Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Nenek 90 Tahun Setia Dulang Bijih Emas dan Ajar Warga Mengaji

Kompas.com - 31/05/2018, 14:39 WIB
Amran Amir,
Caroline Damanik

Tim Redaksi

LUWU, KOMPAS.com — Menjadi tua tak mesti berhenti bekerja, itulah prinsip hidup yang dipegang nenek Rawinja (90), warga Desa Kadong-kadong, Kecamatan Bajo Barat, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan.  

Pada usia yang renta, Rawinja masih tegar bekerja sebagai pendulang emas di Sungai Kadong-kadong. Aktivitas mendulang yang digelutinya sudah berlangsung lama, tepatnya sejak dirinya berusia 10 tahun.

Rawinja setiap hari berjalan kaki dari rumahnya menuju sungai dengan membawa dulang dan ember, kadang kala ditemani anak atau cucunya untuk meringankan bebannya. Jarak dari rumah ke sungai untuk mendulang tidaklah jauh, hanya berkisar 100 meter.

Baca juga: Potret Lansia Rayakan Ramadhan di Panti Jompo, Kematian Bisa Datang Kapan Saja (2)

Nenek Rawinja mengeruk pasir dan kerikil di Sungai Kadong-kadong demi mendapatkan bijih emas.   

“Waktu itu, sekitar 10 tahun, saya mulai lakukan mendulang di sini bersama bapak dan waktu itu bijih-bijih emas masih lebih besar dari sekarang,” katanya, Kamis (31/5/2018).

Meski sudah renta, Rawinja masih tahan berendam diri di sungai, menahan dinginnya air serta panasnya terik matahari. Dia pun masih kuat memegang dulang yang berat, memutar-mutarnya, lalu menahan dulang berisi material untuk memilah pasir halus dengan bijih emas.

Yang lebih hebatnya lagi, mata Rawinja masih cukup terang melihat bijih-bijih emas yang ukurannya sangat kecil untuk dipisahkan dari material pasir halus.

“Alhamdulillah, mata saya masih terang untuk melihat bijih emas yang berukuran kecil,” ujarnya.  

Setelah didapatkan bijih-bijih emas, Rawinja memasukkannya dalam wadah dari gelas kaca berukuran kecil. Dalam satu atau setengah hari, Rawinja bisa mengumpulkan bijih emas sekitar 1 atau 2 wadah kaca. Masing-masing wadah mampu menampung hingga 1 gram bijih emas.

“Satu hari kadang setengah hari bisa dapat 1 atau 2 kaca emas, tergantung kondisi sungai, kalau sudah banjir biasa didapat lebih dari itu,” ucapnya.

Baca juga: Cerita Saksi Mata Berhadapan dengan Teroris Mapolda Riau Saat Selamatkan Diri

Setelah bijih-bijih emas, Rawinja pulang ke rumah untuk beristirahat lalu kembali membersihkan bijih-bijih emas menggunakan sabun atau busa pencuci piring untuk disimpan dan siap dijual.

“Dijual di Pasar Bajo. Di sana ada pengumpul. Harga 1 kaca yang diperkirakan berisi  1 gram, mulai Rp 40.000 hingga Rp 50.000. Mereka membeli dengan harga begitu karena masih terhitung kotor,” tuturnya.

Selama hampir satu abad mendulang emas, Rawinja tak pernah bosan ataupun letih mencari bijih emas.

Mengajar mengaji

 

Mendulang emas bukanlah satu-satunya aktivitas yang ditekuni Rawinja selama ini. Dia juga kerap mengajar mengaji warga Desa Kadong-kadong.

“Saya lakukan ini untuk menghidupi biaya harian saya dan sebagian saya berikan kepada cucu saya, dan sekaligus mengajarkan bahwa jika kita punya daya,  teruslah untuk bekerja,” tuturnya.

Baca juga: Kami Tidak Malu, Itu Anak Kami Pemberian Tuhan...

Kegigihan Rawinja yang sudah renta untuk bekerja membuat warga desa setempat ikut melakukan aktivitas yang sama untuk mencari bijih emas.

Menurut Arsan (30), warga setempat, jika banjir baru saja terjadi atau sudah surut, dia akan meminta petunjuk kepada Rainja mengenai tempat mendulang yang cocok.

“Kami selalu bertanya pada dia di mana tempat mendulang yang bagus agar bisa dapat banyak. Soalnya nenek itu sudah puluhan tahun mendulang di sini,” tuturnya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com