Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Trias Kuncahyono
Wartawan dan Penulis Buku

Trias Kuncahyono, lahir di Yogyakarta, 1958, wartawan Kompas 1988-2018, nulis sejumlah buku antara lain Jerusalem, Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir; Turki, Revolusi Tak Pernah Henti; Tahrir Square, Jantung Revolusi Mesir; Kredensial, Kearifan di Masa Pagebluk; dan Pilgrim.

Menanti Terang Bulan

Kompas.com - 16/06/2023, 08:32 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KAKI langit bagian barat sudah memerah, ketika pesawat Twin Otter yang kami tumpangi (14 orang) mendarat di Bandara Frans Kaisiepo. Dua jam kami terbang dengan pesawat kecil yang memiliki kapasitas 19 orang itu dari Bandara Ewer, Asmat.

Dua jam, penerbangan mulus. Lebih mulus dan tenang dibandingkan terbang 40 menit dari Timikia ke Ewer, yang sejak mulai mengangkasa ditemani hujan rintik-rintik.

Langit dari Ewer hingga Biak, cerah. Hanya kadang guncangan-guncangan kecil tak berarti.

Dari jendela, di sebelah kiri saya duduk, terlihat kelompok-kelompok mega putih bersih seperti berkejaran. Langit biru.

Di bawah saya lihat hamparan hutan hijau tak putus-putusnya. Hanya kadang dibelah sungai besar dan kecil yang berkelok-kelok seperti ular yang tengah menjalar. Puncak-puncak bukit seperti ingin mengapai pesawat kecil yang kami tumpangi.

Pepohonan, hutan, gunung, ngarai, bahkan bintang dan bulan, matahari dan seluruh isi angkasa, semua serba indah.

Semuanya telah tercipta oleh sabda yang Maha Pencipta. Semesta alam dan isinya. Juga manusia yang amat kecil dibandingkan dengan seluruh kebesaran alam ini.

Ah, Papua yang indah terlihat dari atas. Dari atas, semua terlihat tidak hanya indah tapi juga damai. Damai yang menjadi idaman semua manusia di bumi.

Tapi, damai itu masih saja bagaikan tergantung di awang-awang; dan kadang dipeluk awan gelap, disapu angin, tertutup mega.

Meskipun, sebenarnya damai itu ada. Tetapi, banyak kali perdamaian masih dipecah belah oleh keserakahan dalam mencari keuntungan yang mudah, dilukai oleh keegoisan yang mengancam kehidupan manusia dan keluarga, keegoisan yang terus berlanjut, dan kerakusan akan kekuasaan.

"Lihat, sebelah kanan. Cantik banget. Pulau-pulau kecil. Laut biru dan hijau, airnya. Bagus," teriak Mensos Tri Rismaharini penuh kegirangan sesaat sebelum pesawat mendarat.

Pemandangan di bawah, pulau-pulau dan laut, memang sangat indah.

*
Ketika akhirnya pesawat mendarat di Biak, segera saya ingat senior dan sahabat saya, Manuel Kaiseipo.

Wartawan Kompas ini pernah menjadi Menteri Negara Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia, masa Kabinet Persatuan Nasional di bawah Presiden Megawati. Dan, nama bandara Biak--Frans Kaiseipo (1921-1974)--adalah ayah Manuel Kaiseipo.

Saat itu juga saya kirim foto Bandara Biak ke Pak Katua, begitu saya biasa menyapa Manuel Kaiseipo.

"Wah, Pak Trias sampai juga ke kampung saya..." tulisnya di WA.

Biak adalah ibu kota Kabupaten Biak-Numfor, yang terletak di Teluk Cendrawasih, sebelah utara Pulau Papua.

Dulu, di zaman Belanda diberi nama Schouten Eilanden, sesuai nama orang Eropa pertama berkebangsaan Belanda, yang mengunjungi daerah ini pada awal abad ke 17. Biak-Numfor adalah gabungan dua pulau kecil Biak dan Numfor.

Halaman:

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com