GORONTALO, KOMPAS.com – Dicky Wahyudi, siswa SMA Negeri 1 Gorontalo Utara, terpilih menjadi anggota Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) di Istana Negara, Jakarta.
Bahkan ia terpilih sebagai Komandan Kelompok (Danpok) 17 pada penurunan Bendera Merah Putih.
Dicky Akhiri merupakan anak dari pasangan Suparno Ahiri dan Nursandi Dadu, warga Dusun Pasar Baru, Kelurahan Maluo, Kecamatan Kwandang, Gorontalo.
Baca juga: Cerita Paskibra Degdegan Kibarkan Merah Putih di Banyuwangi Usai Guyuran Hujan
Keluarga ini tinggal di sebuah rumah kayu mungil di lahan milik orang lain. Meski demikian hal itu tak menyurutkan Dicky untuk mengukir prestasi hingga ke Jakarta.
Nining Herawati, seorang analis kebijakan bidang kepemudaan Dinas Pemuda dan Olahraga Kabupaten Gorontalo Utara tahu persis perjalanan panjang sang anak didik ini. Ia adalah pendamping Dicky sejak awal masuk pembekalan di Provinsi Gorontalo.
Dalam keseharian, keluarga Dicky tergolong kurang mampu. Untuk menghidupi keluarganya, sang ayah Suparno Ahiri harus bekerja serabutan.
Baca juga: Pelatih Paskibra Jatuh dari Tiang Saat Betulkan Pengibaran Bendera Merah Putih
Ayah Dicky mengandalkan tenaganya untuk bekerja sebagai kuli bangunan. Namun tidak setiap hari ada yang memanggilnya untuk bekerja.
Untuk mencukupi biaya hidup sehari-hari, Suparno menawarkan diri sebagai kuli di pasar.
Jika ada pedagang yang membutuhkan tenaganya untuk mengangkat barang dagangan, dengan senang hati ia membantu. Tidak ada besaran biaya resmi untuk pekerjaan ini di pasar.
Sementara sang ibu, Nursandi, adalah ibu rumah tangga, sesekali berjualan di pasar jika ada hari pasar.
Ia mengambil barang dagangan dari orang lain untuk dijual. Selisih harga jual ini menjadi keuntungannya, namun pasar tidak setiap hari ada.
Suparno dan Nursandi ini melakoni hidupnya dengan sederhana, demikian juga dengan Dicky. Tidak ada kemewahan atau berleha-leha untuk menikmati hidup, semua harus bekerja keras untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup.
Saat Dicky terpilih dan masuk pembekalan di tingkat Provinsi Gorontalo pada 22 April 2023, ia sempat galau karena di ibu kota Provinsi Gorontalo ini ia tidak memiliki sanak saudara.
Ia bingung harus menginap di mana, bagaimana harus mengakses sarana trassportasi, hingga makan dan minum. Pembekalan di Kota Gorontalo ini membuatnya gundah gulana.
Bahkan kedua orangtua Dicky menceritakan kesulitan yang dihadapinya jika Dicky harus ke kota. Sebab mereka tidak mampu membiayainya, tidak memiliki tabungan atau barang berharga yang bisa dijual untuk kebutuhan Dicky di kota.