Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Warga Merasa Dikucilkan Setelah Dituduh Tak Pilih Kades Tertentu

Kompas.com - 14/01/2018, 07:33 WIB
Labib Zamani

Penulis

KLATEN, KOMPAS.com - Surat dukungan warga Dukuh Jomboran, Desa Tijayan, Kecamatan Manisrenggo, Klaten, Jawa Tengah terhadap seorang calon kepala desa berbuntut panjang.

Erma Elyanti Yusnida (20), yang sebelumnya mengunggah keluhan soal surat dukungan warga Jomboran untuk memilih salah satu calon kepala desa dalam Pilkades 2017 ke media sosial (medsos), kini untuk menempuh jalur hukum terkait masalah itu. Ia merasa telah dikucilkan warga sekitar setelah dituduh tidak pilih calon kepala desa yang didukung kebanyakan warga.

Erma memosting surat keputusan ke akun Facebook-nya pada Sabtu (6/1/2018) lantaran merasa keluarganya mendapatkan perlakuan kurang adil setelah dituduh tidak memilih salah satu calon kepala desa dalam Pilkades pada 26 Juli 2017.

Berikut keluhan Erma di medsos:

“Kepada wartawan, pengacara, seluruh Indonesia tolong dengarkan curhatan kami. Kami rakyat kecil yang susah mendapatkan keadilan, kami telah dikucilkan, diancam, namun tidak ada yang peduli. Lapor ke kantor kepolisian percuma, kami hanya rakyat kecil tidak punya uang?

Apa karena kami tidak punya jabatan? Apa rakyat kecil seperti kami tidak layak mendapatkan perlindungan dan keadilan? Apa rakyat kecil seperti kami harus terus menerus dijajah hak asasinya? Apakah hukum itu hanya ditegakkan hanya untuk orang-orang berkepentingan dan berduit saja?

Sekali saja tolong yang rela menolong kami yang ikhlas tanpa sepeser uang dari kami untuk memperjuangkan ini. Jangan ada hukum yang bisa dibeli. Saya pengen curhat pengen didengar curhatan rakyat kecil didengat seluruh rakyat Indonesia. Biar keadilan bisa ditegakkan."

Dalam surat dukungan warga Dukuh Jomboran ada dua nama calon kades yang maju pada Pilkades 2017, yakni Joko Lasono dan Agus Pribadi. Joko Lasono kemudian terpilih sebagai kepala desa Tijayan periode 2017-2023.

Surat dukungan warga Dukuh Jomboran tertanggal 8 Juli 2017 ditandatangani Ketua RW 001, Ketua RT 001, Ketua RT 002, Ketua RT 003, dan ketua pemuda. Surat dukungan itu menyatakan warga Jomboran mendukung sepenuhnya Joko Lasono dan akan memenangkannya dalam pemilihan kepala desa.

Apabila ada warga yang membelot kepada calon lain, warga akan memberikan sanksi tegas antara lain warga tidak akan mendatangi atau membantu pada waktu hajatan kelahiran, khitanan dan nikahan. Warga tidak akan mendatangi atau membantu apabila tertimpa musibah, antara lain anak atau keluarga tersebut sakit dan keluarga tersebut ada yang meninggal dunia.

Kuasa Hukum Erma, Sigit Pratomo, saat dikonfirmasi Kompas.com, Minggu (14/1/2018), mengatakan, surat dukungan itu sudah beredar tertanggal 8 Juli 2017 sebelum pelaksanaan pilkades tanggal 26 Juni 2017. Surat itu kemudian dilaporkan oleh warga desa Tijayan ke polsek setempat ketika masa kampanye damai. Akhirnya surat itu ditarik untuk dimusnahkan.

“Ayah (Mbak Erma) berkerabat dengan cakades pesaing Joko Lasono yang bernama Agus Pribadi. Dari awal tidak sepakat dengan surat edaran itu. Jadi tidak sepakat dengan surat keputusan itu,” kata Sigit.

Penarikan surat ternyata tidak menghilangkan intimidasi saat pilkades di RW Dukuh Jomboran.

Sigit mengatakan, saat pilkades Joko Lasono menang dengan selisih 29 suara. Ada tujuh  suara dari 3 RT di RW Jomboran yang tidak memilih Joko.

Keluarga Erma lalu dituduh sebagai orang yang tidak memilih Joko dalam pilkades itu.

Pada tanggal 25-27 Agustus 2017, atau 30 hari setelah pilkades, keluarga Erma menyelenggarakan acara peringatan 40 hari adiknya meninggal dunia. Saat itu tidak ada satupun warga di RT dan RW Dukuh Jomboran yang datang.

Sigit mengatakan, kasus yang dialami kliennya telah dilaporkan ke Polres Klaten pada Selasa (9/1/2018). Karena merasa laporannya tidak direspon, Sigit kemudian melaporkan kasus tersebut ke Mabes Polri.

Kasat Reskrim Polres Klaten AKP Suardi Jumaing membenarkan adanya laporan warga Dukuh Jomboran, Erma. Laporan yang disampaikan terkait pelanggaran HAM.

“Untuk pelanggaran HAM itu ditangani oleh Komnas HAM, polisi tidak berhak melakukan lidik maupun sidik. Kami arahkan ke Komnas HAM,” kata Suardi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com