KOMPAS.com - Sistem tanam paksa atau cultuurstelsel adalah kebijakan Gubernur Jenderal Johannes Jenderal van den Bosch pada tahun 1830.
Sistem tanam paksa muncul karena kondisi negeri Belanda dan tanah jajahannya yang buruk serta beban hutang yang semakin membesar.
Van den Bosch diangkat sebagai Gubernur Jenderal di Indonesia yang bertugas mencari cara untuk mengisi kekosongan kas negara.
Van den Bosch kemudian mengeluarkan kebijakan tanam paksa, yaitu penduduk desa diwajib menyisihkan tanahnya untuk ditanami tanaman dagang yang dapat dijual di pasar dunia, seperti kopi, tebu, maupun indigo.
Kabijakan tanam paksa tertuang dalam lembaran negara tahun 1834 Nomor 22.
Sistem tanam paksa pertama kali berlaku di Pulau Jawa dan berkembang di luar Jawa. Sistem tersebut berlaku selama sekitar 40 tahun, yaitu 1830 hingga 1870.
Sistem tanam paksa yang dilakukan Belanda ternyata mendapat tentangan dari sejumlah pihak.
Dengan kecaman tersebut, Belanda akhirnya menghapus sistem tanam paksa.
Baca juga: Tokoh-Tokoh Penentang Sistem Tanam Paksa
Berikut ini sejumlah tokoh yang menentang pelaksanaan tanam paksa.
Eduard Douwes Dekker adalah keturuanan Belanda yang memperjuangkan keadilan rakyat Indonesia, terutama sistem tanam paksa.
Douwes Dekker mengabdi sebagai pegawai dari pemerintah Belanda di Indonesia selama 18 tahun. Jabatannya sebagai asisten residen di wilayah Lebak, Banten.
Eduard Douwes Dekker memiliki nama pena, yaitu Multatuli yang artinya aku banyak menderita.
Nama pena tersebut digunakan dalam bukunya berjudul Max Havelaar atau Lelang Kopi Perdagangan Belanda yang terbit pada tahun 1860.
Dalam bukunya tersebut, Douwes Dekker menceritakan keprihatinnya atas penjajahan yang terjadi di Indonesia.
Cerita lainnya berupa pengalamannya melihat penindasan saat menjadi asisten residen Lebak.