasal dari mitologi, tokoh sejarah seperti Sin Nio dan antropomorfik Nusantara akan menjadi medium pengenalan budaya asli Indonesia ke negara-negara lainnya.

Baca juga: BERITA FOTO: Sensasi Merayakan HUT ke-78 RI di Perbatasan Indonesia-Timor Leste

Kembali pada cerita Rosalia dan Rosy tentang neneknya, The Sin Nio. Mereka sudah tidak menuntut apa-apa lagi dari negara atas kiprah Sin Nio di masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.

"Oma saya menjadi pahlawan nasional atau tidak, buat saya hal itu tidak penting… Apa yang diperjuangkan oleh Oma saya selama ini Oma tidak menikmati hasilnya. Sampai beliau meninggal, dia tidak mendapatkan apa yang dia perjuangkan.

Ya sudahlah. Saya butuh, kalau memang Oma ingin didoakan ya didoakan saja. Semoga Oma di alam sana bahagia," kata Rosa.

Rosy ikut menimpali. Semangat The Sin Nio yang berakhir dengan sepi dalam mencintai Tanah Air Indonesia akan selalu dikenang.

"Dengan melihat nenek berjuang seperti itu. Maka negara ini harus lebih dicintai lagi. Ternyata memang nenek sangat mencintai negara ini, jadi apa yang bisa nenek perjuangkan ya, harus kita cintai sebagai salah satu cucunya," kata Rosy.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Cycling de Jabar 2024 Makin Populer, Upaya Menumbuhkan Pariwisata dan Ekonomi Lokal

Cycling de Jabar 2024 Makin Populer, Upaya Menumbuhkan Pariwisata dan Ekonomi Lokal

Regional
Detik-detik Buronan Tewas Ditembak Polisi di Pekanbaru

Detik-detik Buronan Tewas Ditembak Polisi di Pekanbaru

Regional
Terekam CCTV, Pengendara Motor di Purwakarta Terlindas Truk Saat Ditilang Polisi

Terekam CCTV, Pengendara Motor di Purwakarta Terlindas Truk Saat Ditilang Polisi

Regional
Cerita Tambal Ban di Pamekasan Bisa Naik Haji, Daftar dari 2011

Cerita Tambal Ban di Pamekasan Bisa Naik Haji, Daftar dari 2011

Regional
Rem Panas, Truk Tronton di Cilacap Nyaris Terbakar

Rem Panas, Truk Tronton di Cilacap Nyaris Terbakar

Regional
Kesaksian Kernet Bus Rombongan 'Study Tour' di OKI, Sopir Banting Setir hingga Terbalik

Kesaksian Kernet Bus Rombongan "Study Tour" di OKI, Sopir Banting Setir hingga Terbalik

Regional
Kedapatan Bawa Sabu-sabu, 2 Mahasiswa di Ambon Ditangkap Polisi

Kedapatan Bawa Sabu-sabu, 2 Mahasiswa di Ambon Ditangkap Polisi

Regional
Tahap I Selesai, Bupati Jekek: Revitalisasi Wisata Waduk Gajah Mungkur Dilanjutkan ke Tahap II

Tahap I Selesai, Bupati Jekek: Revitalisasi Wisata Waduk Gajah Mungkur Dilanjutkan ke Tahap II

Regional
Gara-gara Mabuk Miras, Kakak Bacok Adik Pakai Parang di NTT

Gara-gara Mabuk Miras, Kakak Bacok Adik Pakai Parang di NTT

Regional
Pria di Gresik Mendadak Tewas Usai Berkencan dengan PSK, Diketahui Konsumsi Obat Kuat

Pria di Gresik Mendadak Tewas Usai Berkencan dengan PSK, Diketahui Konsumsi Obat Kuat

Regional
Pendaki Asal Surabaya yang Hilang di Gunung Kerinci Ditemukan Selamat

Pendaki Asal Surabaya yang Hilang di Gunung Kerinci Ditemukan Selamat

Regional
Bus Rombongan 'Study Tour' Tabrak Truk di OKI, Sopir Melarikan Diri

Bus Rombongan "Study Tour" Tabrak Truk di OKI, Sopir Melarikan Diri

Regional
Kebakaran Kilang Pertamina Balikpapan, Api Berasal dari Unit Distilasi Minyak Mentah

Kebakaran Kilang Pertamina Balikpapan, Api Berasal dari Unit Distilasi Minyak Mentah

Regional
Anak yang Terseret Ombak di Pantai Jetis Cilacap Ditemukan Tewas

Anak yang Terseret Ombak di Pantai Jetis Cilacap Ditemukan Tewas

Regional
Polisi Selidiki Penyebab Kebakaran Kilang Pertamina Balikpapan

Polisi Selidiki Penyebab Kebakaran Kilang Pertamina Balikpapan

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com