Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Soesilo Toer Dituding PKI, Jadi Pemulung Lalu Bangun Perpustakaan untuk Sang Kakak (2)

Kompas.com - 04/06/2018, 15:43 WIB
Puthut Dwi Putranto Nugroho,
Caroline Damanik

Tim Redaksi

BLORA, KOMPAS.comSoesilo Toer (81) terus bersemangat memunguti barang-barang bekas yang masih bernilai jual di kampung kelahirannya di Kabupaten Blora, Jawa Tengah.‎

Adik kandung almarhum Pramoedya Ananta Toer, sastrawan dan penulis Indonesia, itu tak ingin meratapi nasib menjadi pemulung meski menyandang gelar doktor dari Rusia.

Soes, begitu dia kerap dipanggil, adalah penyandang gelar master jebolan University Patrice Lumumba dan doktor bidang politik dan ekonomi dari Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov Uni Soviet.

Dia meraih beasiswa otoritas Rusia, bekerja selama 11 tahun di sana dan hidup bergelimang harta hingga nasib tak berpihak ketika dia pulang ke Tanah Air.

Baca selengkapnya: Kisah Soesilo Toer, Adik Pramoedya Ananta Toer yang Bergelar Doktor dan Kini Jadi Pemulung (1)

Dituding PKI

Pada tahun 1973, Soes pulang ke Tanah Air tercinta. Saat menginjakkan kaki di bandara di Jakarta, dia tiba-tiba ditangkap polisi dan dijebloskan di penjara selama 6 tahun.

Bukannya mengabdi kepada negara selama 10 tahun sesuai janji pemerintah sebelum dia pergi studi, Soes kini justru harus melewati masa suram di balik dinginnya jeruji besi.‎

Tanpa dasar hukum yang jelas, karut-marut situasi politik peralihan Orde Lama ke Orde Baru menyasar Soes pula. ‎Dia dituding antek komunis hanya karena dia lulus dari jurusan politik dan ekonomi di Rusia. ‎

Jurusan yang ditekuni Soes disebut masuk zona merah yang membahayakan kestabilan negara. Apalagi, dia adalah adik dari Pramoedya Ananta Toer yang lebih dulu dituding berhaluan komunis.

Sebelumnya, karya-karya Pramoedya merupakan tamparan bagi Belanda. Naskahnya yang nasionalis dianggap memelopori masyarakat Indonesia menjegal Belanda. Karena dinilai membangkang Belanda, Pramoedya sudah lebih dulu ditangkap.

Sementara itu, pada masa Orde Baru, sentilan-sentilan Pramoedya dalam tulisannya dianggap condong berpihak kepada PKI. Banyak tokoh yang merasa tersudutkan dengan peran Pramoedya pada saat itu.

Pramoedya mendekam penjara 4 tahun di Nusakambangan dan 10 tahun di Pulau Buru.

"Hanya saya yang ditangkap saat turun dari pesawat. Puluhan lainnya lolos karena posisi bidangnya aman. Sebut saja ilmuwan, dokter, insinyur, dan lain-lain.‎ Apakah karena Mas Pram yang lebih dulu dituding komunis. Setahu saya, Mas‎ Pram itu PNI, bukan PKI. Saya itu murni belajar, ingin kaya dan tidak ada intervensi dari siapa pun. Saya memahami apa itu ‎Marxisme-Leninisme‎, tapi bukan berarti saya terlibat di dalamnya," ungkap Soes.

Soes masih ingat betul, beberapa saat sebelum dia kembali ke Indonesia, Kedutaan Indonesia di Moskow menggelar pengajian untuk mendoakan para korban keganasan PKI.

Soes tidak hadir kala itu karena dia merasa tak mendapatkan undangan. Namun, dia menduga, akibatnya dia dinilai terlibat PKI.‎

"Saya heran, kan tidak diundang jadi saya tidak tahu jika ada tahlilan. Malah dituding PKI. Saya wajib lapor di Rusia. Saya itu tidak suka politik. Saya hanya ingin belajar, kerja, dan kaya," ungkap Soes.‎

Tanpa pengadilan dan pembuktian atas kesalahannya, pada tahun 1978, Soes akhirnya keluar dari tahanan politik masa Orde Baru. Soes lantas menetap di Jakarta.

 

Bersambung ke halaman dua: Status eks-tapol membawa sengsara

 

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com