KOMPAS.com - Keberadaan fenomena megathrust di Indonesia tidak lepas dari letak geologisnya yang berada di pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Hindia-Australia (Indo-Australia), dan lempeng Pasifik.
Sesuai dengan teori tektonik lempeng, letak geologis tersebut membuat Indonesia tidak lepas dari pengaruh pergerakan lempeng yang ada di bawah permukaan bumi.
Baca juga: Guncang Selatan Jawa, Apa Itu Gempa Megathrust?
Dilansir dari laman Gramedia, masing-masing lempeng tektonik yang ada di Indonesia ini memiliki pergerakan yang berbeda-beda.Seperti lempeng Indo-Australia yang bergerak ke timur laut, lempeng Pasifik yang bergerak ke barat laut, serta lempeng Eurasia yang relatif tidak bergerak.
Aktivitas tektonik pun timbul karena lempeng-lempeng ini terus bergerak dan menimbulkan interaksi antara lempeng satu dan lainnya.
Baca juga: Zona Megathrust Mentawai: Lokasi, Sejarah Kegempaan, dan Potensi Gempa
Interaksi antarlempeng tektonik tersebut dapat diamati atau dirasakan, terutama di lokasi pertemuan lempeng pada zona tumbukan (subduksi).
Sementara dikutip dari Kompas.com, subduksi adalah proses tektonisme di mana pada batas dua lempeng, baik antarlempeng benua, antarlempeng samudra, maupun antara keduanya, saling bertumbukan dan lempeng yang tebal menunjam ke bawah lempeng yang lebih tipis.
Baca juga: Gempa Zona Megathrust Segmen Mentawai-Siberut Bisa Berpotensi M 8,9
Dilansir dari laman Antara, mekanisme lempeng samudra yang menghujam ke bawah lempeng benua termasuk dalam kategori thrust (mendorong) atau reverse (terbalik). Karena area yang mengalami tersebut sangat luas, sehingga sering disebut dengan megathrust.
Hal ini seperti diungkap analis bahaya gempa dan peneliti Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Dr. Arifan Jaya Syahbana yang menjelaskan bahwa bertumbuknya kerak samudera dan kerak benua itulah yang menjadikan fenomena megathrust.
Sementara penyelidik geologi muda, Dr. Joko Wahyudiono, S.T., M.T., menjelaskan bahwa definisi megathrust dari sudut pandang geolog berasal dari kata “mega” yang artinya besar dan “thrust” yang artinya sesar sungkup.
Selain itu, Joko juga menyebut bahwa letaknya berada di perbatasan pertemuan continental crust (kerak benua) dan oceanic crust (kerak samudra) dengan kedalaman tidak lebih dari 50 meter.
Lebih lanjut, dikutip dari laman Kompas.com, Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika ( BMKG), Daryono, mengungkapkan bahwa megathrust bisa diartikan sesuai dengan kata penyusunnya.
Menurut Daryono, istilah "thrust" merujuk pada salah satu mekanisme gerak lempeng yang menimbulkan gempa dan memicu tsunami, yaitu gerak sesar naik. Dengan demikian, megathrust bisa diartikan gerak sesar naik yang besar.
Dalam geologi tektonik, wilayah pertemuan dua lempeng ini disebut zona subduksi. Zona megathrust terbentuk ketika lempeng samudera bergerak ke bawah menunjam lempeng benua dan menimbulkan gempa bumi
"Zona subduksi ini diasumsikan sebagai sebuah zona “patahan naik yang besar” atau populer disebut zona megathrust," kata Daryono.
Zona megathrust di Indonesia tentunya bukan merupakan hal baru, melainkan sudah ada sejak jutaan tahun lalu saat terbentuknya rangkaian busur kepulauan Indonesia.