Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lestarikan Budaya, Ratusan Warga Lantunkan Macapat Selama 72 Jam

Kompas.com - 23/10/2018, 20:40 WIB
Markus Yuwono,
Khairina

Tim Redaksi

YOGYAKARTA,KOMPAS.com- Untuk melestarikan budaya macapat atau lantunan tembang yang berisi tentang petuah kehidupan manusia menurut pandangan masyarakat Jawa, Dinas Kebudayaan Kabupaten Bantul, Yogyakarta, menggelar acara macapat massal selama 72 jam nonstop. 

Ratusan orang mengikuti kegiatan itu, sejak Selasa (23/10/2018) sampai Jumat (26/10/2018) yang dilaksanakan di Bangsal Sasana Kridha Rumah Dinas Bupati Bantul.

"Tiga hari tiga malam pelaksanaan macapat ini," kata Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Bantul, Sunarto yang ditemui di lokasi, Selasa (23/10/2018).

"Mulai hari ini mulai jam 9 pagi dan selesai Jumat jam 9 pagi juga. Setiap 3 jam nanti ganti pesertanya. Meski nonstop, kalau pas adzan dan dini hari suaranya akan dikurangi,"ucapnya

Dia mengatakan, pelantunan macapat ini merupakan kali kedua, setelah sebelumnya sudah dilakukan tahun 2008 lalu dengan durasi 48 jam.

"Waktu itu memecahkan rekor Muri, sementara untuk tahun ini tidak melibatkan Muri. Ada 15 naskah yang dilantunkan, oleh sekitar 300 an masyarakat paguyuban macapat dan pelajar di Bantul," katanya. 

Sunarto mengatakan, pihaknya melibatkan pelajar karena ingin macapat dikenal generasi muda, sehingga ke depan tidak akan punah tergerus oleh zaman. Macapat sendiri merupakan sastra Jawa yang berisi tembang berisi tentang kehidupan sehari hari. 

"Kegiatan ini diharapkan bisa membuat macapat tidak punah di DIY, khususnya Kabupaten Bantul. Serta dapat menambah semangat dari warga khususnya generasi muda yang selama ini kurang berminat, jadi berminat terhadap macapat," ujarnya.

Baca juga: Macapat Soedjatmakan Serat Candrarini di Bentara Solo

Pembina Macapat DIY, KMT Projosuwasono mengaku mengapresiasi langkah pemerintah kabupaten Bantul untuk melestarikan macapat.

Ada 15 naskah macapat kuno yang dilantunkan atau ditembangkan yakni serat Wulang Reh, serat Wedhatama, serat Nirbaya, Uran-uran Beja, Pepali Ki Ageng Sela, serat Surya Raja, cuplikan Babad Demak, cuplikan Babad Giyanti, serat Gandrung Asmara, kidungan, serat Ambiya, bedhale Mataram Pleret, serat Dewa Ruci, cuplikan Babad Pecina dan serat Nayaka Lelana.

Naskah itu sengaja dipilih melihat situasi dan kondisi bangsa. Salah satu contohnya,Serat Wulang Reh yang diciptakan Raja Surakarta, Sri Susuhunan Pakubuwana IV. Di mana dalam naskah tersebut berisi nasihat yang diberikan sang raja kepada rakyatnya agar mencapai kehidupan yang penuh harmoni. 

"Lebih ke naskah-naskah macapat kuno. Itu karena kami ingin masyarakat tahu kalau isi naskah macapat kuno berisi petuah dan ajaran adiluhung yang relevan dengan zaman sekarang," katanya,

Salah seorang peserta, Suparman warga Kecamatan Piyungan, mengaku tidak ada persiapan khusus hanya latihan rutin seperti biasa. Hal ini lantaran dirinya sudah terbiasa dengan tembang macapat.

"Saya mainnya besok (Rabu) jam 6 pagi tidak ada latihan khusus," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com